Mahameru, Terima Kasih... | Semeru #4-SebuahAkhir


"Hidup selalu pantas disyukuri, apapun bentuknya. Kebahagiaan memang punya banyak wajah. Kita hanya perlu mengenali dan mensyukurinya," -NikhenMoko


Baca juga kisah ketiga kami : Patahkan Mitos Tanjakan Cinta, Hingga Lalui Bukit Penyesalan Versi Semeru | Semeru #3



15 Juli 2019

"Teman-teman, malam ini kita akan menuju puncak. Ingat! Tidak ada yang saling meninggalkan, selalu pasang telinga baik-baik jika ada bahaya batu dari atas, dan istirahat jika tak kuat, jangan memaksakan diri. Perjalanan menuju puncak tidak main-main. Siap?" sayup-sayup kudengar suara seorang laki-laki dari luar tenda, lantas disusul suara laki-laki lainnya yang mengatakan siap secara bersamaan.

Aku masih bergumul di balik sleeping bag, tak tahan dengan dinginnya Kalimati. Tapi aku juga penasaran, jam berapa ini hingga di luar sudah ramai dengan orang-orang yang akan summit? Jam 1 dini hari, kah?

Perlahan kukeluarkan ujung jariku dan menarik jam tangan  yang kuletakkan di sisi kiri kepala. Kulihat jam, baru pukul 22.00 malam. "Kenapa ada yang sudah berangkat? Apa tidak kecepetan?" pikirku kala itu. Tapi kubiarkan saja. Suka-suka mereka mau berangkat kapanpun. Kuputuskan untuk kembali bergumul, waktu bangun kami nanti pukul 23.00 untuk bersiap. Masih ada satu jam lagi.

Tapi.. Sulit juga untuk kembali tidur. Di luar riuh sekali. Bukan riuh dengan orang-orang yang briefing untuk summit, tapi segelintir orang tak bertanggung jawab yang bercanda sambil tertawa keras terbahak-bahak, ditambah makian-makian aneh. Ah.. Tidak tahu diri sekali orang-orang itu. "Hei, ini di hutan, bukan rumahmu! Hargai orang yang sedang tidur dan mengumpulkan tenaga untuk summit, dong!" hardikku dalam hati, tak kuasa kukeluarkan.

Makin lama, tawa mereka makin keras. Begitu terdengar jelas karena tenda mereka persis ada di samping kanan tenda kami. Ah.. Mampus. Aku pun berusaha menepikan itu dengan menutup telinga dengan kedua tangan sekencang-kencangnya lalu memasukkan kepala kembali ke dalam sleeping bag.

Namun, beberapa saat kemudian ku dengar seseorang mendesiskan lidah untuk menyuruh mereka diam. Kuat sekali desisan itu. "Siapa itu?" pikirku, lalu perlahan mengintip dari balik sleeping bag.

Ternyata Muqfy. Di seberang sana (terpisahkan tumpukan tas, lalu Majid) kulihat Ia sedang duduk, mungkin juga terbangun karena orang-orang aneh tak bertanggung jawab yang tertawa-tawa sedari tadi itu. Tapi naasnya, sudah ditegur beberapa kali, mereka tak jua mengerti. Kulihat Muqfy uring-uringan sendiri, ditambah flu-nya yang tak mau berhenti, serta dingin yang begitu menusuk, kupikir cukup sulit bagi dia untuk tidur lagi malam itu.

Kubiarkan Muqfy bercengkerama sendiri malam itu, tidak kutegur sama sekali, lalu kembali kupaksakan diri untuk tidur. "Aku harus tidur lagi biar kuat saat summit nanti," pikirku.

• • •

Kurasa belum terlalu lama tidur, aku sudah terbangun lagi. Pukul 23.00, kah?

Perlahan kutegakkan badanku. Kulihat ke kanan, ternyata Muqfy juga sudah bangun dan sedang duduk dalam diam. "Bersiap summit, Ken," ujarnya sambil menoleh ke arahku. Aku hanya mengangguk, lalu perlahan membangunkan Majid.

Kami pun bergegas bersiap. Majid telaten langsung membakar roti untuk kami makan malam itu sekaligus sebagai bekal saat summit nanti. Muqfy menyeduh sereal sebagai pengganjal perut. Sementara aku mengambil tugas mengolesi selai ke atas roti serta membubuhkan misis.

Hampir pukul 00.00, kami sudah selesai makan, lalu bergegas mengatur keperluan yang harus dibawa saat summit. Bekal, air biasa dan hangat, alumunium foil, sleeping bag, tali, kompor dan nesting, hingga berbagai obat-obatan dan keperluan pertolongan pertama. Semuanya kami masukkan ke carrier biru milikku -yang akan dibawa Majid, dan daypack kecil satunya lagi -yang akan dibawa oleh Muqfy. Sementara aku hanya membawa ring bag kecil berisi kamera, minyak angin, dan beberapa keperluan lainnya.

Pukul 00.00 tepat, kami sudah siap. Aku sudah dengan baju berlapis empat ditambah jacket wind proof plus water proof yang tebal, celana berlapis dua ditambah rok, kaus kaki dan sepatu ditambah gaiter yang sudah ku ikat kencang setelah bertanya pada Muqfy bagaimana cari memakainya (maklum, aku baru pertama kali pakai gaiter kala itu), dan kaus tangan tebal. Begitu pula Majid dan Muqfy, juga Mas Angga. Ia memang sudah tiba di Kalimati sejak sore tadi, satu jam setelah kami tiba, dan membangun tenda tepat di depan tenda kami. Sempat makan malam bersama kami juga, hingga kami tahu dia ternyata siswa yang baru saja lulus SMA dan baru mau mendaftar di salah satu universitas di Surabaya, haha. Berarti aku tertipu sejak kemarin. Kupikir Ia sudah 25 tahun.

Kembali, kami semua sudah siap dengan gaya kami masing-masing, ditambah trecking pole dan headlamp yang menyala terang.

Setelah berdoa, malam itu, di tengah dinginnya udara Kalimati, dengan angin yang berembus kencang berseliwir, kami berangkat dengan asa dalam dada, menuju Puncak Mahameru.


                                         • • •

16 Juli 2019

Sepanjang berjalan dari tenda kami yang terletak di ujung Kalimati menuju titik awal pendakian menuju puncak, kami melewati banyak tim pendaki lain yang juga sedang bersiap untuk summit. Ada yang sedang packing, ada yang sedang briefing ketat karena banyaknya anggota tim, ada juga yang sedang melingkar dan berdoa. Rupanya, semua pendaki ini menyadari mereka sedang akan menuju bahaya. Kami pun begitu.

Perlahan, kami berempat mulai menjejakkan kaki di kontur berpasir. Kiri kanan hanya alang-alang setinggi bahu. Lumayan landai, hanya naik sedikit-sedikit. Napas menderu bukan karena capek, tapi karena dingin yang menebas-nebas, hingga hidung terasa sakit sekali.

32 langkah berjalan, Mas Angga berhenti, mengatur napas. Kami ikut berhenti. Posisi kami masih seperti kemarin, Muqfy paling depan sebagai leader, disusul aku yang hanya manut-manut saja, lalu Mas Angga yang terhitung lebih lambat dariku, dan Majid paling belakang sebagai sweeper. Ritmenya pun masih sama. Hanya beberapa lama berjalan, kembali berhenti mengatur napas, berjalan lagi, berhenti lagi, begitu seterusnya. Beberapa tim pendaki yang tadi sudah kami tinggalkan di belakang, satu persatu mulai menyusul. Kami terhitung sangat lambat.

Sepanjang perjalanan kami kerap bertemu banyak sign (tanda). Ada kain putih yang panjang membentang membatasi suatu lokasi atau yang terikat di pohon, dan lebih banyak lagi string line kuning hitam (yang kalau di timur lebih biasa disebut garis polisi). Kain putih menandakan lokasi suci, sementara string line kuning hitam jadi penunjuk jalur. Jika dia terikat di pohon atau dahan, itu berarti jalur yang harus dilewati. Namun jika dia panjang membentang menutupi jalan, itu berarti jalur yang sama sekali tidak bisa kami lewati.

Semakin lama, jalur semakin menanjak dan berpasir. Debu senantiasa berterbangan. Namun karena belum keluar dari batas vegetasi (jalur yang banyak pohon dan tumbuhan liar lainnya), angin belum terlampau kencang berembus. Karenanya, aku masih berani membuka kaus tangan, kepanasan karena jalur yang kian menukik.

Tiba-tiba.. Di depan kami ada string line yang panjang sekali membentang, padahal jalur terbuka jelas dan lebar. "Loh, kenapa?" pikirku. Kami pun berusaha mencari jalur lain. Tapi, kami lihat ke arah kanan, string line juga terpampang jelas. Ke arah kiri, ada string line juga. "Loh, lalu kami harus lewat mana?" aku mulai gelisah dalam hati. Pendaki-pendaki lain sudah jauh di atas sana, hanya tinggal kami berempat. Tidak ada tempat bertanya.

Lama kami bingung di depan banyaknya string line itu. Berulang kali mencari jalan, tetap juga tidak temu. Tak lama kemudian, tanpa bicara, kulihat Muqfy mengambil keputusan untuk berjalan ke arah jalur paling besar yang lurus di depan kami, dengan string line paling panjang membentang di depannya. Kutengok ke belakang, Mas Angga dan Majid hanya berkacak pinggang, terlihat ragu untuk mengikuti. Aku pribadi memutuskan ikut Muqfy. Kupikir dia lebih tahu karena sudah pernah mendaki Semeru sebelumnya.

Tapi, lama berjalan ke arah itu, Ia kemudian berbalik dengan langkah cepat dan tegas. "Ini bukan jalannya. Salah. Jangan kesitu," ucapnya tegas padaku. Aku pun langsung ikut berbalik arah, takut. "Duh, hampir saja. Kalau keterusan, bisa hilang," pikirku panik dalam hati.

Kami pun gelisah. Tak tahu harus ke arah mana. Berulang kali kembali aku cek arah kiri, kanan, depan, belakang, tetap sama. Tidak ada jalur. Hingga akhirnya, Majid yang juga terus mondar-mandir mencari, menemukan sebuah jalan tanpa string line yang membentang.

"Weh, di sini. Ini jalannya, turun sini," teriaknya girang pada kami dari arah kiri bawah. Kami pun melongo ke arah situ. Muqfy mengambil inisiatif untuk berjalan duluan, mengecek kembali jalur yang Majid katakan.

Dan benar, itu jalannya, tapi terjal sekali.

Kami harus turun melewati jalan kecil di samping pohon yang amat besar dan menjulang tinggi. Jalannya pun terjal, kakiku tidak sampai, maka kuperlukan untuk melompat. Setelah aku, Mas Angga menyusul turun, lalu Muqfy. Ah.. Memang jalur kala itu mengecoh sekali. Tidak pernah terpikirkan jika ada jalur kecil ke arah yang seperti jurang itu.

Dari situ, kami berjalan melewati jembatan cukup sempit dengan string line di sisi kiri, dan kain putih panjang di sebelah kanan. Setelahnya, kami mulai naik lagi di sebuah jalur yang menukik tajam. Pelan sekali kami mendaki. Mas Angga ngos-ngosan tak karuan. Aku menunggu cukup lama di ujung tanjakan. Saat itu, kudengar beberapa pendaki dari seberang sana berteriak ke arah kami, bertanya jalur. Rupanya, mereka juga kebingungan mencari jalan yang tepat. Kami pun balas berteriak, meminta mereka turun ke arah jurang di sebelah kiri.

Kala itu aku sempat berpikir, "Bagaimana dengan pendaki yang hanya berjalan sendiri? Apa mereka bisa menemukan teka-teki jalur yang menyesatkan itu? Apakah itu salah satu jalur yang paling banyak memakan korban hilang? Bagaimana jika tadi kami juga berjalan terus ke arah situ? Apa kami juga akan abadi di Semeru?"

Ah.. Kutepiskan semua pikiran-pikiran gila itu, lalu mulai memperhatikan rombongan pendaki yang melewati kami. Mereka banyak sekali, ada sekitar 18 sampai 20 orang. Semuanya berjacket tebal, dengan kupluk dan topi yang mencuat hingga telinga, kaus tangan tebal, dan gaiter. Bahkan ada yang berjalan masih menggunakan sarung yang disampirkan di pundak lalu dieratkan di tubuh menggunakan lengan. Semuanya kedinginan. Asap tebal mengepul dari mulut-mulut kami tiap kali sapa dan salam kami haturkan.

Tapi kala itu ada yang unik. Dari sekian banyak anggota tim itu, ada salah satu laki-laki yang menarik perhatianku. Bukan karena parasnya, tapi karen gaiternya. Haha, lucu dan kreatif. Ketika semua orang berlomba-lomba memakai gaiter terbaik, Ia dengan kreatif menggunakan karung bekas yang diikat menyerupai gaiter dengan menggunakan tali plastik. Keren sekali. Aku sampai terpikir untuk mengabadikannya dengan lensa kameraku. Memang ada-ada saja kreativitas manusia zaman sekarang ini. Haha.

Lama mengagumi kreativitas laki-laki tadi, aku pun kembali menoleh ke belakang. Ternyata Mas Angga sudah tiba. Kami pun kembali berjalan. Kali ini, aku diminta Muqfy untuk memimpin di depan. Aku sih iya-iya saja, lebih enak jadi pemimpin, meski juga harus lebih jeli memperhatikan mana jalur yang benar dan tidak.

Kami berjalan perlahan, dengan langkah yang kecil-kecil, namun tegas dan teratur. Moto kami sejak awal memang, "Alon-alon, asal kelakon," yang jika bisa kuartikan sendiri, artinya, "Pelan-pelan asal sampai," haha, mungkin begitu artinya. Aku tidak pernah benar-benar mencari tahu soal itu.

Jadi memang kami berjalan tanpa berburu waktu. Yang penting sampai. Daripada berburu waktu, cepat-cepat berjalan, cepat capek juga, lalu berhenti di tengah jalan karena kelelahan dan akhirmya tidak sampai puncak. Kami tidak mau itu terjadi.

Sepanjang perjalanan, Mas Angga selalu jadi tolok ukur kami untuk berhenti dan istirahat. Tapi memang, makin lama Ia semakin banyak istirahat, seiring dengan jalur yang juga kian menukik. Tiap melihat batang pohon yang tumbang, dia memerlukan untuk duduk dan minum.

Beberapa kali, ketika aku sudah terlalu cepat berjalan dan Mas Angga tertinggal jauh di belakang, Majid memerlukan memasang lampu yang berkedip-kedip merah di headlamp-nya untuk memberikan tanda padaku agar berhenti. Aku manut dengan perasaan bersalah karena terlalu cepat.

Pada suatu ketika sedang istirahat, aku berdiri di dekat sebuah pohon tepat di pinggir jurang. Bodohnya aku, kusandarkan trecking pole hitamku di pohon kecil itu. Akhirnya, tersenggol sedikit, trecking pole itu terpental jatuh ke jurang. Aku berteriak, Majid dan Muqfy panik bertanya ada apa. Ketika tahu hanya soal trecking pole, mereka mengembuskan napas, lalu tanpa kuminta, dengan sekali lompat, Muqfy yang kebetulan ada di dekat jurang itu mengambil trecking pole ku yang beruntung tersangkut di alang-alang yang padat. Ah.. Aku panik sekali. Itu trecking pole kesayanganku. Aku berhutang banyak pada kawan satu itu. Setelah insiden trecking pole itu, aku lebih berhati-hati. Ku ikatkan ia erat ke tanganku agar tidak lepas.

Beberapa lama berjalan, kami lalu melewati sebuah pohon yang diwarnai oranye dengan gambar anak panah ke arah kanan di tengahnya. Melihat itu, Muqfy yang berjalan di belakang ku bertanya, "Ken, ini masuk vandalisme, tha?"

Aku berpikir lama. Jika berkiblat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, vandalisme artinya : (1) perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya). (2) perusakan dan penghancuran secara ganas dan kasar.

Tapi jika mendengar persepsi orang-orang di gunung tentang vandalisme ini, bisa lebih sederhana. Pokoknya vandalisme itu mencoret-coret batu/pohon/apapun yang ada di alam.

Jika melihat arti-arti itu, pohon yang dicoret untuk menunjukkan jalan ini berarti juga termasuk vandalisme. "Bukan begitu?" tanyaku balik ke Muqfy.

"Iya, tapi mungkin ini vandalisme positif," ujarnya sambil tertawa. Haha, aku pun ikut tertawa. Memangnya ada vandalisme positif? Entahlah. Itu jadi pembicaraan yang cukup absurd di tengah pendakian yang kian melelahkan.

Kami pun terus berjalan. Aku yang berjalan paling depan memerlukan untuk terus menoleh ke belakang, memanggil Majid, Mas Angga, dan Muqfy secara bergantian. Sekadar memastikan bahwa mereka masih sadar, hehe.

Perjalanan selanjutnya datar-datar saja. Kami semua hanya diam, sibuk mengatur ritme napas masing-masing. Tak ada lagi kelakar seperti biasanya. Capek memupuskan segalanya.

Tak lama, kami kembali melewati sebuah pohon yang di sampingnya ada tiang tinggi dengan plakat merah kecil yang menunjukkan arah ke puncak. Itu bukan vandalisme lagi.

Tak jauh dari situ, kami melewati jalur dengan banyak pohon dan akar-akar menjuntai. "Cari tempat untuk istirahat dulu, Ken," ucap Muqfy ke arahku. Aku pun berjalan cepat ke depan mencari tempat yang nyaman, lalu berhenti tepat di jalur yang banyak gundukan tanah. Mas Angga langsung mengempaskan pantatnya dan menyelonjorkan kaki. Majid dan Muqfy pun begitu. Tapi aku tidak.

Sedari tadi, perutku sudah nyeri tak ketulungan, hari kedua datang bulan. Beruntung ada Mas Angga yang banyak berhenti, jadi aku pun bisa banyak istirahat tanpa perlu banyak mengeluh pada Majid dan Muqfy. Kala itu, mau jalan sakit, duduk tak enak, merunduk pun tidak. Aku harus berbaring untuk menghilangkan nyeri, tapi tidak mungkin aku berbaring di jalur pendakian. Kupikir benar, datang bulan jadi cobaan terbesarku di pendakian kali ini. Sakit sekali.

Setelah lima menit lebih beristirahat, kami kembali berjalan. Kondisi jalur masih tetap sama, menukik tajam dan berdebu. Mas Angga semakin lambat, dan nyeriku semakin hebat. Jalanku mulai terhalang karenanya. Tapi aku mencoba menutupi dengan berjalan cepat, meski beberapa kali tadi aku sudah sempat mengeluh.

Aku berjalan terus, tanpa menoleh ke belakang. Nyeriku mendorongku untuk terus maju. Hingga akhirnya aku berhenti, dan hanya ada Muqfy di belakangku. Majid dan Mas Angga tidak kelihatan. Kutanya mana mereka, Muqfy pun tak tahu dan hanya mengangkat bahu. Kami berhenti lama di situ. Aku bersandar di sebuah pohon, Muqfy pun begitu di sebuah pohon agak jauh di bawahku. Tapi, sudah lebih lima menit,  Mas Angga dan Majid belum juga kelihatan. Muqfy sampai menyerah dan pergi memeriksa. Ketika Ia melongo ke bawah, ternyata mereka masih jauh sekali. Ia pun kembali ke tempat tadi dan memilih untuk menunggu saja ketimbang menyusul sampai bawah.

Lima menit lagi berlalu, kami mulai melihat nyala headlamp sayup-sayup. Tapi cuma satu. Berarti bukan Majid dan Mas Angga. Tapi semakin dekat cahaya itu ke arah kami, semakin jelas itu Majid. Loh, di mana Mas Angga?

"Mas Angga menyerah. Dia mau turun. Sudah tidak mampu katanya," ujar Majid pada aku dan Muqfy dengan napas yang masih ngos-ngosan.

"Loh, serius, Jid? Pelan-pelan juga gapapa kok, Jid. Kita kan nunggu terus," tanyaku pada Majid masih tidak percaya. Pasalnya, sayang sekali jika dia tidak sampai puncak lagi kali ini. Dia pernah bilang, perjalanan kali ini adalah kali kedua Ia ke Semeru. Kali pertama dia hanya sampai Cemoro Kandang karena tidak mampu. Nah, kali ini, dia sudah sejauh ini, mau menyerah lagi? Aku tidak bisa terima. Sedih rasanya. Dua kali ke Semeru, dua kali gagal ke puncak, bukankah begitu menyakitkan?

"Sudah, Ken, aku sudah bujuk, tapi katanya dia benar-benar tidak mampu lagi," lemas Majid ke arahku. Aku hanya diam mematung. Sedih sekali.

"Hh Mas Angga mah balik gak pamit dulu," sahut Muqfy kemudian.

"Katanya, dia titip salam sama kalian berdua. Makasih katanya sudah membantu dia, dan sudah bersedia direpotkan. Nanti kita ketemu di Kalimati lagi. Dia akan tunggu di situ," jelas Majid kemudian dengan napas yang sudah lebih teratur. Aku dan Muqfy hanya mengembuskan napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Kami pun lantas melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi, tanpa Mas Angga.

• • •

Pukul 01.46 dini hari, kami masih menyusuri jalur terjal di dalam hutan, belum lewat batas vegetasi. Semua tim pendaki lain yang tadi berpapasan dengan kami sama sekali tidak lagi kelihatan. Kami harus cepat jika mau tiba di puncak sebelum batas waktu aman berakhir. Tapi, kami kerap berpapasan dengan pendaki lain yang buru-buru turun. Ketika ditanya, katanya, "Teman kami tidak mampu, Mas, Mbak, kami akan bawa turun." Dan hal itu terjadi sekian banyak kali. Aku sempat menciut melihatnya. "Banyak sekali yang tidak mampu dan menyerah. Apakah aku bisa sampai puncak?" pikirku kala itu yang segera kutepiskan cepat-cepat.

Perjalanan tidak sesantai saat masih ada Mas Angga tadi. Kini, aku yang jadi tolok ukur. Jika ditanya, kala itu fisikku masih kuat sekali, aku bahkan bisa berlari-lari jika ku mau, tapi nyeri menghalangiku. Aku mulai mengeluh dengan itu.

"Jangan paksakan diri jika tidak kuat. Kita bisa turun," ujar Majid suatu ketika.

Aku menghardik perkataannya itu dalam hati. Aku tidak mau turun. Sudah sedekat ini, aku tidak mau menyerah. Hanya nyeri yang menghalangiku kini, aku masih sanggup!

Karenanya, kuperlihatkan bahwa aku kuat. Aku tak lagi banyak mengeluh kala itu. Kami mulai melalui jalur Arcopodo yang terkenal dengan dua arca kembarnya. Tapi sayang, kami tidak bisa lihat arca-arca itu. Jalur yang dikehendaki pihak balai kini tidak bisa lagi melewati arca. Jalur itu sudah ditutup karena berbahaya. Sebuah batu besar bergambar tengkorak putih menegaskan bahayanya jalur Arcopodo lama. Kami tak bisa apa-apa.

Tak jauh berjalan dari situ, kulihat Muqfy sedang bicara dengan seorang laki-laki kurus tinggi berjacket coklat. "Apakah itu kawan pendaki dari Bandung yang ia cari-cari sejak awal pendakian?" pikirku.

Ternyata benar, itu Mas Fatur, kawan pendaki dari Bandung yang awal rencananya mau jalan bersama tim kami yang hanya 3 orang ini. Biar rame, katanya. Tapi sejak awal pendakian, kami belum sama sekali berjumpa.

Kala Muqfy masih asyik ngobrol dengan Mas Fatur, aku menyapukan pandang ke sekeliling lokasi yang agak luas itu. Pandangku terhenti di sebuah plakat peringatan yang cukup menyeramkan. Di plakat itu ada berbagai peringatan tentang batu di jalur pendakian setelah batas vegetasi nanti. Ya, batu memang jadi hal paling berbahaya ketika akan menuju puncak. Menurut pihak balai saat briefing kemarin, batu di jalur pendakian itu sangat labil. Mudah bergoyang, mudah jatuh dan terlempar. Sama sekali tidak boleh dijadikan pijakan atau tempat duduk.

Tak lama, kami pun kembali berjalan, mulai memasuki jalur ujung Arcopodo. Di situ, aku sempat berhenti lama dan muntah. Tak pernah aku sesakit itu saat pendakian. Nyeri merusak segalanya.

Dan setelah melewati beberapa plakat in memoriam di jalur ujung Arcopodo, akhirnya kami mulai keluar dari batas vegetasi. Perlahan namun pasti, jalur berubah semakin gila. Berpasir, berdebu, dan menukik miring hingga 60 derajat kemiringan. Ini gila sekali!

• • •

Tanpa pohon-pohon dan vegetasi lainnya, angin kencang bebas menebas wajah-wajah sayu kami yang sudah tak karuan terpapar debu dan kebas dengan dingin. Kami mulai mendaki, tidak, lebih tepatnya, mengais-ngais pasir untuk dijadikan pijakan. Pelan sekali. Sekali melangkah ke atas, kami turun 5 langkah ke bawah saking berpasirnya. Mau mempercepat langkah pun susah, karena kaki tertanam di dalam pasir.

5 kali melangkah, aku mulai ngos-ngosan. Majid dan Muqfy memilih untuk tetap di belakangku, jaga-jaga jika terjadi apa-apa. Aku meneguhkan hati untuk terus mengais. Itu baru di awal pendakian, puncak masih jauh sekali. Bebrapa kali batu jatuh dari atas disusul teriakan "Awas batu!" dan kami harus gesit menghindar. Menakutkan sekali.

Sekitar 20 menit bekutat, Muqfy memanggilku. "Ken, istirahat di sini dulu, sekalian lihat ini Cemoro Tunggal."

Aku manut. Rupanya jiwa guide nya sejak di Ranu Kumbolo belum hilang. Ia merasa bertanggung jawab mengumumkan ke kami lokasi-lokasi penting selama pendakian. Dengan susah payah karena harus memotong jalur berpasir, aku pun menuju lokasi yang ditunjuk Muqfy.

Cemoro Tunggal. Benar, itu dia. Sebuah pohon besar yang diikatkan beberapa kain berwarna putih dan kuning. Selain itu, ada semacam kertas kuning bertuliskan jimat yang juga tertempel di pohon itu. Cukup lama kami berhenti di situ. Kutengok ke sebelah kiri, hanya jurang hitam yang menganga dalam. Bergidik juga melihatnya. Di langit, bulan menggantung misterius, diapit awan yang berbentuk tak biasa. Entah apa artinya.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Dan tidak hanya aku, tapi pendaki-pendaki laki-laki lain pun banyak yang sebentar-sebentar berhenti. Hanya lima kali melangkah maju, yang berarti 20 kali turun, mereka sudah ngos-ngosan lalu berhenti. Itu terjadi terus menerus. Apalagi bagi aku yang ditambah nyeri tak karuan.

Selama pendakian itu, aku memantapkan hati untuk bisa sampai puncak dan 'bertemu Soe Hok Gie'. Ya, Soe Hok Gie. Jika kalian pernah mendengar sekilas tentangnya, dia adalah seorang aktivis di tahun '65-'66, yang juga membantu merobohkan orde lama. Ia seorang pemuda idealis yang mati di usia muda di keabadian Gunung Semeru, ketika berniat untuk bisa berulang tahun di Puncak Mahameru tahun 1969 kala itu. Ulang tahunnya tanggal 17 Desember, tapi tanggal 16 Desember Ia mati karena terlalu banyak menghirup asap yang keluar dari kawah Jonggring Seloko milik Semeru. Selama ini, aku bermimpi untuk sampai Puncak Mahameru karena idolaku itu meninggal di jalur pendakian menuju puncak, dan plakatnya terpatri abadi di puncak. Aku harus sampai puncak untuk bisa mengenangnya dengan sempurna. Itu yang jadi motivasi terbesarku.

Tapi, memang Puncak Mahameru tidaklah mudah digapai. Perjuanganku berat sekali. Selain jalur yang gila, aku pun harus berkelahi dengan nyeri yang tak kunjung pergi dan justru menghebat. Akhirnya, demi bisa sampai puncak, aku terapkan sistem menyicil pendakian.

Aku terus menghitung. Setiap 10 langkah, aku akan berhenti mengatur napas sebentar dan meredakan nyeri dengan merunduk, lalu kembali melangkah 10 kali dan melakukan hal yang sama. Ketika sudah tiba pada langkah ke 50, aku akan mencari batu besar yang keras dan kokoh, lalu duduk dan beristirahat di bawahnya. Terus menerus seperti itu. Majid dan Muqfy begitu sabar menghadapiku. Kawan yang luar biasa.

Di suatu waktu saat sedang istirahat, Majid kembali bertanya, "Masih mampu? Jika tidak, jangan memaksakan." Aku hanya bergumam. Aku harus mampu. Hanya nyeri yang menghalangiku. Selebihnya, aku bisa. Untuk menghilangkan nyeri, aku meminta air hangat yang sudah kami sediakan dari tenda lalu kuminum banyak-banyak.

Kami pun kembali berjalan, masih dengan ritual yang sudah kujalankan sejak tadi. Tiap 10 langkah berhenti, begitu seterusnya. Tapi semakin ke atas, angin semakin kencang, jalur semakin gila, nyeriku semakin tak karuan, dan perut makin kembung. Aku mulai masuk angin dan bersendawa tak jelas. Beberapa kali hampir muntah tapi tidak bisa keluar. Ah.. Keadaan kala itu menyiksa sekali. Aku sakit.

Tapi kutepikan semuanya. Sekali lagi kupatrikan, aku sudah sejauh itu, aku sama sekali tak boleh mundur. Mahameru dan Soe Hok Gie sudah menunggu.

Lama kami berjalan dalam diam, perlahan di ufuk timur, semburat merah keemasan mulai nampak sepanjang kaki langit. Indah sekali. Memanjang sejauh horizon dapat tergapai dengan mata. Senyum bahagia terbit di bibir kering kami, bahkan air mataku sempat tumpah, sebuah kesyukuran yang tiada duanya bisa menyaksikan itu dari jalur pendakian menuju Mahameru. Kami bahagia tak terkira.

Kembali berjalan, makin lama, semburat itu semakin terang, dan menyapukan sinarnya ke atas gumpalan-gumpalan awan. Fajar dan lautan awan. Bukankah sebuah mahakarya yang amat indah?

Kami tak peduli lagi dengan sulitnya jalur pendakian. Nyeriku mulai menepi, berganti dengan semangat yang membara-bara untuk menggapai Mahameru. Kami berjalan cepat. Ketika kami menatap ke atas, di ujung sana, pucuk Mahameru mulai terlihat, merah Putih gagah berkibar. Semangat kami terbakar.

Cepat dan pasti, kami kian dekat dengan Mahameru. Istirahat tidak sesering sebelumnya. Kami membanteng. Di sudut kanan dari arah Kawah Jonggring Seloko, Wedhus Gembel (sebutan untuk asap yang keluar dari Kawah Jonggring Seloko) mulai keluar, begitu tebal menggumpal. "Ah, asap itu yang jadi alasan Soe Hok Gie meninggal kala itu," hardikku dalam hati. "Aku tidak mau jadi korban selanjutnya. Aku harus sampai Mahameru sebelum dia memeluk puncak," pikirku lagi.

Maka, aku pun berjalan cepat. Mahameru sebentar lagi!

Dan ketika mentari semakin tinggi, angin berembus makin kencang, dan debu kian membabi-buta, kaki kecilku perlahan melangkah ke Mahameru.

Kakiku gemetar, tanganku dingin. Mahameru sudah ada di telapak kakiku. Betulkah aku berhasil? Aku ragu kala itu. Namun dua kawanku menepikan keraguan itu. Kami memang sudah ada di atas Mahameru, puncak abadi para dewa! Kami berhasil! Tetes air mata pertama meleleh. Aku berhasil..

• • •

Mahameru begitu luas, layaknya lapangan sepak bola. Dan meski terik matahari sudah bersinar sejak tadi, dingin tak jua mau menepi. Angin kencang terus saja menebas-nebas. Kami tetap masih kedinginan.

Setelah meletakkan barang-barang kami di sebuah tempat tepat di tengah Mahameru, aku mulai menjalankan misi, bertemu Soe Hok Gie.

Aku berjalan mengitari tiap sudut Mahameru mencari plakat In Memoriam milik Soe Hok Gie. Majid membantuku. Tapi, berpuluh-puluh menit aku mencari, sedikitpun tak kutemukan jejak Gie di sana. Kucari sekali lagi, tetap tak ada. Sekali lagi kucari, tak jua kutemukan. Mataku nanar, air mataku leleh, benarkah tak ada? Cita-citaku ke Mahameru pupus. Aku sampai, tapi inginku pupus, mimpiku tak terbayar. Benarkan Gie tak ada?

Kucari sekali lagi, tetap tak ada. Aku menyerah dan terduduk diam. Aku tidak bertemu Gie.

• • •

Di Mahameru, aku belajar dan sadar. Bahwa memang hidup tak hanya soal mimpi-mimpi, tapi juga ada kenyatakan yang harus diindahkan. Mahameru menamparku keras. Aku kecewa karena inginku tak terwujud, tapi tidak kulihat apa yang sudah kudapatkan, yang justru lebih indah dan berharga dari apa yang kuimpikan.

Keinginanku pupus, tapi Tuhan berikan aku yang lebih berharga. Di depan pelupuk mataku, Tuhan bentangkan keindahan tak terkira. Di sampingku, Tuhan hadiahkan dua orang kawan yang amat baik. Dan di dada dan pikiranku, Tuhan taburkan bumbu-bumbu pemahaman hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Tuhan lunturkan keakuanku, Ia gantikan dengan ribu keteduhan hati.

Mahameru berhasil menyadarkanku, bahwa hidup selalu pantas disyukuri, apapun bentuknya. Kebahagiaan memang punya banyak wajah. Kita hanya perlu mengenali dan mensyukurinya.

Mahameru, terima kasih..



Selesai..



Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6