Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan | #bookreview3

Soe Hok Gie - Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan


Judul : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis : Soe Hok Gie
Penerbit : MataBangsa
Tahun Terbit : 1997
Ketebalan : xxi+360 hlm
ISBN : 978-979-9471-27-7



"Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik meninggal daripada menyerah, walaupun bagaimana saya tetap merah putih."

Karena prajurit ini memang tidak bermaksud menembak mati Musso, ia lari ke desa di dekatnya. Sementara itu pasukan-pasukan bantuan di bawah Kapt. Sumadi telah datang. Musso bersembunyi di sebuah kamar mandi dan tetap menolak menyerah. Akhirnya ia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.

• • •

Salah satu sejarawan yang tersohor di negeri ini -Ahmad Syafii Maarif bilang, karya tentang pemberontakan PKI di Madiun ini dianyam demikian rupa seakan-akan kita membaca sebuah novel sejarah dramatis yang menegangkan. Tapi penulisnya cukup hati-hati untuk tetap bersikap objektif dalam analisisnya hingga fakta sebagai 'suatu yang suci' dalam bangunan sejarah tetap ditempatkan dalam posisi yang terhormat.

Saya kurang lebih setuju dengan pendapat ini. Soe Hok Gie -si penulis, terlihat sangat berusaha objektif dalam tulisan yang sepertinya adalah refleksi dari diri pemuda sekaligus aktivisnya yang memang memiliki kepedulian dan pengamatan tajam terhadap situasi dalam masyarakat.

Namun memang dalam buku ini, kita akan bertemu sisi Gie yang lain, yakni Gie yang seorang ilmuwan, tepatnya sejarawan. Mengapa tidak? Buku yang diadopsi dari skripsinya untuk mendapatkan gelar sarjana dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun 1969 silam dengan judul asli : "Simpang Kiri Dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948" ini, disusun berdasarkan banyak sekali penelitian serius dengan kerangka keilmiahan yang ketat.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumber-sumber valid yang dibubuhkan di tiap lembar dalam bentuk catatan kaki, seperti sumber-sumber kepustakaan dari Cornell University, hingga hasil-hasil wawancaranya langsung dengan narasumber-narasumber luar biasa seperti Benedict Anderson, Mohammad Hatta, Soebadio Sastrosatomo, Sumitro Djojohadikusumo, hingga Alimin dan Semaun -tokoh PKI keras Indonesia!

Soe Hok Gie sebagai sejarawan muda telah merekam sebuah episode tentang konflik ideologi yang membawa banyak korban di Indonesia dalam bentuk pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya. Sebuah pemberontakan yang timbul karena perbedaan-perbedaan antara kaum nasionalis-komunis dengan mereka yang lebih menekankan unsur nasional dalam perjuangan taktis.

Buku ini begitu dalam mengisahkan bagaimana PKI saat itu dalam kehidupan revolusioner pasca kemerdekaan Indonesia. Ternyata ada banyak sekali grup PKI. Ada yang pro Musso, ada yang lebih cenderung melekat pada Tan Malaka, bahkan ada yang terang-terangan di sisi Hatta. Namun memang yang bergerak dalam 'Madiun Affair' adalah PKI Musso.

Selain itu, melalui buku ini kita bisa tahu bahwa tidak semua PKI menganut paham Marxist-Leninist secara sempurna. Contohnya yang dilakukan oleh PKI Jusuf. Pernah PKI Jusuf melakukan tuntutan untuk diselenggarakan pemilihan umum, tapi hanya mereka yang dapat membaca dan menulis saja yang boleh ikut pemilihan. Padahal waktu itu tidak sampai 10% rakyat Indonesia yang melek huruf. Sehingga hak demokrasi ini hanya diberikan kepada kaum intelektual saja. Dari tuntutan ini saja dapat kita lihat betapa tidak Marxist-Leninist-nya segelintir PKI waktu itu.

Dari buku merah ini, lagi-lagi, aku kembali disadarkan, bahwa sejarah memang panjang, berliku, seperti tak ada habisnya. Banyak sekali sisi yang perlu kita tahu dan pelajari. Pemberontakan, perjuangan, penindasan, persekongkolan, hingga peristiwa-peristiwa berdarah, adalah yang membentuk negeri ini. Tidak pernah lepas dari itu.

Namun, aku tiba pada sebuah kesimpulan. Kalaulah Musso tidak pulang ke tanah air pada saat itu, boleh jadi Pemberontakan Madiun tidak akan meledak, dan pertumpahan darah sesama kita tidak perlu terjadi. Mengutip yang dikatakan Ahmad Syafii Maarif, "Perang saudara pasti meninggalkan luka yang tidak mudah disembuhkan."

Ah.. Sejarah memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan, bukan? Bukan sebagai dedikasi kepada mereka yang sudah mati, tapi sebagai pelajaran untuk kita yang masih hidup agar tidak lagi mengulangi peristiwa-peristiwa mengerikan kala dulu.

Belajar, mengerti, dan tidak mengulangi.




"Sejarah masa lalu menjadi cermin masa kini untuk melangkah ke masa depan: menemukan kebaikannya untuk diikuti, dan mengenali kesalahannya untuk tidak diulangi." 


Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6