Gitanjali | #BookReview13
Febrialdi R. - Gitanjali |
"Hidup itu seperti gunung. Selalu lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih berat medannya daripada yang terlihat." -Hendri Agustin
Judul: Gitanjali
Penulis: Febrialdi R. @edelweisbasah
Penerbit: mediakita
Tahun terbit: 2018
Ketebalan: x+302 hlm
ISBN: 979-780-560-2
Apa artinya
mendaki jika tak mampu menyerap semangat serta nilai-nilai yang diajarkan oleh
alam pada kehidupan sehari-hari? Apa artinya berdiri di puncak gunung, jika
masih belum mampu menaklukkan kesombongan sebagai manusia?
Adalah Ed,
seorang lelaki yang hendak melakukan pendakian The Seven Summits of
Indonesia (puncak-puncak tertinggi di Indonesia), untuk Ia persembahkan
kepada Ine, kekasihnya.
**
Untuk Ine,
Aku tulis kisah ini sebagai persembahanku sesuai janjiku padamu
Segalanya telah berpulang padamu
Kamulah hakimnya.
**
Jika melihat
tulisan milik Febrialdi R. sebelumnya di buku BARA, aku merasakan perubahan
yang cukup indah dalam buku ini. Jika penuturan dalam BARA masih terkesan amat
kaku, GITANJALI hadir dengan penuturan yang mengalir apa adanya, meski tidak
serta merta juga menjadi sempurna.
Sayangnya, dalam
buku ini terjadi kesalahan tik hingga 22 kali, yang sering kali mengalihkan
fokus baca saya.
Terlepas dari
itu, buku ini layak dibaca, terutama bagi kita yang masih sering bertanya, “Apa
makna hidup ini sebenarnya?”
**
Aku tenggelam
dalam larik-larik kata yang membentuk cerita dalam buku ini. Seakan perlahan
memapahku untuk kembali mengarungi titik-titik kenangan di Gunung Semeru dan
Gunung Rinjani yang juga pernah kujejak. Sebuah momen ‘kembalinya segala
sesuatu’ dalam bentuk kenangan yang tak terperi, sebab sebuah cerita yang erat
dengan kenangan itu juga muncul tepat di pelupuk mataku.
Gitanjali.
Sebuah novel yang dikatakan sebagai persembahan untuk menemukan hati. Ed, si
tokoh utama, begitu lihai menuturkan perjalanannya yang hendak mendaki ke Seven
Summits Indonesia itu. Dibuka dengan momen yang telak, dibalut kesedihan
demi kesedihan, lalu keputusan untuk berkelana, Gitanjali juga mampu menjadi
penawar luka, sebagaimana artinya yang sebenar-benarnya, yakni: tembang
persembahan.
Terlepas dari
itu, kejadian-kejadian tak terduga yang muncul di awal perjalanan, membuat Ed
dilematis dan mulai bertanya-tanya akan esensi perjalanannya sebenarnya. Romantika-romantika
perjalanan muncul dan menimbulkan kebingungan. Membuat tiap langkahnya berat,
tak bergairah, dan penuh pertimbangan.
Lalu, di gunung
selanjutnya, sebuah fakta teramat perih dan memilukan, muncul di tengah
pendakian. Kejadian di tengah jalur pendakian Senaru, Gunung Rinjani itu
membuat Ia terpukul dan harus memilih. Lanjut, atau, berhenti?
**
Aku
terempas-empas ketika kalimat-kalimat ‘tuduhan’ dan ‘penghakiman’ tentang
esensi mendaki gunung, mulai bermunculan dalam rupa pertanyaan-pertanyaan besar
dan tak berkesudahan. Aku ingin menepikan itu, acuh tak acuh saja, tapi rupanya
tidak bisa semudah itu. Aku benar-benar harus menanyakan hal itu pada diriku
sendiri.
“Apa
sebenarnya tujuanmu naik gunung, Wahai Diri?”
Jika mengingat
apa yang dikatakan oleh Harley B. Sastha di kata pengantar buku ini, mendaki
gunung selalu punya makna tersendiri secara personal bagi pelakunya. Namun,
sejatinya mendaki gunung merupakan simulasi perjalanan panjang menjalani
kehidupan. Sejak persiapan, perjalanan, pendakian itu sendiri, hingga kembali
pulang dengan selamat.
Antara rumah
dengan puncak gunung akan ada tempat, manusia, hewan, dan tumbuhan, serta batu,
tanah, pasir, sungai, air, dan gunung itu sendiri, tempat kita belajar banyak
dan membentuk diri. Sejatinya begitu tiba di puncak gunung, selalu masih ada
langit di atas kepala kita.
Tapi, semua
tidak semudah itu. Dalam lembar-lembar tulisan selanjutnya, Ed semakin bertemu
lebih banyak pertanyaan. Seakan hidupnya hanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan
itu, yang dengan halus, menjelma juga jadi pertanyaan bagiku pribadi.
“Apa artinya mendaki
jika aku tak mampu menyerap semangat serta nilai-nilai yang diajarkan oleh alam
pada kehidupan sehari-hari? Sama sekali tak menjelma pada sifat-sifatku sebagai
manusia. Apa artinya berdiri di puncak gunung, jika aku masih belum mampu
menaklukkan kesombonganku sebagai manusia? Apa artinya menyambangi
puncak-puncak tertinggi, jika aku tak juga mampu merendahkan diri di hadapan
Tuhan?”
Melalui buku
ini, selain belajar tentang pemaknaan dari mendaki gunung itu sendiri, aku
paham, bahwa gunung, hidup dengan caranya sendiri. Maka siapa pun yang ingin
berbaur dengannya, harus siap pula beradaptasi dengan segala sesuatu tentangnya
yang ‘pasti’ asing dan tak terduga. Satu yang ku tahu pasti, tidak ada yang
sia-sia dalam mendaki gunung. Karena mencintai dan menghargai ciptaan Tuhan
beserta seisi alamnya adalah sebagian dari ibadah.
Dan, manusia
boleh saja melakukan perjalanan ke mana pun Ia mau. Mendaki gunung-gunung
paling tinggi sekalipun. Tapi bukan kegiatan bepergian atau mendakinya yang
akan dikenang manusia. Melainkan makna di balik pendakian yang akan abadi
selamanya. Apa artinya melakukan pendakian ke berbagai puncak dunia, namun
tidak menjadi pencerahan bagi manusia lainnya? Apa artinya mendaki
gunung-gunung tinggi, tapi tidak membuat orang bersyukur atas ciptaan Tuhan?
Mestinya
perjalanan dan pendakian yang dilakukan justru mampu membuat kita yang
melakukan bisa menjadi manusia yang menyadari bahwa dirinya hanyalah noktah di
jagat raya yang maha luas ini. Menjadi manusia yang rendah hati. Menjadi manusia
yang pandai dan senantiasa bersyukur. Menjadi manusia yang mengajak manusia
lainnya sama-sama ikut merasakan makna di balik itu semua seperti yang Ia
rasakan. Di situlah esensinya.
Selain itu,
beberapa bagian cerita yang menonjolkan interaksi Ed dan sejumlah perempuan,
membuat aku sedikit belajar tentang pentingnya menata perasaan yang kerap kali
berubah dan senantiasa labil, juga tentang betapa mahalnya harga sebuah
kesetiaan. Kondisi dilematis yang kerap Ed temui, memberikan pelajaran tak
terperi tentang cinta yang memang tidak mengenal ramalan cuaca. Bahwa kita
harus siap dikoyak badai kesepian atau gigilnya hati yang dipatahkan.
Seperti yang
dikatakan Wahyu H. Sudarmo, "Novel ini mengisahkan betapa tidak ada
perjalanan yang sia-sia, jika manusia tidak sekadar melangkah."
Comments
Post a Comment