Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan | #bookreview4

Ihsan Abdul Quddus - Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan


Judul : Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Penulis : Ihsan Abdul Quddus
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun Terbit : 2012
Ketebalan : 221 hlm
ISBN : 978-602-9193-16-9


Kisah tentang perempuan yang telah menggapai ambisinya. Sebagai politisi sukses, kiprahnya di parlemen dan pelbagai organisasi pergerakan perempuan menempatkan dirinya dalam lingkar elit kekuasaan. Latar belakang politik yang masih konservatif kala itu menjadikannya fenomena baru dalam isu kesadaran jender.

Tetapi, kehampaan menyelimuti kehidupan pribadinya dan hampir membuat jiwanya tercerabut. Masalah demi masalah mendera, bahkan anak semata wayangnya yang dia anggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri. Hingga suatu kala, ia memutuskan lari dari kehidupan pribadinya, bahkan berusaha lari dari tabiat perempuannya. Pada usia lima puluh lima tahun, ia membunuh kebahagiaannya sebagai perempuan. Ia melakukan apa saja untuk melupakan bahwa ia adalah perempuan.

Inilah novel luar biasa tentang pergulatan karier, ambisi dan cinta. Kaya muatan filsafat tetapi dikemas dalam bahasa sederhana dan mengesankan. Tuntutan kesetaraan jender yang dirajut dalam kisah pertentangan batin seorang perempuan menjadikan novel ini bukan sekadar bacaan yang menginspirasi tetapi sekaligus contoh bagi perjuangan perempuan melawan dominasi.

                                        • • •

Sejak mulai menapaki lembar-lembar awal buku ini, aku benar-benar terperanjat sekaligus takut. Terperanjat karena aku bagai sedang membaca catatan hidup dan diriku sendiri. Dan takut, karena jika sejak awal gambaran diri Suad sudah sama dengan diriku, apakah akhirnya juga akan sama? Bahwa aku pun akan lupa bahwa diriku perempuan? Aku benar-benar takut karena menemukan diriku dalam diri Suad -tokoh utama buku ini.

Banyak sekali persamaan antara Suad dan diriku. Dia berpikir bahwa keberadaannya sebagai wanita tidak memberikan dia batasan untuk melakukan banyak hal: aku juga begitu. Dia menolak asumsi bahwa anak yang berprestasi di ujian akademis tidak bisa berprestasi dalam ujian kehidupan: aku juga begitu. Dia adalah anak yang mampu dalam pelajaran namun tidak gagal dalam pergaulan: aku pun merasa aku begitu. Baginya, belajar bukan merupakan halangan untuk tetap bersosialisasi dan aktif terlibat dalam kegiatan sosial di sekolah dan kampus: aku pun begitu. Ia selalu terlibat dalam aktivitas hingga berbagai perkumpulan, bahkan sering menjadi ketua panitia pelaksana dalam kegiatan sekolah: aku pun juga begitu.

Tak berhenti sampai di situ. Suad juga adalah sosok perempuan yang senantiasa memperhatikan pola interaksi dengan orang lain. Bahkan dengan guru-guru dan kepala sekolah, dia lebih mengembangkan pola hubungan persahabatan daripada hubungan formal antara guru dan murid: aku juga selalu mengembangkan pola hubungan seperti ini. Dalam sebagian besar kegiatan, Suad selalu memberi sambutan dalam kapasitas sebagai wakil dari teman-temannya: aku pun kerap kali begitu.

Dan yang tak habis kupikir, bahkan bagaimana Suad mengatur pola hubungan antara dirinya dan laki-laki di sekitarnya juga persis dengan yang kulakukan selama ini. Dengan dalih belum menemukan pemuda pujaan yang membawakan untuknya senampan cinta seperti dalam konsep yang ia dambakan, Suad menganggap para laki-laki hanya sepenggal kisah tentang perasaan yang ia baca sebagai hiburan. Untuk hal yang satu ini, aku sendiri masih bertanya-tanya, apakah selama ini aku pun begitu tanpa kusadari?

Pada intinya, Suad sebagai perempuan di masa-masa Mesir yang masih sangat patriarki saat itu tidak mau merenda hidup dalam gelombang biasa. Menurutnya, tidak ada gunanya menjadi manusia biasa. Karenanya, ia mulai menjalani hidup dalam konsep yang tidak lumrah. Ia ingin menjadi manusia luar biasa. Dan.. Kondisi ini lah yang membuat ia melakukan kesalahan besar seumur hidupnya. Aku takut, aku pun akan begitu.

                                       • • •

Buku ini sempurna untuk kita yang ingin belajar feminisme tanpa muluk-muluk. Dengan cara sederhana namun tegas, Ihsan Abdul Quddus menjabarkan berbagai masalah diskriminasi perempuan dan laki-laki, hingga bagaimana perempuan ingin mendobrak hal itu dan mendominasi.

Ihsan tidak menyuguhkan pemikirannya. Dalam buku ini, Ihsan berusaha menggiring pembacanya untuk menyimpulkan sendiri, apakah diskriminasi memang benar-benar tidak bisa dilakukan, apakah selamanya perempuan memang tidak bisa disamakan dengan laki-laki, atau justru sebaliknya, perempuan bisa setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek hingga menyoal hubungan pernikahan dan kepemimpinan dalam rumah tangga. Ihsan membebaskan setiap pembacanya untuk memilih dan memilah sendiri, berpikir, lalu menyimpulkan dengan berdasar pada tulisan yang ia ramu dalam novel yang menggugah ini.

Dalam buku ini, kita akan menemukan pergolakan batin luar biasa yang dirasakan seorang perempuan penuh ambisi kesetaraan dan karier, namun di sisi lain merasa butuh akan hadirnya seorang lawan jenis dalam hari-harinya. Seorang perempuan egois yang kerap kali berperang dengan dirinya sendiri, antara mengutamakan ambisi dan karier politiknya, atau mengedepankan rasa kewanitaannya yang juga butuh untuk dipeluk, dicium, disayang, dan merasakan romantisme perpaduan rasa kelelakian dan kewanitaan.

Namun memang, dalam berbagai rupa dan warna pergolakan itu, sisi kewanitaannyalah yang acap kali berusaha ia bunuh. Perempuan satu ini mempatrikan bahwa tak boleh ada satupun hal yang menghalangi dia mencapai ambisi-ambisi politik dan kariernya, bahkan sisi kewanitaannya sekalipun.

Buku ini pantas sekali dibaca oleh kita yang butuh penerangan tentang feminisme, dan tentang kesetaraan gender yang kerap digaung-gaungkan di sekeliling kita selama ini. Berdasarkan kesimpulanku, melalui buku ini kita akan banyak belajar tentang kesetaraan gender secara lebih dewasa dan bijak. Pikiran kita akan terbuka dan paham bahwa berbicara tentang kesetaraan gender tidak berarti segalanya juga harus disamaratakan, tapi ada hal lain pula yang patut  diperhatikan. Kita biasa menyebutnya : kodrat. Ada kodrat laki-laki, ada kodrat perempuan, yang memang sama sekali tidak bisa dicampur adukkan. Keduanya harus berjalan di koridornya masing-masing. Membaca buku ini akan memberikan kita pemahaman yang baik tentang kesetaraan gender itu.

Satu yang kusyukuri, prasangkaku di awal-awal menggerayangi buku ini tidak terbukti. Aku tidak sepenuhnya sama dengan Suad. Meski dalam beberapa hal pemikiran kami sama, tapi ada lebih banyak lagi sisi kami yang beda.

Suad adalah perempuan dengan segudang ambisi untuk menjadi seorang pemimpin, dan apapun akan ia lakukan untuk itu. Bahkan ia selalu gelisah memikirkan cita-cita dan ambisinya menjadi pemimpin setiap kali berduaan dengan suaminya. Ia merasa ambisinya selalu terhalangi tiap kali bersama suaminya karena suaminya yang berusaha memimpin. Sementara aku tidak. Meski beberapa kali aku berkeinginan untuk itu, tapi itu bukan ambisi utama dalam hidupku seperti yang Suad canangkan dalam hidupnya.

Suad adalah tipe perempuan yang berpikir bahwa melahirkan, lalu mengurus anak adalah hal yang remeh. Dia merasa dirinya tidak mungkin mengkhususkan diri mendidik anak lalu meninggalkan berbagai peluang sukses yang sangat mungkin dia raih. Dia mengklaim dirinya tidak memiliki waktu untuk menjadi ibu. Dia menolak untuk mengorbankan karier dan pekerjaanku hanya untuk berkonsentrasi mendidik anak.

Sementara aku sama sekali tidak mau begitu. Aku adalah tipe perempuan yang berikrar untuk menuangkan segala kasih sayang dan waktuku untuk mengasuh anakku sendiri ketika nanti aku berkeluarga. Aku tidak mau menelantarkan anakku pada orang lain, sekalipun pada ibuku sendiri. Karena kutahu benar, sejak dalam kandungan, seorang anak hidup dalam ikatan yang tak terpisah dengan ibunya. Ia hidup dalam kasih sayang dan ketergantungan emosional yang erat dengan ibunya.

Ah.. Buku ini tegas sekali. Saranku, jangan menunda! Kisah dalam buku ini sangat erat dengan roda perjalanan hidup kita di waktu kini, terutama bagi perempuan yang sedang merintis atau berniat ingin menapaki karier di masa mendatang. Sementara bagi laki-laki, buku ini akan jadi jembatan penyadaran diri yang teramat syahdu.

Bacaan yang satu ini akan jadi alternatif pembelajaran yang amat baik. Patut digerayangi!




"Setiap orang memiliki dua sisi: Satu untuk orang lain, satu untuk dirinya sendiri. Mustahil menyatukan keduanya." -Ihsan Abdul Quddus


Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6