Politik Kuasa Media | #bookreview8

Noam Chomsky - Politik Kuasa Media


Judul : Politik Kuasa Media
Penulis : Noam Chomsky
Penerjemah : Nurhady Sirimorok
Penerbit : Penerbit Jalan Baru
Tahun Terbit : 1997 (Oleh Pinus Book Publisher)
Distribusi : Berdikari Book
Ketebalan : x+51 halaman
ISBN : 979-990-09-6-4


"Kita akhirnya menghamba sebagai negara pecinta uang, berharap pada negara lain yang akan membayar kita sebagai upah demi menghancurkan dunia. Itulah pilihannya." -Noam Chomsky

Tidak ada yang meragukan kehebatan media dalam menggiring opini publik bahkan massa. Meskipun kita tahu bahwa kita tak akan mampu menanam padi di layar kaca kemudian memanennya, tapi kita tahu bahwa media berhasil membuat masyarakat bangkit dan bergerak, yang awalnya benci perang menjadi haus darah berkat apa yang dihidangkan media.

Noam Chomsky, nama yang berhasil merebut perhatian masyarakat secara luas dengan kajian-kajian kontemporernya terlebih media. Bersama buku Politik Kuasa Media ini, kita akan diajaknya menyelami simpul-simpul masalah dalam mengenali bagaimana media memiliki kuasa lebih terhadap masyarakat.

                                         • • •

Jika meninjau dari segi empiris, akan kita temukan ragam hal yang begitu nyata dalam buku ini. Bagaimana tidak? Dalam buku yang notabenenya membahas tentang kedalaman media dalam memengaruhi masyarakat ini, Noam benar-benar menyuguhkan fakta dan kejadian-kejadian nyata yang mampu menjadi bukti eksplisit keberadaan dan pengaruh media, bahkan jauh sebelum era post-truth kini.

Di awal lembarannya, ada sebuah kalimat apik yang bisa saya kutip, "Salah satu prasyarat masyarakat yang demokratis adalah pers yang bebas. Pers yang bebas meniscayakan para pegiat media massa secara leluasa untuk menuliskan peristiwa-peristiwa publik tanpa adanya suatu mekanisme kontrol dari penguasa," tapi, dalam bahasannya, kalimat ini sepenuhnya terdistraksi karena adanya budaya totalitarian.

Sebagaimana yang banyak digaungkan orang-orang, bahwa kata 'tapi' meniadakan kalimat sebelumnya, hal tersebut juga terjadi dalam buku ini. Meski kata 'tapi' itu tersembunyi rapat, tapi akan kita temukan dia dalam diamnya di sela-sela pembahasan yang coba Noam bangkitkan.

Sebagai contoh, ketika Woodrow Wilson memenangkan pemilihan Presiden Amerika di tahun 1916. Kondisi rakyat Amerika kala itu sangat anti perang dan merasa tidak ada alasan untuk ikut terlibat dalam perang Eropa. Sementara, Wilson memiliki andil dalam perang tersebut. Karena ingin rakyatnya yang apatis itu juga turut dalam perang, Wilson akhirnya membentuk komisi propaganda resmi pemerintah, dengan media sebagai tonggak utama.

Akhirnya, dalam waktu enam bulan, tim ini berhasil mengubah populasi anti perang tadi menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu untuk menghancurkan semua yang berbau Jerman. Alasan utama mereka ingin ke medan tempur adalah untuk menyelamatkan dunia, persis seperti yang kerap digaungkan media pada hari-hari sebelumnya.

Dari sini, bisa kita lihat betapa kuatnya kuasa media dalam dunia perpolitikan. Sebuah gerakan yang begitu masif.

Dalam buku yang didistribusikan oleh Berdikari Book ini, Noam merunut bahasannya mulai dari bagaimana Kuasa Media itu sendiri, Awal Munculnya Propaganda, pergerakan Industri Humas, Rekayasa Opini, seperti apa Budaya Pemberontak zaman dulu, hingga bagaimana  Diskriminasi Persepsi yang dilakukan dengan menggunakan media sebagai 'alat' utama.

Patut ditelisik lebih jauh!


Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6