Mulai Berlayar, Hingga Berlabuh di Pantoloan | Di KM Labobar #1




"Perjalanan mengajarkan bahwa orang baik itu tidak sedikit."


Beberapa waktu lalu, aku baru saja selesai melakukan pelayaran selama 4 hari di kapal besar bernama KM Labobar. Selama pelayaran itu, ada-ada saja hal keren yang kutemui. Di pelayaran kala itu pula, aku membuktikan kebenaran kalimat di atas, bahwa perjalanan akan selalu mengajarkan kita betapa banyaknya orang baik di dunia ini. Jika kita merasa tidak, mungkin kita saja yang belum bertemu dengan orang-orang itu.

Percayalah, kebaikan akan selalu mengambil wujud terbaiknya di manapun kita berada.

                                         • • •

#HariPertama

Teeett.. Teett....

Aku kaget, bangun dari tidurku. Kucari-cari asal suara tadi, "Ah.. Ternyata hape milik Majid yang sedang memekik membunyikan alaram," batinku.

Rasanya baru amat sebentar aku tidur, sekarang sudah harus bangun dan bergegas. Kusapukan pandang, Majid dan Tulus yang tidur di lantai tak jauh dari sofa tempatku tidur masih bergumul. Belum ada tanda-tanda akan beranjak.

Namun tak lama, ketika azan subuh berkumandang tepat dari masjid sebelah rumah, mereka terlompat dari kasur, lalu bergegas menuju masjid. Pemandangan yang indah.

• •

Hari itu adalah hari terakhir kami di Kota Bitung, setelah dua hari menetap di rumah milik saudaranya Majid yang sederhana.

Inilah orang baik yang menolong kami selama di Bitung. Suguhannya luar biasa, pelayanannya melampaui pelayanan di hotel-hotel berbintang lima sana yang kebanyakan hanya semu. Aku kagum sekali.

Setelah sholat subuh, mandi, beres-beres, dan makan, kami pun pamit menuju pelabuhan, bertemu dengan kapal besar yang akan membawa kami berlayar selama 4 hari di lautan luas.

Hari itu, kami berangkat dengan rasa terima kasih yang teramat di dalam dada. Orang-orang baik seperti itu, sudah seyogyanya mendapat balasan yang setimpal. Kami berjanji untuk itu.

• •

Hari pertama di Kapal Labobar, kami sudah bertemu kejadian kurang mengenakkan. Setelah berjam-jam menunggu, berdesak-desakkan masuk ke badan kapal dengan penumpang lain, lalu berkelana mengelilingi kapal untuk sekadar mencari tempat kami sesuai yang sudah tertera di tiket, kami harus siap menerima kenyataan bahwa tempat kami sudah ada yang menempati. Beberapa orang sudah dengan enaknya tidur berleye-leye di atas kasur yang seharunya menjadi tempat kami.

Tentu kami tidak terima. Kami berusaha bicara baik-baik sembari memperlihatkan tiket. Beberapa orang di antaranya lantas bermuka masam, hanya seorang bapak yang mau meladeni kami meski dengan sikapnya yang juga tida terlalu kami suka.

"Kami sudah biasa di sini, meski tidak pakai tiket," ujarnya sekali waktu.

Kami tentu tidak suka. Menurut kami, yang punya tiket harusnya yang punya tempat juga. Kami sudah membayar untuk itu, dan tempat itu adalah hak kami.

Setelah perhelatan cukup alot yang disertai muka masam, akhirnya mereka bersedia beranjak. Dengan kesan cukup marah, mereka mengangkat barang-barang mereka lalu meletakkannya di lantai dek tidak jauh dari kami.

"Biarkan dulu barang saya di situ, ya," ucap bapak tadi sambil melewati saya. Langsung ku arahkan pandang ke tempat tidur di sudut, "Itu tempat tidurkuu, kenapa barang-barangnya tidak diangkat saja? Hhhhhh," gerutuku dalam hati.

Akhirnya, meski secara de facto mereka sudah beranjak dari situ, tetap masih ada barang-barang mereka yang bertengger. Aku pribadi tidak terima, dan karenanya, aku sendiri menjadi badmood sepanjang hari.

• •

Tempat kami di Kapal Labobar ini ada di dek 6. Sekilas, kapal ini punya banyak sekali dek, tapi setahu kami, ada sekitar empat dek yang dikhususkan untuk penumpang, yakni dek 3 sampai 6. Dek di bawah dek 3 jika bisa kuperkirakan dikhususkan untuk berbagai kendaraan yang ikut berlayar. Di dek 7 ada mushola, dan di dek 8 ada Pelni Mart dan kantin.

Setiap hari -terutama malam, jika mulai bosan di dek, aku, Tulus, Majid, dan beberapa kawan yang lumayan akrab akan berkeliling kapal atau sekadar nongkrong di kantin dek 8, ditemani kelakar Tulus yang kerap berkata, "Wee torang sama dengan tida bajalan aba, cuma di tampa trus," (Eh, kita kayak gak jalan nih, kayak di tempat terus). Memang, jika malam tiba, kapal seakan tidak berjalan ke manapun dan hanya diam di tempat, saking gelapnya lautan di luar sana hingga kami tak mampu melihat apapun. Itu kekaguman pertamaku. Padahal kami sedang ada di lautan lepas yang antah, tapi kami serasa sedang ada di dalam rumah nyaman yang diam tanpa bergerak.

Intinya, kami berusaha menikmati tiap inci waktu di atas badan besar Labobar kala itu.


                                         • • •

#HariKedua

Di pelayaran kali ini, aku ditemani 11 orang kawan lainnya, yakni Agi, Za, Dila, Ela, Yahya, Majid, Aldin, Pati, Rafli, Bempa, dan Tulus. Memang, sebagian besar dari mereka berangkat bukan untuk jalan-jalan sepertiku dan Tulus, tapi kembali merantau untuk menuntut ilmu. Maklum, mereka adalah mahasiswa di salah satu pondok terkenal di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.

Tapi jujur, aku tidak terlampau akrab dengan mereka meski semuanya adalah anak-anak asal Gorontalo, terlebih para perempuan. Aku merasa sama sekali tidak cocok dengan segala sesuatu tentang mereka, terutama selera humor. Aku tidak pernah bisa tertawa dengan apa yang mereka tertawakan.

Tapi sudah begitu, toh kita tidak harus akrab dengan semua orang yang kita temui. Tiap orang memang bisa saja nyaman dengan seseorang, dan tidak nyaman dengan orang yang lain, kan? Kupegang kepercayaan itu.

 • •

Seperti kebanyakan aktvitas manusia di atas kapal, kami hanya tidur, makan, berkeliling, dan nongkrong. Bagi aku pribadi mungkin ditambah baca buku.

Siangnya, kami makan bersama. Makanan di kapal memang tidak terlalu membuat kami berselera, hanya segumpal nasi, setampuk sayur, dan secuil ikan yang semuanya hambar -seperti makanan di Rumah Sakit. Beruntung, kami membawa cukup banyak bekal dari Bitung. Sebelum berangkat kemarin, saudaranya Majid membungkuskan kami nasi yang biasa kami sebut "Burasa" (nasi yang dimasak pakai santan dan dibungkus pakai daun pisang) cukup banyak. Kami melahapnya dengan sambal khas Gorontalo yang kami bawa masing-masing: sambal sagela.

Waktu berjalan lambat di atas Labobar. Kami terus-terusan mengapung di lautan lepas yang seakan tiada bertepi. Lalu, sekitar pukul 4 sore di hari kedua itu, setelah 28 jam pelayaran tiada henti, kami berlabuh di pelabuhan pertama, Pelabuhan Pantoloan, Sulawesi Tengah.

Bahagia melihat daratan yang terpampang di depan mata, kami pun memutuskan turun. Setidaknya akan ada masa di mana kami akan bercerita pernah menjejakkan kaki di suatu tempat bernama Pantoloan.

• •

Kapal berlayar lagi. Hanya kurang lebih sejam kami menikmati Pantoloan dengan pentolan. Waktunya kembali berangkat, menuju tempat berlabuh berikutnya.

Malam harinya, seperti biasa kami memutuskan nogkrong lagi di kantin Pelni Mart di dek 8. Tapi kali ini, kami kurang beruntung. Semua tempat sudah terisi. Akhirnya, kami memutuskan duduk di sebuah tempat di mana seorang pria paruh baya sedang duduk sendirian. Dia kelihatan galau, jadi kami duduk lalu bicara tanpa benar-benar melibatkan dia.

Tapi, sekali dia mengangkat wajahnya, dia kelihatan bersahabat. Kami pun coba membangun obrolan dengannya. Dan ternyata, kami bisa cukup akrab. Pembicaraan pun terbangun, panjang dan tak ada habisnya, ditemani berbungkus-bungkus kwaci -maklum, sejak berteman dengan Tulus, kami semua sudah tertular doyan kwaci.

Pembicaraan runtut, mulai dari pembicaraan basa-basi yang saling bertanya asal daerah, kuliah di mana, kerja di mana, hingga soal judi pancing, dan makanan tradisional. Bahkan ketika berbicara soal hal terakhir ini, kami sempat suguhkan dia sambal sagela dan burasa. Hanya secolek yang dia makan, tapi dia mengaku begitu kepedisan.

Bapak itu ternyata seorang Homo Jakartensis (Orang Jakarta : istilah yang kupinjam dari Seno Gumira Ajidarma). Beberapa waktu lalu dia sedang beruntung dan mendapat hadiah mobil, tapi mobilnya harus dia ambil di daerah Sulawesi Utara. Akhirnya dia berangkat, dan kembali naik kapal dengan memuat sekalian mobil barunya.

Cukup asyik pembicaraannya. Dia tidak jaim sebagai orang yang lebih tua. Dan lalu kami tahu, ternyata dia tidak punya seat selama pelayaran ini. Akhirnya kami menawarkan dia untuk ikut ke dek kami. Sekadar istirahat atau menyimpan barang. Sesama pejalan harus saling berbuat baik, bukan?

Malam itu, aku kembali ke dek lebih cepat dari biasanya. Meninggalkan Majid dan Bempah yang masih melanjutkan pembicaraan dengan pria paruh baya itu, yang hingga saat ini tidak kuketahui namanya.



Bersambung.. 

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6