Sekali Jalan, Dua Tiga Tempat Terlampaui | Sanskuy Team June 2019 #2
"Dan sebuah memori tentang kebahagiaan tak terkira, terukir lagi. Kali ini, antara saya dan mereka. Sebuah memori yang akan kami kenang, mungkin bukan untuk satu dua tahun ke depan, tapi untuk sepuluh duapuluh tahun ke depan saat kami tak lagi mampu menjejakkan kaki dengan tegap. Saat yang bisa kami lakukan tinggallah mengenang, dan dikenang." -Nikhen Moko
Baca juga cerita pertama kami : Perjalanan 8 Jam, Singgah Makan Gratis 2x | Sanskuy Team June 2019 #1
#18 Juni 2019
Matahari perlahan menyingsing seiring dengan kabut tebal yang mulai pergi. Kicau burung-burung terdengar merdu mendayu. Di ufuk timur, tepat di balik SD kecil desa, cahaya keemasan membentuk kanvas indah. Begitu magis.
Ah.. Memang aku tak melihatnya langsung, tapi kuyakin itu yang sedang terjadi di luar rumahku saat itu. Aku hapal benar bagaimana malam berganti pagi, dan bulan berganti mentari di tempat ini. Indah nan menawan.
Namun, kantuk dan capek, ditambah dingin yang menusuk, membuatku tetap bergumul di balik selimut. Ku perkirakan, suhu mencapai 18 derajat. Cukup dingin, terutama bagiku dan kawan-kawan lain yang terbiasa dengan cuaca super panas di Gorontalo. Apalagi aku harus rela tidur di lantai beralaskan sehelai kain, hanya karena tempat tidur di kamar lamaku sudah diganti dengan tempat tidur kayu yang amat kecil, hanya muat untuk satu orang, dan Nisa yang tidur di situ.
Di luar kamar pun belum ada gaduh. Rupanya kawan-kawan lain pun masih dibelai mimpi. Kuputuskan tidur kembali.
• • •
Pukul 09.27, di luar kamar terdengar tawa. Ternyata mereka sudah bangun. Aku bangkit dan 'mengumpul nyawa' -begitu kata orang-orang tua dulu.
Seberes bersih-bersih, aku keluar dan mendapati kawan-kawan lain sedang duduk dan menggerang lapar, haha. Kira-kira begitu jika bisa kutebak.
Terlalu malas menanak nasi dan memasak lauk, kami akhirnya memutuskan makan mi instan saja. Pilihan yang kurang baik di pagi hari. Tapi, mager mengalahkan segalanya.
Namun pagi itu, satu masalah muncul. Aku lupa beli gas kaleng untuk memasak. Ku cari di toko-toko dekat rumah, semua kosong. Akhirnya kurelakan merogoh kantong lebih banyak untuk naik bentor demi membeli sekaleng gas yang entah akan kutemukan di mana -maklum, sang supir kami waktu itu masih tidur. Sementara selain dia, tak ada makhluk lain di antara kami yang bisa menyetir. Yaa, meski bisa kuakui, tarif bentor di Kotamobagu sini beda jauh dengan Gorontalo. Hanya 10 ribu, sudah bisa bolak-balik jauh.
Setelah drama panjang mencari sekaleng gas demi perut yang terus keroncongan pagi itu, akhirnya kami bisa makan. Dan meski hanya semangkuk mi intsan, kami lahap. Cukuplah untuk temani hari kami yang akan dipenuhi jalan-jalan dan foto-foto sebentar.
Sekitar pukul 13.00, kami siap, lalu berangkat menuju destinasi awal kami. Hari pertama di Kota Kotamobagu.
• • •
Sekitar pukul 14.35, kami baru sampai. Perjalanan lumayan menguras waktu. Tapi tidak mengapa, destinasi-destinasi kami kali ini memang banyak, tapi semua berdekatan.
Pertama, kami menyambangi Danau Mooat yang terletak di Desa Moat, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Meski sudah di kabupaten sebelah, letak Danau Mooat masih terhitung di pinggiran Kota Kotamobagu, tidak terpaut jauh.
Barangkali bagi sebagian besar masyarakat Kotamobagu, Danau Mooat sudah cukup mainstream. Bagaimana tidak, danau yang luasnya bagai lautan ini memang sudah jadi tempat wisata harian untuk masyarakat Kotamobagu. Jaraknya yang tidak jauh dari kota, dan biaya masuknya yang hanya 2 ribu rupiah per orang, membuat danau ini jadi tempat yang paling sering dipilih untuk bersantai di sore hari.
Setelah Danau Mooat, kami menuju Kebun Strawberry yang hanya sepelemparan batu dari lokasi wisata Danau Mooat. Hanya tiga menit sampai. Di sini, kami temui pemandangan indah yang khas dengan bunga-bunga berwarna-warni. Ditambah deretan panjang strawberry di dalam polybag, tempat ini makin memanjakan mata.
Bagiku yang sudah beberapa kali ke tempat-tempat ini, barangkali tak lagi terlampau istimewa. Tapi bagi kawan-kawan lain, ini pemandangan yang tak biasa. Di Gorontalo, di mana bisa temukan yang seperti ini? Bahkan Nisa dan Lani sudah menjepret kesana-kemari.
Aku sendiri masih tunggu giliran untuk bergantian. Maklum, si fotografer -Gafur, masih sibuk jepret Nisa di segala sudut.
Lepas foto-foto, kami menikmati benar tempat kali ini dengan duduk manis di atas rumput hijau yang basah dengan embun sambil berselonjor kaki. Damai sekali. Bahkan Gafur atau siapa -aku lupa, sempat berseloroh, "Torang so sama deng keluarga cemara," (Kita sudah sama kayak keluarga cemara), haha.
Selain itu, di sela-sela obrolan, kami pun kerap tertawa dengan seloroh Fadlul yang tidak henti-henti bilang, "We, kita so putih aba," (Eh kulit gue udah putih), haha. Tidak heran memang, kami yang biasa di kota dengan udara panas, tiba-tiba ke tempat yang dingin begitu tentu merasa lebih adem, dan kulit lebih terang. Tapi, emang iya? Atau itu hanya tipu-tipu udara saja? Haha, entahlah.
Terakhir, kami ke Bukit Tondok, tepat di depan Danau Tondok. Masih di lingkungan yang sama, hanya sekitar 7 menit dari Kebun Strawberry tadi. Kali ini, kami harus mendaki sebentar untuk berfoto di atas dan menikmati keindahan Danau Tondok.
Dan, tempat terakhir ini paling eksotis. Posisinya yang tinggi membuat kami bisa saksikan banyak hal di bawah sana dengan lebih leluasa. Danau Tondok yang tenang seakan memberi kedamaian sendiri di hati. Terlebih, karena di tempat ini lebih banyak tumbuhan dan pohon yang rapat, kicau burung manis masih sesekali terdengar. Jika bisa memilih, aku ingin sekali tinggal di tempat seperti ini.
Kami pun berpencar karena tempat itu begitu luas. Di atas gundukan, ada gundukan lain. Nisa mulai buru gambar di tiap sudut, bersama si fotografer, Gafur seperti biasa. Lani dan Fais kesana kemari, kadang minta difotokan Gafur, kadang minta Fadlul yang menjepret. Fadlul dan Debi lain lagi. Mereka mulai berburu tempat-tempat yang lebih tinggi dan tidak biasa, lalu saling bergantian, difoto dan memfoto. Sementara aku, sabar menanti Gafur seperti biasa, haha, meski beberapa kali juga minta difotokan Fadlul.
Memang, di zaman saat ini di mengabadikan momen sudah jadi sebuah keharusan. Tidak bisa tidak. Ya, meski dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang berfoto karena ingin diunggah di media sosial, ada juga yang berfoto dengan dalih agar nanti ada prasasti untuk mengenang di masa nanti.
Meski begitu, aku tahu kita tidak bisa lupa menikmati dengan mata kepala sendiri. Foto-foto memang harus, tapi menikmati setiap tempat yang kita datangi adalah sebuah keniscayaan.
Berfoto memang penting, sekadar untuk mengabadikan momen yang takkan bisa kita ingat utuh semuanya. Tapi jangan lupa juga untuk menikmati. Jangan sampai fokus di kamera dan gawai masing-masing, tapi lupa menikmati secara utuh dan nyata apa yang ada di depan kita. Jika sudah begitu, makna sebuah tempat takkan kita dapatkan. Yang ada hanya sepotong foto, tapi hambar tanpa makna.
Semoga kita bisa mengabadikan momen dengan bijak di mana pun kita berada. Menjepret boleh, tapi jangan lupa menikmati. Karena sungguh, lensa terbaik adalah mata. Dan segala sesuatu akan terasa begitu sempit jika hanya kita lihat dari balik layar kamera dan gawai.
Hari itu, kami pulang dengan segenggam kenangan lagi.
Bersambung...
"Jangan sampai fokus di kamera dan gawai masing-masing, tapi lupa menikmati secara utuh dan nyata apa yang ada di depan kita.kerenn 😄👏👏
ReplyDeleteWkwk, terima kasihhhhh
Delete