Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya | #bookreview9

Rusdi Mathari - Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya



Judul : Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Tahun terbit : 2016
Ketebalan : xvii+226 hlm.
ISBN : 978-602-1318-40-9


Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya - Kisah Sufi Dari Madura. Buku ini mulanya adalah tulisan berseri selama dua tahun di situs web Mojok.co. Sejak kali pertama tayang, kisah sufi dari Madura bernama Cak Dlahom ini segera digemari. Dibaca lebih dari setengah juta pemirsa Mojok.co.

                                      • • •

"Jangan Percaya Dengan Cak Rusdi". Hal itu yang pertama kali kutemukan dalam buku ini, setelah rentetan daftar isi buku yang kurang lebih ada 30 bab. Aku bingung. Haruskah aku mengikuti saran yang dikemukakan Mahfud Ikhwan tersebut, tapi juga tetap membaca buku ini?

Bahkan, sebagai tameng lainnya agar pembaca benar-benar tersihir dengan anjurannya itu, Mahfud menyertakan potongan lirik qawwali yang ditulis oleh Gulzar dengan judul: "Naina Thag Lenge", yang akan ku kutip juga di tulisan ini. Begini liriknya:

Jangan percaya dengan matamu
Jangan dengar yang dikatakannya
Ia memperdayamu
Matamu memperdayamu
Memperdayamu
Saat kau terjaga, ia memantraimu
Bahkan ketika tidur melelapkanmu, ia masih menipumu
Matamu memperdayamu
Memperdayamu
Jangan percaya dengan matamu
Ia tak bedakan yang baik dan yang buruk
Ia baurkan yang jauh dengan yang dekat, yang asing dengan yang akrab
Mata adalah moncong ular yang akan selalu mematukmu
Yang biasanya meracunimu
Bisanya meracunimu
Meracunimu
Ia tabur pelangi di mega-mega senja
Lalu ia guyurkan hujan hingga tiba pagi buta
Ia akan membuatmu gila
Dan memperdayamu
Matamu memperdayamu
Memperdayamu
[...]
("Naina Thag Lenge", Gulzar)

Ini menampar. Ia bicara tentang bahayanya memercayai pandangan mata, tentang riskannya meyakini hal yang wadak semata. Berusaha mengingatkan bahaya menyamakan kesan dengan fakta, atau memperlakukan citra sebagai kenyataan. Tapi ku akui. Justru karena tamparan itu, aku lebih bersemangat dan menggebu menelisik lembar-lembar buku ini. Harus ku cari tahu, di bagian mana harusnya aku tidak memercayai Rusdi Mathari.

Tapi sayangnya, ketika aku mulai masuk dan berdesak-desakan dengan kata-kata di dalam buku kecil ini, aku justru berujung pada hal-hal kontradiktif dalam diriku sendiri. Antara percaya dan tak percaya, aku terus melahap ribuan penjelasan Rusdi Mathari yang bak menyihir nalarku.

Cak Dlahom -tokoh utama, duda tua yang awalnya hidup sendiri di sebuah gubuk dekat kandang kambing milik Pak Lurah, kerap melakukan hal-hal yang sekilas nyeleneh, mengomentari, lantas menyulut perbincangan-perbincangan baru mengenai substansi ibadah. Dikatakan gila, tidak juga, dikatakan tidak, tapi hidupnya dipenuhi hal-hal gila yang 'bermartabat'. Meski begitu, apapun yang dia lakukan dan gaungkan, selalu menjadi 'isu nasional', menjadi bahan perbincangan terhangat di desa, lalu membuat orang-orang merenungkan ulang ke-Islaman-nya. Dan entah beruntung atau tidak, aku termasuk golongan orang-orang yang merenung itu.

Aku kerap ternganga-nganga seperti tokoh Gus Mut di buku ini, tiap kali Cak Dlahom menjelaskan sesuatu yang begitu sederhana dan mendasar, tapi memang sering luput dari pemikiran, seperti: "Apa kamu benar-benar merindukan Ramadan? Apa kamu benar-benar suka berpuasa dan senang sholat? Lalu, apa gunannya Allah mewajibkan itu sementara manusia sudah senang dan suka?", atau "Orang yang masuk Islam, pertama, harus baca syahadat, dan disaksikan banyak orang. Tapi pernahkah kamu membaca syahadat dan disaksikan banyak orang? Jadi, kamu islam atau tidak?".

Cak Dlahom menjadi tokoh yang begitu kuat. Dengan 'kegilaan'-nya, Ia selalu membangun pembahasan sederhana tentang esensi ajaran Islam. Tapi, di sisi lain aku pribadi menilai: Dia kelihatannya memang alim dan sangat paham agama, tapi aku sempat kesal dengan pria tua ini. Dia sering kali menghakimi orang lain, alih-alih mengingatkan dan menasihati secara gamblang supaya mudah dimengerti. Ia juga suka melakukan hal-hal aneh hingga di luar batas yang aku pikir sangat tak pantas dilakukan. Cukup menyebalkan. Tapi entahlah, ini hanya asumsiku tentang pria tua yang 'kelihatan' alim ini. Meski, ya, harus kuakui aku pun termakan kegilaannya.

Buku ini aneh sekaligus menyadarkan. Nyeleneh, tapi juga begitu kuat dan tegas menampikkan pemikiran-pemikiran yang mainstream dan tergolong 'salah' tentang ibadah dan Islam pada khususnya. Rusdi Mathari berusaha mengungkap tabir-tabir itu dan menyuguhkannya pada pembaca. Dengan kalimat-kalimat sederhana, dalam percakapan dan kisah yang juga amat sederhana -bahkan tergolong kampungan, Ia memunculkan esensi sebenar-benarnya dari ibadah itu sendiri.

Ah, setelah membaca buku ini, aku ada di antara dua pilihan: ingin percaya, dan bertanya-tanya, "Haruskah aku percaya?". Anjuran Mahfud Ikhwan di awal lembar terus terngiang-ngiang. Tapi sudahlah, itu tidak penting lagi. Mungkin kesimpulannya, "Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya", bisa jadi judul itulah gambaran penyakit kita hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6