Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas | #bookreview15

Eka Kurniawan - Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas


Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2014
Ketebalan: 243 halaman
ISBN: 978-602-03-2470-8

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.

Unik, menggelikan, sekaligus memacu adrenalin. Novel ini punya konflik yang tidak biasa. Berawal dari ‘seekor burung’ yang memilih untuk tidur panjang, dan membuat pemiliknya terlempar ke sana ke mari hanya untuk membangunkannya, keadaan dalam cerita yang sebagian besar berlatar belakang di perkampungan Bojong Soang ini semakin amburadul dan menggelikan.

Seperti biasa, Eka Kurniawan mampu membangun cerita dengan tokoh yang ‘aneh’, konflik yang berasal dari hal-hal remeh, juga keadaan-keadaan yang menggelikan. Dan seperti yang dikatakan Aris Kurniawan, memang, novel ini dipenuhi tokoh-tokoh dengan karakter yang ‘tidak waras’. Ketidakwarasan tokoh-tokohnya, di luar motif hasrat seks yang menggerakkan mereka, juga menjadi cermin dari ketidakwarasan zamannya.

Ada Ajo Kawir, si tokoh utama yang awalnya ‘anak baik-baik’, tetapi sejak kejadian malam hari di rumah Rona Merah si perempuan gila, segalanya berubah. Dan sejak malam itu pula, Ia berdedikasi untuk membangunkan kembali miliknya yang tidur seakan mati. Kehidupannya berubah 180 derajat. Ia semakin mudah mewek dan marah, juga sedih dan kacau. Ia selalu ingin berkelahi dan memukul siapa pun.

Ada Si Tokek, sahabat Ajo Kawir yang dikungkung perasaan bersalah seumur hidup, pada satu-satunya sahabat paling sahabat yang Ia miliki itu. Bahkan tanpa siapa pun tahu, Ia berjanji tak akan menggunakan sesuatu yang paling berharga di tubuhnya, sebelum bisa menebus ‘dosa’ masa lalu yang pernah Ia lakukan. Sebuah bentuk hukuman paling romantis untuk dirinya sendiri, demi sahabatnya.

Ada Iwan Angsa dan Wa Sami, yang setia mengurus Ajo Kawir dan Si Tokek. Bahkan Iwan Angsa mengambil andil cukup besar untuk membantu Ajo Kawir menyelesaikan masalahnya yang nyaris membuat dia gila, meski pada akhirnya juga tak ada jalan yang berhasil.

Ada Si Perokok Kretek dan Si Pemilik Luka, yang karena kebiadaban keduanya, Ajo Kawir harus ‘terhukum’ hampir seumur hidupnya. Ada Paman Gembul yang nyentrik tapi hampir menuju kematian dengan rasa bersalah; Pak Lebe yang jadi bukti kebaikan hati Ajo Kawir; Si Macan yang terkenal sangar, tapi berakhir tanpa perlawanan; Agus Klobot yang jadi korban keberingasan rezim kala itu; Budi Baik yang kurang baik; Mono Ompong, bocah yang memutuskan merantau karena kegelisahannya akan cinta; ada Si Kumbang yang tak pernah mau kalah, namun akhirnya ‘terpaksa’ harus menyerah; Pak Toto yang mesum dan biadab; Ki Jempes, seorang buta yang lihai memecut; ada Rani, Nina, Nini Jumi, Ujang, Marwan, hingga Jelita, yang menjadi alasan penutup semua cerita; juga yang paling istimewa, Iteung, penyebab tokoh utama jatuh cinta, sekaligus perih dan luka karena cinta.

Tokoh-tokoh ini memerankan perannya dengan lihai dan ‘tidak waras’. Semuanya bergerak maju, dan membentuk sebuah kesatuan cerita yang mampu memacu adrenalin setiap pembaca. Sekali waktu, pembaca bisa dibuat marah karena ulah Pak Lebe atau Si Kumbang misalnya, atau jijik oleh ulah Pak Toto, serta merasa istimewa oleh perlakukan Si Tokek atau Iteung kepada Ajo Kawir. Semuanya tetap dengan motif dan hasrat seks yang berbeda-beda, namun tetap menggebu.

Ah.. sekali lagi, Eka selalu berhasil menciptakan cerita-cerita yang ‘tidak waras’ dan unik. Bahkan pembicaraan tentang jari-jari manusia yang bisa leluasa melakukan banyak hal, menjadi perbincangan menarik di sini.

Kisah cintanya? Unik dan aneh juga. Perkelahian mengawali segalanya. Adu jotos, lalu jatuh cinta bukan kepalang. Tetapi, jujur, cara mereka jatuh cinta dengan cara yang sangat tak terduga, lalu memutuskan untuk bahagia bersama selamanya, membuat jantung juga bisa ikut berdegum kencang, seakan merasakan rasa cinta yang sama. Kalimat-kalimat sederhana seperti, “..Aku ingin menikahimu. Aku tak ingin melepaskan kesempatan untuk berbahagia denganmu,” kerap mengisi perbincangan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Ajo Kawir dan Iteung.

Dan yang paling penting, sekaligus yang menjadi plot kebanggaan dalam buku ini adalah, pembahasan tentang kemaluan -yang di novel-novel lain sering dirasa tabu untuk dibicarakan. Di buku kuning ini, perihal kemaluan akan kita temukan bertebaran di sana-sini. Bahkan Ia seakan menjadi fokus utama pembicaraan. Eka ingin mengajarkan sesuatu yang baru dengan cara yang tak biasa. Seperti kalimat di halaman 126, “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan”. Dan, ya. Pembelajaran hidup yang baik benar-benar akan kita dapatkan, melalui perbincangan dengan kemaluan-kemaluan dalam cerita ini.

Semisal, karena ‘si burung’ memilih untuk menempuh jalan sunyi dengan tidur lelap damai, Ajo Kawir -si tokoh utama, pada akhirnya mengambil pelajaran darinya, dan memutuskan untuk mengikutinya. Berdamai dengan keadaan, menempuh jalan sunyi seperti yang sering dilakukan para sufi. Hidup dalam kesunyian, tanpa kekerasan, tanpa kebencian. Ia menganggap ‘si burung’ sebagai mahaguru-nya yang menjalani langkah sunyi.

Buku ini cocok sekali untuk kita yang sedang tidak mau membaca hal-hal berat dan membingungkan, tetapi tetap mau ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Dengan penuturan khasnya yang kadang absurd, Eka Kurniawan menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya penuh teka-teki untuk dipecahkan. Tokoh-tokoh dengan nama yang unik pun menjadi daya tarik tersendiri. Kita seakan dibawa masuk ke dalam sebuah dunia yang antah, namun pada dasarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita dibawa terjun ke dalam sebuah imaji yang paling nyata. 

Konflik yang Eka usung pun demikian, seakan jauh dan amat tak terbayangkan, tetapi sebenarnya inilah konflik yang paling dekat dengan diri dan kehidupan kita. Hanya saja, kebanyakan orang memilih untuk menafikan itu, menyembunyikannya rapat-rapat, dan membiarkan hanya diri sendiri saja yang tahu. Misalnya, soal kemaluan. 

Ya, ini hal yang teramat intim dalam kehidupan kita, bukan? Tetapi, pria kelahiran Tasikmalaya ini mampu menjadikan hal intim itu sebagai ‘pemeran utama’ dalam ceritanya. Ia benar-benar tidak terduga. Seperti dalam bukunya Cantik Itu Luka, pria lulusan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini lagi-lagi rampung menciptakan cerita yang sangat fenomenal, mengagumkan, dan sangat baik untuk dibaca. Tak heran jika Ia digalang-galang sebagai, the new Pramoedya Ananta Toer di Indonesia.



*Terima kasih untuk sahabat saya, Hasanul Muqfy, 
yang sudah menghadiahkan buku ini. Semoga tetap erat!


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6