Perjalanan Panjang Menuju Syurga | Semeru #2
"Karena sebaik-baiknya seseorang, adalah yang berjalan perlahan tapi tahu arah tujuan, bukan berlari kencang tapi tak tahu mau ke mana." -Fiersa
Baca juga kisah pertama kami : Berangkat Menuju Bahaya | Semeru #1
14 Juli 2019
Pagi itu, aku bangun dengan menggigil hebat.
Hampir pukul 5 pagi, aku tersentak kaget dengan sebuah cahaya yang sayup-sayup menerpa dinding tenda tepat di sebelahku. Entah itu cahaya dari headlamp milik siapa, yang pasti itu berhasil membangunkanku di pagi buta yang begitu dingin kala itu. Aku menggigil. Tangan kaku dan sakit bagai ditusuk-tusuk jarum. Bibir kebas sulit digerakkan.
Aku paksakan untuk bangkit, membuka sleeping bag perlahan, lalu keluar dari tenda masih lengkap dengan jacket dan sarung tangan sambil membawa beberapa keperluan untuk mandi (awalnya aku memang berniat untuk mandi).
Tapi, wussssssssss.....
Ketika kubuka tenda, angin dingin keras menampar wajah dan tubuhku. Aku makin menggigil. Kulihat sekeliling, semua sudah memutih.
"Astagahh... Ini salju? Gila sekali," pikirku kala itu sambil menyapukan pandang ke seluruh penjuru Ranu Regulo. Pandangku berhenti tepat di tenda kami lagi.
"Astagah... Tenda kami membekuu!" pekikku dalam hati sambil menangkupkan kedua tangan di depan mulutku. Aku sama sekali tidak menyangka.
"Nyatakah semua ini?" tanyaku dalam hati lagi.
Sungguh, gila sekali. Tenda membeku, seperti ada parutan es di atasnya. Sebuah sandal hitam yang terletak di depan tenda juga memutih dengan es. Rumput dan alang-alang hijau yang menghampar di sekitar Ranu Regulo juga memutih dan berkilau-kilau karena es. Seriuskah ini? Ini di Indonesia?
Gigilanku makin hebat, sama sekali tak berani mengeluarkan kedua tangan dari saku jacket untuk sekadar mengabadikan hamparan yang memutih di depanku kala itu dengan kamera. Perlahan, aku melangkah menuju Masjid Desa Ranu Pani tak jauh dari Ranu Regulo. Namun memang, kala itu perjalanan terasa panjang sekali. Kakiku gemetar hebat, membuatku sulit melangkah. Aku bagai seorang manusia dari Gurun Sahara yang terdampar di Antartika. Kedinginan hebat, menggigil gila.
Sekitar 10 menit, aku baru tiba di Masjid. Padahal biasanya hanya butuh 2 menit dari Ranu Regulo ke Masjid desa itu. Ah.. Dingin yang tak tahu diri.
Karena itu pula, aku tak jadi mandi. Serius, hanya sekali celup ke airnya saja, tanganku sudah mengigil dan sakit bagai ditusuk jarum. Maka kupupuskan untuk mandi dan hanya bersih-bersih seadanya. Toh tak mengapa, aku sudah mandi hari sebelumnya.
Lepas itu, aku bersedekap di dalam Masjid. Kulihat Muqfy juga tak jauh dari tempatku. Ternyata dia sudah di sini sedari tadi.
Tak lama, Majid datang. Muqfy entah sudah kemana, mungkin sedang menyusuri lembah yang 'memutih' ini dan mulai mengabadikannya. Karena belum berani menggigil di luar sana, aku iseng-iseng tiduran di dalam Masjid. Ah.. Tapi aku kebablasan. Hampir pukul 7 pagi, aku baru bangun dan melihat sekelilingku sudah kosong, hanya Majid yang tinggal di situ 'menjagaku'. Dia tertawa. Katanya, dia pikir aku sudah mati kedinginan, karena sejak awal aku tidur hingga bangun, posisiku tidak berubah, pun sama sekali tidak bergeming. Haha. Aku hanya tertawa menanggapi pikirannya yang terlampau jauh itu.
Kami pun keluar dari Masjid. Angin dingin langsung menerpa, masih sedingin pagi tadi, padahal di ufuk timur mentari sudah dengan teriknya menyinari.
Aku beranikan diri menyusuri Ranu Pani yang 'memutih'. Ah.. Aku memang seperti tidak sedang berada di Indonesia kala itu. Es di mana-mana. Siapa yang menyangka ini bisa terjadi di Indonesia?
• • •
Setelah berlama-lama di Warung Makan Bu Sri di sekitar plang bertuliskan Ranu Pani, hingga packing di depan tenda dalam baluran terik matahari, akhirnya pukul 10.35 aku sudah antri lagi di depan loket untuk memberi berkas dan KTP asliku sebagai ketua tim pendakian, juga mengambil tiket untuk pendakian selama beberapa hari ke depan. Tak lama mengantri, kami siap masuk ke kawasan pendakian Gunung Semeru dengan membawa berkas lain yang diberikan pihak balai saat kami mendaftar tadi.
Sebelum berangkat, aku sempatkan diri membeli Gaiter di kios dekat basecamp pendaftaran (meski awalnya ku hanya berniat menyewa). Gaiter memang jadi salah satu perlengkapan penting untuk pendakian di gunung-gunung berpasir seperti Semeru ini, terlebih jika kita berniat untuk sampai puncak. Tiada Gaiter berarti harus siap selama perjalanan ke puncak senantiasa membuka pasang sepatu hanya untuk mengeluarkan kerikil-kerikil kecil dan tajam, atau jika tau mau mengeluarkan, siap-siap saja kaki berdempetan dengan kerikil-kerikil yang menyempil masuk itu. Aku sih tak mau ribet begitu saat summit.
Setelah memilih-milih Gaiter sebentar, meminta pendapat Majid mana yang bagus, akhirnya aku berhenti pada sebuah Gaiter merek Jack Wolfskin berwarna hitam -yang kedepannya akan berubah menjadi warna abu-abu total karena pasir dan debu Gunung Semeru.
Pukul 11.00 tepat, kami mulai berjalan dengan gaya khas kami masing-masing. Aku dengan gamis hitam sepanjang betis yang kurancang khusus untuk pendakian, kemeja flanel kesayangan, jilbab rabbani panjang, sepatu trecking Eiger, trecking pole hitam, ring bag hitamku yang melegenda, dan carrier biru Eiger Appalachia-ku yang selama ini sudah menemaniku ke berbagai gunung.
Majid dengan setelan celana lapangan hitam dan kaos hitam, sepatu trecking -yang ternyata sudah bolong kecil di salah satu sisi, ring bag hitam, dan carrier Consina Tarebi hitamnya yang tinggi menjulang.
Dan Muqfy dengan setelan pendakinya yang khas, celana lapangan pendek coklat belel disambung legging hitam, kaos tangan pendek coklat juga disambung dalaman hitam, buff dan topi, trecking pole Consina biru, sepatu trecking hijau, carrier Consina Tarebi biru yang juga tinggi menjulang, dan daypack kecil yang ia sampirkan di depan dada.
Kami siap bersahabat dengan Semeru!
• • •
Di awal perjalanan, kami masih menyusuri jalanan aspal yang menurun dengan perkebunan sayur yang hijau luas membentang di sisi kanan, hingga tiba di gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Para Pendaki Gunung Semeru Kabupaten Lumajang, Jawa Timur". Di situ kami melakukan pemeriksaan tiket lagi yang terakhir kalinya, lalu mulai menyusuri jalan setapak ke arah jalur pendakian.
Siang itu mentari begitu terik. Meski begitu, sepoi-sepoi angin yang menerpa wajah kami tetap kerap menciptakan gigil.
Setelah melewati jalan setapak, kami mulai masuk jalur pendakian yang diawali dengan tanjakan miring dan panjang yang berdebu. Sekali melangkah, debu berterbangan tak tahu arah, menampar wajah-wajah kami yang masih bersih.
Baru beberapa langkah, napasku mulai tak beraturan. Dada sakit dan naik turun tak menentu. 5 langkah, berhenti, 5 langkah, berhenti. Ah.. Aku memang sebegitu lemahnya. Sejujurnya aku benar-benar pendaki yang amat lemah dan lambat. Selama ini, keberhasilanku mencapai puncak-puncak gunung hanyalah buah dari tekadku yang keras kepala, bukan karena fisik yang bugar dan kuat. Sama sekali bukan karena itu. Karenanya, aku cukup pemilih dengan orang-orang yang akan mendaki denganku. Jika bersama orang-orang yang tak tahu kebiasaanku dan kelemahanku, atau yang tak mau menunggu lambatku, aku justru yang akan tersiksa dalam pendakian karena pasti akan digenjot untuk cepat. Karenanya aku suka sekali mendaki dengan Majid dan Muqfy. Keduanya adalah kawan yang tahu benar selambat apa aku mendaki.
Hampir 15 menit berkutat, baru akhirnya aku dan Majid tiba di tempat luas yang landai -pos bayangan pertama, menyusul Muqfy yang sudah duluan di depan sebagai leader.
Aku langsung menjatuhkan pantatku di salah satu gundukan tanah, tak peduli debu berterbangan begitu lebat ke arahku, tak peduli gamis hitamku kotor. Ah.. Carrier-ku di pendakian kala itu memang berat sekali. Karena hanya bertiga, beban yang ditanggung juga semakin berat karena tidak ada orang lain lagi untuk berbagi beban.
Sekitar 5 menit istirahat, aku minta ke Majid dan Muqfy untuk membiarkanku berjalan sendiri dulu baru mereka menyusul, mumpung masih di treck awal pendakian. Mereka mengiyakan. Aku pun mulai menyusuri jalan setapak kecil menuju Pos 1, sendirian.
Jalur naik turun, kebanyakan landai. Kalau naik pun tidak terlalu ekstrem. Kedepan aku tahu, jalur pendakian Semeru memanglah jalur yang ter-adil seumur aku mendaki. Habis naik, jalurnya pasti turun, dan kebanyakan landai hingga Ranu Kumbolo. Dengan begitu, mau pergi atau pulang, capeknya sama saja, tidak ada yang lebih sulit, tidak ada yang lebih mudah.
Sepanjang berjalan sendiri menuju Pos 1, aku kerap berpapasan dengan pendaki lain yang mau turun. Ada juga pendaki yang menyusulku dari belakang. Sapaan khas seperti "Monggo, mbak, mas," dan balasan seperti "Nggeh, mas, mbak," mulai dilantunkan, bagai lagu yang tak pernah ada habisnya sepanjang pendakian ini.
Semakin lama, jalanku semakin cepat, mungkin karena ritme pendakian ini mulai bisa ku kuasai. Aku mulai terlatih. Didukung jalur yang tak ada ekstrem-ekstremnya sama sekali, aku melesat cepat. Istirahat pun hanya sebentar-sebentar, hanya mengendorkan carrier, lalu lanjut berjalan lagi.
Tapi memang Majid dan Muqfy akan selalu lebih cepat dariku. Kerap kali mereka bisa memapasiku, atau menyalipku. Kadang aku meminta mereka jalan duluan biar aku jalan sendiri di belakang, kadang aku yang diminta jalan duluan. Aku memang sedang ingin begitu kala itu. Entah kenapa aku merasa lebih semangat jika sendiri.
Tapi karena itu pula, banyak pendaki lain yang berpapasan denganku bertanya sekaligus menyemangati, "Sendirian aja, Mbak? Semangat! Hati-hati, Mbak!" Jika bisa kuhitung, hampir 20 orang bertanya seperti itu padaku, haha. Aku sih senyum-senyum dan iya-iya saja.
Lama berjalan menyusuri jalan setapak yang panjang seperti tak ada habisnya itu, diiringi hamparan lembah hijau di sisi kiri, akhirnya pukul 13.04 kami tiba di Pos 1, yang berarti sudah 2 jam 4 menit kami berjalan.
Pos 1 Gunung Semeru penuh jajanan. Dan kedepan kutahu, setiap pos sepanjang pendakian Gunung Semeru ini selalu ada kios sederhana dan berbagai jajanan, bahkan hingga pos terakhir, Kalimati.
Kuingat kelakar salah seorang kawanku di pendakian Kerinci saat kami akhirnya kembali tiba di gerbang pendakian setelah melakukan pendakian berhari-hari. Katanya, "Ah.. Akhirnya uang berguna juga, yah," sambil mengeluarkan beberapa lembar 5 ribu-an untuk membeli makanan. Jika kita berpikir seperti itu ketika akan mendaki Semeru dan memutuskan untuk tidak membawa uang, mungkin kita akan jadi pendaki paling penuh penyesalan, haha.
Uang kami keluar terus selama pendakian Semeru. Bagaimana tidak? Tiap pos ada jajanan-jajanan yang begitu menggiurkan, mulai gorengan, madu, hingga berbagai jenis seduhan. Tapi yang paling spesial adalah semangka. Ah.. Bayangkan saja betapa segarnya menikmati semangka saat dahaga minta dipuasi. Akhirnya, semangka selalu jadi semangat dalam pendakian. Kelakar-kelakar seperti, "Semangat, sedikit lagi semangka," atau "Ayoo cepat, semangka di depan mata," kerap diucapkan Muqfy, Majid, maupun pendaki-pendaki lainnya. Sebuah harmoni dalam kelelahan.
Hampir setengah jam istirahat di Pos 1, makan semangka dan roti, kami lalu kembali berangkat menuju Pos 2, menyusuri lagi jalan yang menghutan.
• • •
Perjalanan ke Pos 2 tidak terlampau jauh, dan juga sama sekali tidak ekstrem. Sekali lagi kukatakan, jalur pendakian Gunung Semeru sejak awal hingga Ranu Kumbolo memang sama sekali tidak sulit. Tidak ada yang terlalu menanjak, tidak ada yang terlalu menurun, justru kebanyakan landai. Tapi karena itu pula jalurnya jadi begitu jauh hingga butuh waktu lama untuk dihabiskan. Kami harus mengitari beberapa gunung lainnya. Katanya sih itu yang namanya gunung/bukit tengger.
Tak lama berjalan, pukul 14.10 kami sudah tiba di Pos 2, yang berarti hanya memakan waktu sekitar 33 menit dari Pos 1.
Di Pos 2, kami tidak makan semangka atau apapun. Hanya meregangkan badan sebentar, melemaskan carrier, lalu kembali berjalan. Kami kembali menyusuri jalan panjang yang seakan tak ada habisnya. Katanya jarak Pos 2 ke Pos 3 memang cukup jauh.
• • •
Dalam perjalanan menuju Pos 3 kami disuguhkan jalur yang aduhai. Indah dan landai. Banyak pohon-pohon tinggi di sisi kiri jalan, meski di awal perjalanan sebagian besar pemandangan masih tertutup awan.
Kami berjalan perlahan namun pasti. Muqfy paling depan, aku di tengah, dan Majid sebagai sweeper di belakang. Muqfy kebanyakan diam di perjalanan kala itu, entah kenapa. Kutebak dia capek. Lebih dari itu, tidak berani aku bertanya. Cukup sungkan juga aku dengan kawan satu itu jika dia sudah diam tanpa kata seperti itu.
Lama berjalan, kami tiba di sebuah tempat dengan plang bertuliskan Watu Rejeng di ketinggian 2.350 mdpl. Di situ juga ada plang lain bertuliskan jarak ke Ranu Kumbolo yang masih sekitar 4,5 km lagi. Masih cukup jauh.
Tak jauh berjalan dari situ, kami tiba lagi di sebuah tempat yang melegenda dan banyak dibicarakan, Jembatan Merah. Kami beristirahat cukup lama di situ, sekaligus mengambil gambar. Teringat kelakar pihak balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru saat briefing, katanya, "Pendakian ini tidak terlalu lama, pokoknya tergantung selfinya aja," haha. Benar juga. Jika tidak banyak mengabadikan momen, mungkin kami bisa lebih cepat.
Tapi sudahlah, toh di zaman sekarang mengabadikan momen adalah hal wajib yang tidak boleh terlewatkan, asal tetap jangan lupa untuk menikmati saja. Setidaknya banyaknya foto kita di kala muda, bisa jadi alasan bahagia kita di kala tua ketika tidak bisa lagi sebebas kini melakukan banyak hal luar biasa. Bukankah begitu?
Dari Jembatan Merah, kami menemukan keindahan lain lagi. Lautan awan menggumpal-gumpal, membentang hingga ujung cakrawala. Kami meperhatikannya sambil melongo. Di bawah sini kami sudah dapat lautan awan? Bagaimana di puncak?
Langkah kami lama terhenti di situ. Muqfy sibuk menjepret ke sana kemari, aku pun begitu. Sementara Majid hanya memperhatikan kami dan tersenyum-senyum. Entah apa artinya.
Lepas dari situ, kami berjalan tanpa henti meski seringkali menoleh ke arah kiri, memperhatikan gumpalan awan yang seperti abadi bertengger di langit sana.
Dan perlahan ketika hari mulai senja, semburat merah muda muncul di garis horizon. Membentang panjang menggandeng gumpalan-gumpalan awan yang ada sejak tadi kami dihantarkan menuju gelap dengan suguhan yang indah.
15.38, kami tiba di Pos 3, sholat sebentar, makan semangka dan gorengan, lalu kembali berjalan, mengejar hari yang kian gelap.
Jalur yang menukik tajam dan naik menjadi pembuka awal perjalanan menuju Pos 4. Tapi hanya sekali itu, selebihnya jalur landai lebih banyak mewarnai.
• • •
17.33 menuju Pos 4, kami menyaksikan surga. Ya, surganya Semeru, Ranu Kumbolo. Indah sekali. Sayangnya ketika kami tiba di jalur yang bisa menyaksikan Ranu Kumbolo sebebas-bebasnya kala itu, hari sudah hampir gelap. Tak banyak yang bisa kami abadikan selain menikmatinya dengan mata terbuka lebar dan hati syahdu bahagia. Ranu Kumbolo menuju gelap saja sudah sebegitu indahnya.
Pukul 17.47, kami tiba di Pos 4, beristirahat sedikit meregangkan kaki dan punggung dari carrier, lalu kembali berjalan sudah dengan headlamp masing-masing di kepala.
Hari sudah sepenuhnya gelap kala kami melalui jalan yang menukik tajam dan menurun menuju lembah luas yang akan mengantarkan kami ke Ranu Kumbolo.
Kala itu kami sempat berpapasan dengan sepasang pendaki yang dalam perjalanan naik namun keduanya sama sekali tidak menggunakan headlamp. "Mbak, kenapa tidak pakai headlamp?" tanya Muqfy ke arah mereka.
"Headlampnya dipinjam teman tadi, hehe," sahut perempuan itu sambil terus berjalan.
"Ini Mbak ada headlamp di kami," tawar Muqfy.
"Hehe gak usah, makasih, ya, biarkan kami diterangi cahaya rembulan saja," jawab si laki-laki paruh baya yang kebetulan saat itu sedang lewat tepat di depan Muqfy.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban itu, lalu kembali berjalan perlahan.
Tak lama melewati lembah luas yang dipenuhi alang-alang, naik sebentar dan melalui jalan setapak, pukul 18.37 kami tiba di Ranu Kumbolo. 7 jam setengah melakukan perjalanan dari basecamp, akhirnya kami tiba di syurganya Semeru..
Bersambung..
Comments
Post a Comment