Anak Semua Bangsa | #bookreview1

Pramoedya Ananta Toer - Anak Semua Bangsa

"Dengan rendahhati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat." -Pram


Judul : Anak Semua Bangsa
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Terbit : 1980 (Hasta Mitra), cetakan 8 2006 (Lentera Dipantara)
Ketebalan : x+547 hlm
ISBN : Cetakan 13, 978-979-97312-4-1


TETRALOGI BURU. Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu, hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dari sisinya yang berbeda.

Anak Semua Bangsa -roman kedua Tetralogi Buru ini, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa.

Di titik ini, Minke, si tokoh utama, diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa, dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil.

Kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala zaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya, dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.

• • •

Acap kali saya merinding dan bergidik ngeri selama membaca buku ini. Bukan karena ceritanya yang menakutkan, melainkan karena kegagahan seorang perempuan pribumi dalam melawan Eropa yang semena-mena pada dirinya dan manusia bangsanya, meski yang tersisa hanyalah mulut yang bisa bicara. Ketika seluruh dunia mengagumi Eropa karena sejarahnya yang gemilang, perempuan ini menantang Eropa dengan caranya sendiri. Seorang perempuan yang maju.

Kegagahan itu kemudian Ia tularkan pada Minke -anak menantunya, dan mereka lain yang ia sebut sahabat.

Lalu, pada suatu waktu, Minke, si tokoh utama mulai terombang-ambing dalam rasa. Di satu sisi rasa kekagumannya pada Eropa, di sisi lain, rasa kebangsaan dan kepribumiannya yang kerap dipertanyakan, "Mengapa kau tidak menulis dalam bahasa yang bangsamu sendiri mengerti?"

"Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri," ujar sahabatnya suatu waktu, yang membuat pertahanannya lepas. Tak ada yg bisa Ia ungkapkan. Yang ada hanya marah, tersinggung, dan malu membuncah dalam dada.

Dan, ya, Ia tergugah. Kata-kata sahabatnya itu senantiasa membayang. "Kau tak kenal bangsa sendiri! Kau harus bicara pada bangsamu. Kau lebih dibutuhkan bangsamu sendiri daripada bangsa apa dan siapa pun. Kenalilah bangsamu!"

Namun kemudian Ia sadar, memang, Ia mesti adil sejak dalam pikiran. Menulis Melayu harus Ia lakukan. Ia harus mengenal bangsanya sendiri.

Dengan gaya menakjubkan, melalui buku ini, Pram coba mengajak, bukan saja ingatan, tapi juga pikir, rasa, bahkan diri kita untuk bertarung dalam golak gerakan nasional awal abad, lalu menyadari, betapa penting jejak kata dan langkah tiap manusia pribumi untuk kemajuan bangsa ini.

Sekelebat kisah, mulai dari kisah tentang Annelies -istri Minke yang pergi: tentang Robert Suurhof dan penyesalannya: surat-surat dan kesetiaan Panji Darman: kisah ketika Jepang setara dengan Eropa: tentang Kommer, Khouw Ah Soe, dan Jean Marais: tentang perbedaan Cina dan Jepang: Kartini: tentang Filipina dengan daya juang rakyatnya yang luar biasa melawan penjajahnya: hingga perjalanan-perjalanan mendebarkan, meresahkan, dan menggerakkan yang Minke lalui, membuat roman ini sangat sayang jika tak digerayangi.

Dan, segala kisah itu tak khayali semata, namun disandarkan Pram lewat sebuah penelusuran dokumen pergerakan awal abad 20 yang kukuh dan ketat. Patut menjadi buku acuan untuk mengenal peliknya kehidupan manusia bangsa ini kala itu. Karena ketika itu, semua dunia kekuasaan memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial, dianggap tak punya hidup.

Sebuah roman mengharukan yang akan membawa kita menelusuri berbagai jejak dan kisah pribumi masa lalu. Telak menyambar ulu hati, ketika tahu, seberapa tertindasnya manusia negeri ini di zaman kolonial dulu, padahal, tanah dan bangsa ini milik mereka. Pribumi dulu, jadi budak, melata, di negeri sendiri. Dan mungkin juga, hingga kini?


"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu." -Pram

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6