Tulisan Seorang Guru, "Minggu Bersama Gie"

Minggu Bersama Gie



Jumat, 9 Oktober 2019

Waktu menunjukkan pukul 12.49 WITA. Terik di luar menelisik ventilasi kamar, memantulkan larik-larik cahaya di dinding ruangan kamarku yang bercat biru. Malas beranjak dan bergeliat, aku iseng memainkan gawai, mulai mengotak-atik galeri yang penuh tumpukan foto, lalu berujung melihat satu per satu status kawan-kawanku di WhatsApp.

Gerak tanganku terhenti.

Sebuah status menarik perhatianku. Itu status seseorang yang sejak lama telah kuanggap guru, seorang senior yang tak pernah lelah berbagi: Kama. Di statusnya itu, Kama mengunggah sebuah foto dengan latar makam -yang telah amat ku kenal, di dalamnya. Itu makam milik Soe Hok Gie, tokoh aktivis mahasiswa di tahun ’65-’66 yang sudah lama membuatku jatuh cinta sejak kali pertama membaca tulisan tentangnya. Kama juga sengaja benar turut mengambil gambar kakinya yang berada tepat di depan makam, seakan ingin menegaskan keberadaannya di sana. Ah.. makam itu.. aku juga ingin ke sana.

Perasaanku campur aduk, antara sesak karena hingga kini aku sendiri belum pernah menyambangi makam ‘kekasihku’ itu, dan rasa bahagia karena Kama sudah di sana dan barangkali bisa sekalian menyampaikan salamku pada Gie. Aku pun mengomentari status yang berhasil menyihir hariku itu.

“Is kamaaa.. so di situ ey,” tulisku.

“Hmm.. suasana disini adem ken.. serius. Tapi kama so bilang Iken pe salam sama Gie. Kebetulan kama bawa air minum deng rokok. Yaa minum dan merokok lah kama deng Gie. (Akhir-akhir ini Gie jadi perokok, entahlah),” balas Kama hanya berselang 3 menit kemudian. Aku tambah sesak.

“Makasih kama. Entahlah kinapa akhir2 ini Iken pun rindu pa dia. Semoga iken bisa kasana, dan barangkali ngopi dengan dia, semoga dia suka,” tulisku lagi dengan harap yang melambung tinggi.

“Pasti dia suka,” balas Kama singkat.

(percakapan ini saya kutip langsung dari pesan WhatsApp tanpa perubahan)


Foto di status yang saya komentari kala itu


Namun setelah percakapan itu, tak lama kemudian Kama mengirimiku sebuah tulisan yang amat indah tentang pertemuannya dengan Gie. Tulisan ini meredam rinduku, berubah menjadi semangat yang kian menggebu untuk menyambangi laki-laki yang meninggal di pelukan Gunung Semeru itu. Dan.. aku ingin membagikan tulisan indah itu untuk kalian.

Selamat membaca.

 . . .

Minggu Bersama Gie
Oleh: Ti Kama
________

"besok, datang lah berkunjung ke tempat saya, jangan lupa, bawakan saya air minum dan rokok"

Sekitar pukul 3 dini hari saya terbangun. Mimpi tentang Gie benar-benar menguras emosi saya. Dalam mimpi, kami sempat berpapasan di sebuah terminal kota, bisa jadi terminal itu adalah terminal Kampung Rambutan. Tempat dimana bus antar daerah bersiap memboyong penumpangnya dari Jakarata. Gie berpesan persis dengan apa yang saya tuliskan di atas. Ia (Gie) menyuruh saya ke tempatnya. Kata "Tempat" sendiri dalam permintaan Gie masih bersifat ambigu.

Bisa jadi "Tempat" yang ia maksudkan adalah Menteng Pulo, Kebon Jahe, atau mungkin Lembah Mandalawangi di Pangrango. Karena tidak akan mungkin ia menunggu kedatangan saya di Istana, gedung-gedung Kementrian pun sejenisnya, yang terkesan sebagai tempat orang-orang berdasi dan menjulurkan lidah setiap saat. Itu hal yang mustahil bagi seorang Gie.

Pagi tadi, saya memutuskan untuk berberes menuju ke salah satu tempat favoritnya, Museum Taman Prasasti, Kebon Jahe Kober, di jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Dengan harapan saya bisa menemuinya di sana. Dari tempat saya (Ragunan) ke Museum Taman Prasasti berjarak sekitar 15 kilometer, jika ditempuh dengan kenderaan roda 4 akan memakan waktu sekitar 45 sampai 60 menit waktu perjalanan. Bila jalanan macet, bisa jadi saya akan menghabiskan waktu di atas 60 menit. Kurang lebih begitu estimasi waktu perjalanan saya menuju ke Taman Prasasti.

Sebelumnya, saya telah memutuskan untuk menggunakan jasa trasnportasi Busway. Dari Ragunan menuju Monas. Sialnya, bus yang beroperasi dari Ragunan ke Monas baru bisa beraktifitas di jam 11 setiap hari minggu. Tidak mau menunggu terlalu lama, saya pun terpaksa naik bus ke arah Duku Atas 2, sekedar transit dan berpindah ke bus arah Kota yang akan melewati halte Monas. Perjalanan pun berlangsung penuh khidmat,...

Sesampainya di Halte Monas, saya turun dan menyebrangi jalan. Kali ini saya berada tepat di pelataran Museum Nasional. Tidak mau menggagalkan niat berkunjung ke tempat Gie, saya mengabaikan segala hiruk-pikuk yang terjadi di Museum Nasional. Di hari minggu nuansa kota Jakarta tetap ramai. Terlebih banyak orang yang menghabiskan waktu libur di tempat-tempat tertentu, seperti Museum Nasional.

Dari Museum Nasional, saya memilih untuk berjalan kaki. Mengelilingi pelataran (samping) museum, langkah saya tertuju pada pertigaan lampu merah. Dari sini rute yang saya ambil adalah sebuah jalan yang menuntun saya ke Gedung Tua, Museum Taman Prasasti. Tepat!

Berbeda dengan Museum Nasional, suasana di Taman Prasasti begitu sunyi. Hanya ada 10 sampai 20 orang pengunjung yang datang ke tempat ini. Mereka terdiri dari beberap orang mahasiswa, beberapa orang Vlogger yang sedang asik-asiknya berargumen di depan prasati tua milik Belanda dan beberapa wisatawan asing, sepertinya mereka datang mengunjungi kakek buyutnya di tempat ini.

Saya sendiri disambut langsung oleh sebuah patung wanita yang sedang menangis, di sebelah kiri pintu masuk. Konon, wanita berparas cantik ini sedang dilanda kesedihan akibat suaminya meninggal dunia karena malaria. Begitulah cerita yang berkembang sampai dengan saat ini. Andai wanita itu masih ada dan nyata, sudah pasti saya akan mengajknya minum kopi malam ini, di ChinaTown Jakarta.

Di sebelah kanan saya ada monumen seorang pastur, Mansignor Adami Caroli Claessens. Claessens adalah seorang pastur beragama Katholik yang datang ke Indonesia bersama dengan kawannya Lijnen pada tanggal 15 februari, 1847.  Sempat menggantikan  L. Prinsen, Claessens diangkat menjadi pastur kepala di Batavia. Setahun kemudian ia diangkat lagi menjadi Uskup di Batavia sampai pada tahun 1893. Menurut sejarah, dibawa kepemimpinannya Agama Katholik berkembang cukup baik, seperti di Cirebon, Magelang, Madiun dan Malang.

Semoga saya tidak salah menuliskan kembali penjelasan Ratna tentang ke dua patung tersebut.

"Bung, hey bung" suara itu tiba-tiba menggaung di telinga saya, segera saya mencari titik suara tersebut. Astagah! Ternyata Gie! Ia sedang melambaikan tangan ke arah saya. Saya pun bergegas menuju ke arahnya.

"Kenapa lama sekali?" Sambil merebut sebotol air yang saya bawakan, persis pada pesannya semalam dalam mimpi saya.

"Maaf, saya tadi mampir dulu kepada wanita yang sedang menangis itu dan Claessens. Mereka berdua cukup menarik perhatian saya, Gie.

Kami pun larut dalam obrolan di bawah rindangnya mahoni dekat pusaranya. Hampir semua topik di Indonesia kami bicarakan. Tentang Papua, tentang pemindahan Ibu Kota ke kalimantan, bahkan ia pun bertanya perihal mobil esemka buatan Indonesia itu. Meski dari raut wajahnya yang idealis terpancar sebuah keraguan yang menyayat hatinya. Gie pun mengambil rokok dan mulai membakar ujungnya. Entahlah, akhir-akhir ini Gie seperti kecanduan merokok.

"Tidak ada yang berubah, Gie. Setelah peninggalanmu, Indonesia masih saja seperti ini. Masih banyak dari mereka yang bermental sok berkuasa, semena-mena terhadap jelata"

Hari sudah semakin sore, saya pamit, Gie...


Note: Tulisan ini saya ambil sepenuhnya dari tulisan Kama, tanpa ada perubahan sedikitpun

Comments

  1. Wah, kenapa aku juga ikutan tersentu ya, hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. :D berarti lumayan kena lah, yaa, tulisan ini. Hehe..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6