Kisah Sesak di Awal Perjalanan | #Journey2021-1

 


20 Januari 2021


Perjalananku dimulai, setelah kemarin bodoh sekali ketinggalan pesawat. 

Begini. Seharusnya tanggal 19 Januari 2021, aku sudah berangkat ke Banten, untuk menghadiri pesta pernikahan kawanku, menyelesaikan beberapa pekerjaan, lalu menuju Madura untuk mengikuti forum LK2 HMI di sana. 

Apesnya, tepat subuh buta aku sudah bersiap untuk berangkat ke bandara, aku menerima pesan dari traveloka bahwa penerbanganku ditunda pukul 15.30. Dengan entengnya, aku pun memutuskan tidur lagi. 

Pukul 15.30 hari itu juga, aku pun berangkat, diantar beberapa kawanku dan saudara-saudara terdekat. Tiba di bandara, "Loh, kok ini sepi sekali? Seperti tidak ada penerbangan?" Aku mulai panik.

"Pak, ini penerbangan Lion ke Jakarta, ada, kan?" Tanyaku pada seorang petugas. Dan entengnya dia menjawab: "Tidak ada penerbangan sore ini, Bu."

Aku kaget, kalut, panik. 

Aku cek lagi SMS sebelumnya, ternyata yang ditunda itu penerbangan dari Makassar ke Jakarta! Dari Gorontalo ke Makassar tetap tadi pagi! Hadeuh, parah gilak, salah baca informasi. 

Di tengah kepanikan itu, untung saja ada pertolongan. Pihak maskapai membantuku menjadwal ulang penerbangan ke esok hari, tanpa ada tambahan biaya sepeser pun. 

Dan, di sinilah aku sekarang. Menunggu pintu lapor masuk (check in) dibuka, bersama beberapa kawan yang tidak henti mengingatkan: hati-hati di sana. 

Namun, ternyata cobaan tidak berhenti di hari kemarin. 

Setelah aku meletakkan barang-barangku di x-ray security, lalu aku sendiri juga diperiksa, aku pun menuju tempat lapor masuk (check in), dan harus menerima kenyataan kalau aku harus merogoh saku lagi untuk membayar bagasiku yang ternyata kelebihan beban. Ini Lion, jadi tidak ada free bagasi sama sekali. Aku dengan entengnya bertanya harga tambahan untuk bagasi. Ternyata, 1 juta lebih! Tidak salah? Aku kaget dan langsung minggir dari tempat lapor masuk itu.

Percobaan pertama, kupindahkan barang-barang yang ada di carrier, ke ransel kecilku, kupikir jika ransel kecil seperti itu, tidak mungkin akan mahal sekali biaya tambahannya. Sementara carrier kuniatkan untuk dibawa ke kabin pesawat saja yang free 7 kg. 

Kucoba bawa ke tempat lapor masuk lagi, nihil. Sama saja. Kali ini, tasku dua-duanya justru harus masuk. 

Percobaan kedua, aku keluar menemui kawan-kawanku, meminta bantuan. Kali ini, aku harus ikhlas melepas beberapa keperluanku yang sudah ku-packing baik-baik dari rumah. Kompor gunung, nesting, beberapa pakaian, buku-buku yang akan kubawa ke forum Lk2, bahkan dress yang hendak kupakai ke nikahan kawanku di Banten juga terpaksa aku keluarkan. Bandara Jalaluddin Gorontalo seketika jadi tempat loakan, barang-barangku berhamburan di sana. Kini, tersisa satu carrier. Ransel tidak jadi kubawa. Aku masuk lagi, dan lapor masuk lagi. 

Masih nihil! Aku masih harus bayar sejuta. Gilak! Padahal sudah kukeluarkan hampir semua barang-barangku. Saat itu, aku mulai kalut. Waktu berjalan terus, sudah hampir jam 7 pagi, dan pesawatku akan berangkat pukul 7.30. Tiba-tiba mataku basah, ah! Aku menangis tanpa bisa kuhentikan. 

Percobaan ketiga, aku buru-buru keluar lagi, dengan air mata yang tidak bisa kubendung. Aku sudah terlanjur kalut, capek. Di percobaan ketiga itu, barang2 yang tinggal sedikit di dalam carrier, akhirnya kubagi dua. Setengah di carrier, setengah di ransel. Semoga ini bisa cukup banyak membantu. Aku sudah terlalu capek jika harus kembali lagi, mengatur lagi. 

Dan, akhirnya aku tiba lagi di tempat penimbangan barang, dan menerima kenyataan kalau aku masih tetap harus membayar 900 ribu hanya untuk bagasi seiprit itu. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, dan mulailah aku menangis tanpa bisa kubendung. Ya, aku pernah secengeng itu. Sesenggukan di depan petugas lapor masuk, aku sebenarnya malu, seperti mengemis untuk dikasihani. Tapi air mata tidak mau berhenti, bicara pun aku sudah tidak jelas. Haha. Ingin tertawa rasanya jika memikirkan hal itu kini. 

"Mbak, gak usah nangis, ini kami bantu saja." Ucap petugas lapor masuk itu tiba-tiba. Katanya, 600 ribu boleh. Aku mengiyakan, dan hendak membayar pakai kartu debit, aku tidak membawa cash sebanyak itu. 

"Kami tidak menerima debit kalau untuk pembayaran ini, Mbak." Jleb, aku capek kalau harus keluar ngambil duit lagi. Di tengah keriuhan dadaku, aku bilang, uang cash-ku di dompet tinggal 500 ribu, dan akhirnya mereka terima uang itu dengan lapang, sambil terus bilang, "Mbak, gak usah nangis."

Jika mengingat pengalaman ini saat ini, aku rasanya ingin tertawa saja. Aku cengeng sekali saat itu, kok bisa? Haha. Namun, memang selama aku melakukan perjalanan, baru kali itu aku menemui pengalaman yang demikian. Entah itu memang cobaan karena mau berangkat Lk2, ataukah aku yang memang sedang apes-apesnya. 

Entahlah. Jika dipikir-pikir sekarang, boleh juga itu untuk sekadar jadi pelajaran berharga. Aku juga beruntung, punya kawan-kawan yang saat itu bersiap membantu. Tanpa mereka, mungkin aku sudah memutuskan untuk tidak jadi berangkat. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6