Setelah Kalimantan, Akhirnya Kami Tiba | Di KM Labobar #2-SebuahAkhir



"Percayalah, perjalanan akan selalu memberi kita ribuan pembelajaran yang baik, jika kita mau mengambilnya." -Nikhen Moko


Baca juga kisah pertama kami : Mulai Berlayar, Hingga Berlabuh di Pantoloan | Di KM Labobar #1


                                         • • •

#HariKetiga

"Ken.. Ken.. Bangun. Ndak mau turun?" kudengar seseorang menyebut-nyebut namaku lantas melontarkan sebuah pertanyaan. Rasanya seperti mimpi yang begitu nyata.

Tak lama tubuhku bagai digoncang-goncangkan dengan suatu benda tajam. Aku tersentak kaget lantas membuka mataku, "Ada apa?" batinku.

"Bangun. Ndak mau turun? Kita sudah di Balikpapan," ujar Tulus yang berdiri tepat di ujung kakiku. Aku hanya megangguk, lalu perlahan bangun. Kutengok jendela kecil di sudut kanan dek, dan benar, kami sudah tiba di Balikpapan, pelabuhan terakhir sebelum kami berlayar jauh menuju Surabaya.

• •

Hari masih begitu muda. Kapal bersandar di Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur saat waktu masih menunjukkan sekitar pukul 4 dini hari. Hampir pukul 5, aku, Tulus, Majid, dan bapak paruh baya yang ngobrol bersama kami malam sebelumnya, turun membelah lautan manusia di Pelabuhan Semayang itu.

Kawan-kawan lain memilih tidur. Saat kami akan turun, Aldin sempat berujar, "Kami sudah jadi penjaga hape kalian semalaman penuh. Sekarang saatnya kami tidur."

Memang, di dek kami tidak ada tempat buat mengisi daya hape. Kami harus turun di dek 4 dulu untuk itu. Dan malam sebelumnya, rupanyan Aldin yang menjaga hape-hape kami di dek 4.

Belum lama kami berjalan dan mencari-cari jalan keluar, Tulus sudah mengeluh sakit perut dan ingin buang air, terpaksa aku temani dia -menunggu di depan toilet. Sementara Majid dan si bapak pergi ke arah lain mencari mesin ATM.

Selama menunggu, aku kerap melihat jam di tangan. Waktu terus berjalan, dan kami bahkan belum keluar dari area pelabuhan. Menurut informasi yang kami terima, kapal kali ini akan lebih cepat berangkat dibandingkan ketika di Pelabuhan Pantoloan kemarin.

Hampir 10 menit, Tulus keluar. Kami pun bergegas meliuk di antara puluhan manusia yang keluar masuk pelabuhan, lalu menuju pintu keluar. Rencana kami untuk menuju Indomaret terdekat kami pupuskan. Waktu sudah mepet, sementara jika ingin ke Indomaret kami harus naik angkot dulu. Tidak memungkinkan. Kami terlalu takut ketinggalan kapal.

Akhirnya kami hanya membeli beberapa camilan di pinggir jalan tepat depan pelabuhan. Aku tetap bersyukur. Setidaknya aku sudah pernah menjejakkan kaki di tanah Kalimantan, meski hanya sebentar.

Tak lama membuai dalam dinginnya Kalimantan, kami bergegas menuju badan kapal lagi. Suara kapal sudah melenguh 2 kali tanda akan segera berangkat. Di saat-saat itu, jantungku berdebar cepat takut ketinggalan. Tapi beruntung, kami yang sudah pegang tiket lama, punya akses lebih cepat untuk masuk.

Kami pun berlenggang masuk lebih leluasa, berdesakkan sebentar di tangga masuk, lalu berhasil menerobos penumpang-penumpang lainnya.

Kami sudah di atas kapal, saatnya katakan selamat tinggal pada tanah Kalimantan.

• •

Sepanjang hari tak ada aktivitas yang berarti. Kami hanya makan, tidur, jalan-jalan sebentar, makan, lalu tidur lagi. Yang istimewa di hari-hari terakhir ini, aku sudah lebih dekat dengan kawan-kawan lain, dan itu jadi sebuah kebahagiaan.

Memang, keakraban itu tidak akan tumbuh semudah membalikkan telur di atas wajan, tapi butuh proses untuk itu. Kita tidak bisa memaksanya, hanya perlu menjalaninya.

Kawan-kawan perempuanku -yang semuanya jauh lebih muda dariku itu, mulai asyik berkelakar denganku. Sekali dua kali aku bahkan mampu tertawa dengan lelucon mereka. Asyik ternyata. Bahkan Ela sudah berani berbagi cerita denganku.

Lama bersenda gurau di dalam dek, akhirnya kami memutuskan menikmati angin sepoi di dek 7. Dengan beralaskan baliho bekas, ditemani gitar dan beberapa camilan, kami melingkar, bernyanyi-nyanyi, tertawa-tawa, menjadi kumpulan orang paling berisik di penjuru dek 7 itu. Hingga akhirnya kami berujung bermain kartu, sampai waktu zuhur tiba. Lingkaran yang manis. Kami semakin akrab.

Oh, ya, ngomong-ngomong soal zuhur, aku punya cerita menarik tentang ritual sholat di atas Labobar ini.

Seperti yang kita tahu, karena kami sedang berlayar, tentu arah kapal juga senantiasa berubah. Banyak sekali yang bertanya, lalu, bagaimana menentukan arah kiblat?

Itu yang menarik. Karena arah kapal selalu berubah, maka arah kiblat pun senantiasa ikut berubah. Ada petugas khusus yang mengatur hal itu. Mulai dari menginformasikan arah kiblat, hingga merubah-ubah tempat sholat yang disesuaikan dengan arah kiblat. Jadi, di atas Labobar ini, tidak akan kita temukan mushola yang monoton, karena dia senantiasa berubah. Semacam keasyikan tersendiri bagiku melihat itu semua.

Ketika kau sholat subuh dan menghadap ke suatu arah, zuhurnya, kau harus menghadap ke arah lain lagi, begitu juga saat sholat di malam hari. Semua kerap kali berubah. Bahkan pernah sekali waktu, aku salah masuk ke tempat laki-laki karena sebelumnya aku tahu benar di situ tempat untuk shaf perempuan. Haha. Kocak sekali rasanya.

Selain soal arah kiblat, ada juga hal asyik lainnya. Tiap kali masuk waktu sholat, aku selalu menyaksikan betapa banyaknya manusia di atas kapal kala itu yang ingin menghadap Tuhan. Antriannya luar biasa panjang, kayak mau antri ambil sembako. Itu kenapa, setiap waktu sholat tiba, dek 7 selalu sesak, macet, penuh manusia yang habis basah wajahnya dengan air wudhu. Aku terkagum-kagum dengan hal itu.

Ah.. Memang, di manapun kita berada, soal menghadap Tuhan tak bisa ditawar-tawar lagi, bukan? Itu sudah jadi sebuah kewajiban mutlak. Kita tinggal menjalaninya.

• •

Waktu berjalan lambat. Sorenya, kami habiskan waktu di sudut dek 7 yang sebenarnya terlarang. Tapi karena tempatnya cukup eksotis, kami membelot dan duduk di situ hingga matahari terbenam.

Dan kala itu, kami menyaksikan sebuah mahakarya lagi. Tuhan begitu membuatku terpukau dengan keahliannya. Di ufuk barat kala itu, langit mulai keemasan, perlahan namun pasti mentari beranjak turun, kembali ke peraduannya. Di sekelilingnya, awan-awan bergumpal-gumpal jadi penggiring. Menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa sore itu langit begitu menakjubkan.

Air laut berpendar-pendar indah terpantul cahaya yang kian emas. Burung-burung melenguh, bergerombol membelah langit yang makin temaram. Kami bagai menyaksikan sebuah lukisan hidup maha indah tepat di pelupuk mata. Keindahannya membuat kami, dan aku pribadi melongo. Aku terkagum-kagum.

• •

Malam tiba. Sore tadi setelah segala hal menakjubkan, ada awan hitam tiba-tiba menggantung. Lalu semakin banyak. Dan ternyata itu pertanda cuaca ekstrem akan segera menghampiri kami.

Malam kala itu, seperti biasa, kami menuju kantin Pelni Mart di dek 8. Tapi naas, sama sekali tidak ada ruang untuk kami. Semua sudah terisi, dan penuh. Akhirnya, aku dan Tulus yang sudah membawa banyak bekal, mulai dari mi, kwaci, air panas, hingga berbagai camilan lainnya, hanya bisa berdiri dan menunggu sambil memandang lautan lepas yang hitam pekat.

Lama sekali, sudah hampir 20 menit, tidak ada tanda-tanda orang yang mau beranjak kembali ke dek dan meninggalkan tempatnya kosong. Kami harus ekstra sabar.

Hingga akhirnya, di menit ke 30, dua orang berdiri meninggalkan tempat duduknya. Aku dan Tulus langsung sigap mengambil tempat itu, meski di depan kami masih ada dua orang perempuan lainnya yang harus kami 'singkirkan' untuk bisa menikmati malam lebih leluasa.

Sekitar 10 menit kemudian, salah satu dari dua orang perempuan di depan kami beranjak. Rupanya dia mulai kedinginan. Aku sigap mengambil tempat di depan itu, lalu Majid yang sudah menunggu bersama kami sejak beberapa waktu lalu, aku minta duduk di tempat tepat di sebelah Tulus. "Permainan yang bagus," pikirku.

Tapi keinginan kami untuk menguasai seluruh tempat nyatanya harus pupus. Perempuan di sebelahku itu tidak bergeming. Dia malah asyik menulis sambil menyumpal kedua telinganya dengan headset. Aku dan Tulus kerap kali berpandangan. Ingin segera bersantai-santai tanpa ada orang lain.

Mungkin merasa kerap kami lirik, perempuan itu lantas melepas headset miliknya. Lalu melanjutkan menulis. Tulus mencoba membuka percakapan, "Dari mana mau kemana, Buk?" tanyanya.

"Saya? Aduh, jangan panggil Buk. Masih muda begini. Saya dari Sulawesi Tengah, mau ke Jogja. Nanti turun di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya," balas perempuan itu.

Aku tersenyum dan mulai ikut nimbrung. Ternyata kakak yang satu ini sama sekali tidak kaku.

Obrolan panjang pun terbangun. Dari yang hanya antara Tulus, Aku, dan kakak yang setelah lama kutahu bernama Diandra itu, berubah menjadi hanya antara aku dan kak Diandra, lalu antara aku, Majid, dan kak Diandra. Semua silih berganti. Tulus yang tak tahan kantuk sudah melesat ke dek 6, lalu tidur.

Pembicaraan dengan kak Diandra begitu mengasyikkan. Ternyata dia seorang solo traveller yang tangguh dan keren. Dia suka sekali berkelana. Tapi beda denganku yang saat ini lebih menyukai gunung, dia lebih suka pantai dan city tour. Kami punya banyak kesamaan, kupikir. Dari segi kesukaan pada travelling saja kami sudah sama. Dia tidak suka dengan pekerjaan yang mengikat, aku pun begitu.

Tapi dia sudah lebih jauh berkelana. Itu yang membedakan kami. Dia bahkan sudah mengelilingi seluruh negara ASEAN, mulai dari Kamboja, Thailand, Filipina, hingga Vietnam. Dia juga sudah pernah berkelana ke India dan Eropa, mimpiku yang hingga kini belum sempat kuwujudkan. Mungkin suatu saat nanti.

Obrolan mengalir begitu indahnya di antara kami. Dan yang paling mengesankan adalah, dia ternyata adalah seorang sarjana Hubungan Internasional (HI) dari UMY, jurusan yang sejak dulu sangat kuidam-idamkan tapi tak pernah berwujud nyata.

Obrolan bersama kak Diandra malam itu membuat aku banyak termotivasi sekaligus mengerti banyak hal. Bahwa memang, kita hanya bisa bermimpi dan berkeinginan, persoalan dapat kita wujudkan atau tidak, itu sebuah rahasia besar yang harus kita cari tahu. Dan, tiap orang, akan selalu punya jalannya sendiri untuk bisa berhasil menggapai yang Ia inginkan. Kita hanya perlu mencari jalan itu, lalu berusaha mewujudkannya.

Tapi, obrolan malam itu harus terpotong dengan cuaca yang kian esktrem. Kapal bergoyang hebat, berayun-ayun seperti kehilangan arah di tengah lautan lepas. Ombak besar menghantam dek dari kiri, kanan, depan, belakang, tiada henti. Kapal kerap kali bergetar kuat. Kami yang sedang duduk di dek atas merasakan sekali kapal bagai akan segera roboh masuk ke dalam air lautan yang hitam dan dingin. Aku bahkan sempat berpikir, "Apakah ini akhir pelayaran kami?"

Tapi segera kutampikkan pikiran-pikiran aneh itu. Kucoba hibur diri sendiri sebisa mungkin. Namun karena ketakutan yang tak juga surut, dan juga ingatan pada orang tua yang tiba-tiba muncul begitu hebat, kuputuskan untuk turun ke dek 6. Lebih baik tidur agar tidak merasakan semua ketakutan kala itu. Aku terlelap di tengah kapal yang kian bergoyang hebat.


                                         • • •

#HariKeempat

Sejak subuh, aku sudah bergegas mandi dan berbenah. Setahuku hari itu adalah hari terakhir kami di kapal. Kami sudah mulai memasuki Selat Madura.

Selepas dari mushola, aku berdiri di pinggir dek 7 dan menatap lautan luas yang masih juga hitam pekat, meski di ufuk timur semburat biru mulai nampak.

"Pelayaran panjang ini akan segera berakhir.." batinku.

Pagi itu, aku, Tulus, Pati, dan Rafli jalan-jalan mencari angin segar di luar dek. Kami berkeliling ke tiap sudut dek 6 yang sebelumnya belum pernah kami jamah. Ternyata menikmati keindahan dari sana juga tak kalah seru dengan dek 8 dan 7.

Hampir dua jam, kami lantas balik ke dek karena berpikir sebentar lagi kami akan segera sampai.

Tapi, ternyata tidak secepat yang kami kira. Sejak kemarin, mulai menyebar informasi di tiap dek kalau kami akan tiba sekitar pukul 9 atau pukul 10 pagi. Tapi hingga pukul 11, belum ada tanda-tanda kapal akan berlabuh. Pulau Madura bahkan belum kami lewati. Rupanya perjalanan masih cukup panjang.

Cukup lama kami menggerutu di dalam dek yang kian lama kian panas. Sampai Yahya, Aldin, dan beberapa kawan lain kembali tertidur pulas, baru pucuk-pucuk bangunan pelabuhan mulai nampak di ujung sana.

Kami sumringah. Sekitar pukul 3 sore, badan besar KM Labobar bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kami bergegas turun, membawa serta semua barang kami yang bejibun, bersama kenangan yang menumpuk.

Kami sudah sampai..



Selesai..

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6