Berangkat Menuju Bahaya | Semeru #1



"Bertualang bukanlah sekadar perjalanan. Pada hakikatnya, bertualang adalah untuk memberi arti dan nilai dalam hidup." -EdelweisBasah


13 Juli 2019

"Kak.. Kak.. Bangun. Sudah jam setengah 5."

Kurasakan ada tangan yang menggoyang-goyang tubuhku, makin lama makin kencang. Aku kaget, lantas bangun dari kasur empuk milik asrama pondok Amanatul Ummah itu dalam sekali hentakan. Ah.. Itu Linda yang membangunkanku.

"Aku harus bergegas," pikirku.

Sejak semalam, aku sudah diwanti-wanti Majid untuk tidak bangun terlambat karena kami akan mengejar angkot pagi di Ghanjaran nanti. Sebenarnya justru aku berpikir untuk tidak tidur sama sekali, tapi tidak boleh, hari ini aku harus berangkat dan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk kelengkapan berkas pendakian ke Semeru. Kalau aku dinyatakan tidak sehat hanya karena tidak tidur semalaman, bagaimana? Aku tak mau gagal ke Semeru hanya karena itu.

Maka aku pun bergerak cepat. Tak banyak yang kulakukan selain bersih-bersih dan berganti pakaian. Aku tidak mandi lagi karena malam sebelumnya aku sudah mandi hingga keramas. Lagi pula air di pondokan ini dingin sekali, bagai mandi air es. Sekali kena airnya terlalu banyak, tangan akan kaku dan menggigil. Sementara semua perlengkapanku untuk pendakian sudah tertata rapih di dalam carrier biru berukuran 45L milikku. Aku siap.

Pukul 05.39, bersama Linda dan Ani, aku turun dari kamar asrama menuju tempat aku, Majid, dan Muqfy janjian untuk bertemu.

Pagi itu di tengah udara dingin Pacet dan dengan 3 buah motor, kami membelah kabut menuju Ghanjaran diantar Aldin, Bempah, dan Saiful. Di ufuk timur, mentari bulat perkasa mulai nampak dengan warna keemasannya, seakan turut mengantarkan dan mendoakan kami dengan segala keindahannya.

"Semoga ini pertanda baik perjalanan kita, ya, Khen," ujar Majid yang membawa motor kala itu.

Aku hanya mengangguk, tersenyum, lantas memandang lama mentari di timur sana dan mengaminkan doa Majid.

Tapi.. Ternyata tak seindah doa yang kami pilinkan. Perjalanan di hari-hari kedepan menyadarkan kami bahwa yang indah tak selamanya berarti keindahan dan kebaikan pula. Akhir perjalanan kami nanti justru menyisakan luka yang teramat sangat. Kami hempas.


• • •


Pukul 06.07 kami berangkat dari Taman Ghanjaran menuju Terminal Pandaan menggunakan angkot berwarna hitam, yang kedepannya baru kutahu namanya ternyata bukan angkot, tapi Len.

Lalu, hanya sekitar 20 menit lebih menunggu bus di Terminal Pandaan, pukul 07.08 kami pun berangkat menuju Terminal Arjosari, Malang menggunakan bus besar yang hampir penuh.

Dengan bus besar itu, kami membelah kota dengan segala asa. Keluarga, sahabat, dan kawan sudah tertinggal di belakang, kami sedang menuju sesuatu yang sama sekali tak pasti dan berbahaya.


• • •


Singkat perjalanan kami kala itu, sekitar pukul 09.39, setelah banyak berhenti, pengamen dalam bus berganti 4 kali, dan sekitar 3 orang penjaja makanan naik turun, akhirnya pukul 09.39 kami tiba di Terminal Arjosari, Malang.

Kami hanya makan sebentar, lalu berangkat lagi menuju tumpang menggunakan mobil yang kami pesan di situs online bernama Ojek Gunung, di mana hanya dengan 125 ribu rupiah kami akan diantar langsung ke Ranu Pani, lokasi basecamp pendaftaran pendakian Semeru. Lumayan lah, kami dijemput di terminal, boleh singgah beli bahan makanan dan periksa kesehatan, diantar pula ke Ranu Pani. Sudah termasuk murah dibandingkan harus gonta-ganti angkutan lagi.

Di Tumpang, kami bereskan berbagai hal. Membeli banyak bahan makanan untuk keperluan 5 hari di Semeru nanti, hingga periksa kesehatan di Klinik Tumpang. Dari situ, kami mampir lagi ke basecamp Ojek Gunung untuk berganti mobil. Kami akan naik jeep ke Ranu Pani.

Pukul 10.45 kami menuju Ranu Pani. Mula-mula kami melewati perkampungan panjang bernama Gubug Klakah. Jalan yang terus menanjak perlahan membawa kami menyusuri jalan kecil dengan hutan rimba dan jurang dalam di sisi kiri kanan jalan. Sepanjang mata memandang, kami hanya menyaksikan hijau alam dan biru langit yang berpadu. Sebuah kolaborasi alam yang indah.
Semakin jauh, kami melewati semakin banyak objek wisata. Ternyata jalan menuju basecamp Gunung Semeru ini penuh dengan wisata-wisata alam lain juga yang tak kalah memukau. Banyak curug di mana-mana.

"Kalau pulang, sekalian mampir?" sahut Muqfy ke arahku suatu ketika. Aku hanya mengangguk saja. Jika berkesempatan, kenapa tidak?

Pukul 12.45, plang bertuliskan Selamat Datang di Ranu Pani menyambut kami. Kami sudah tiba.

• • •

Terik sinar matahari membasuh wajah kami siang itu. Debu berterbangan kesana kemari. Meski begitu, udara terasa dingin menusuk hingga tulang. Kontradiktif sekali. Panas tapi dingin, terik tapi sejuk.

Setelah mampir sebentar di masjid Ranu Pani, kami bergegas menuju basecamp pendaftaran untuk memasukkan berkas pendakian yang sudah kami siapkan.

Karena terdaftar sebagai ketua kelompok, aku yang antri di loket pendaftaran. Di tanganku sudah siap beberapa lembar berkas yang dirangkap dua, mulai dari Bukti Cetak Pendaftaran Pendakian Semeru, Daftar Perlengkapan dan Perbekalan, Surat Pernyataan bahwa kami siap menerima segala resiko dalam pendakian terlebih jika ingin summit hingga puncak, Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, hingga Surat Keterangan Kesehatan.

Meski begitu, kami tidak langsung diberi tiket. Karena saat booking online kami mendaftar untuk pendakian tanggal 14 hingga tanggal 17, maka kami baru bisa kembali untuk mengambil tiket keesokan harinya. Itu berarti malam ini kami harus menginap di Ranu Pani.

Setelah mendaftar dan diberi pesan untuk kembali lagi ke loket esok harinya, kami segera menuju Ruang Briefing untuk mengikuti briefing pendakian. 30 menit menunggu giliran untuk masuk ruangan, kami pun masuk bersama rombongan pendaki lainnya. Rapih sekali. Untuk masuk ruangan briefing saja kami harus berbaris berbanjar kebelakang, dengan ketua kelompok berada paling depan dan membawa berkas pendakian, lalu mengambil tempat yang sudah disediakan. Sungguh, dari semua gunung yang pernah kudaki, Semeru-lah yang paling ketat aturannya, sekaligus paling ribet pengurusan pendakiannya. Bahkan saking banyak berkas yang harus disiapkan, aku merasa seperti akan mendaftar masuk perguruan tinggi.

Tapi ini tidak salah sama sekali, justru aku salut sendiri. Mungkin ini salah satu upaya pihak Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan selama pendakian, atau hilangnya pendaki di jalur pendakian. Ya, mengingat sejauh ini Semeru sudah banyak memakan korban, upaya seperti ini rasanya sangat wajib dilakukan.

Saat briefing, banyak sekali pesan yang disampaikan pihak balai. Mulai bagaimana jalur pendakian Gunung Semeru, di mana saja sumber air selama pendakian, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sana, jalur mana saja yang terlarang dan sama sekali tidak bisa dilewati, hingga penekanan bahwa pihak balai hanya akan bertanggung jawab hingga batas aman pendakian, yakni hanya sampai Kalimati. Jika pendaki tetap memutuskan untuk summit hingga Puncak Mahameru, segala risiko diserahkan sepenuhnya kepada para pendaki, karena memang jalur menujur Puncak Mahameru sangat berbahaya.

Untuk hal terakhir ini, kami diingatkan dan ditekankan berulang kali. Jalur pendakian menuju puncak sama sekali tidak dianjurkan karena memang sangat berbahaya. Gelap, banyak jalur mengecoh, juga di mana-mana ada jurang-jurang dalam. Terlebih ketika sudah lewat batas vegetasi, jalur semakin miring hingga 60 derajat. Ditambah kontur jalur yang sangat berpasir, dan batu-batu besar yang rentan jatuh, jalur pendakian ke puncak sangat berbahaya dan sama sekali tidak dianjurkan. Berulang kali kami diingatkan soal ini. Pihak balai sama sekali tidak akan bertanggung jawab jika kami jatuh, terperosok, atau terkena batu besar saat menuju puncak.

Kami mendengarkan briefing dengan khidmat, terutama pada bagian-bagian terlarangnya. Selain jalur menuju puncak, hal berbahaya lainnya adalah lokasi Sumber Mani (sumber air) di Kalimati. Kami dilarang menuju Sumber Mani itu sendirian, juga jika hari sudah terlalu sore dan beranjak gelap, karena banyak harimau yang berkeliaran di sana pada waktu-waktu seperti itu. Jika tak mau diterkam dan mati dikoyak-koyak taring harimau, kami harus ekstra hati-hati.

Selain itu, larangan lainnya juga tidak boleh melewati string line (berupa garis polisi) yang dipasang membentang, karena berarti itu lokasi terlarang yang sudah memakan banyak korban, entah jatuh atau hilang. Kami juga tidak bisa membangun tenda, duduk sendirian, atau berbicara kotor di lokasi-lokasi yang ditandai dengan kain putih, karena katanya itu tempat para penunggu/dewa/sejenisnya. Sudah betul, karena memang sebutan lain dari Semeru adalah Gunung Abadi Para Dewa.

Semua larangan-larangan itu kami rekam baik-baik dengan otak, catat baik-baik dalam memori. Kami harus patuh jika tidak mau hilang atau mati dalam kebadian di Semeru.

• • •

Malam itu, kami membangun tenda dan bermalam di depan Ranu Regulo (Danau Regulo) Desa Ranu Pani, sambil menggigil kedinginan. Suhu mencapai 2 derajat, uap tebal mengepul dari mulut kami tiap kali kami mengeluarkan kata.

Beruntung ada para rider dari komunitas motor setempat yang juga bermalam di depan Ranu Regulo, dan memasang api unggun besar. Kami sempat diajak menghangatkan diri bersama di depan api unggun itu untuk sekadar mengurangi gigil sambil bercengkerama riang dan makan berbagai kudapan. Orang baik memang ada di mana saja.

Pukul 9 malam, kami beranjak masuk tenda dan membungkus diri dengan sleeping bag masing-masing. Kami kedinginan. Sebuah dingin yang teramat, bahkan baru di basecamp pendakian.



Bersambung..





Comments

  1. Saya suka gaya penulisannya. Serasa #Bung Fiersa Besari

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, saya baru sempat baca. Tapi terima kasih banyak apresiasinya:)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6