Dengarlah Nyanyian Angin | #bookreview18

Haruki Murakami - Dengarlah Nyanyian Angin


Judul: Dengarlah Nyanyian Angin
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2008
Tahun terbit: 1979
Penerjemah: Jonjon Johana
Ketebalan: iv+119 halaman
ISBN: 978-602-424-407-1

“Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”

Dalam kisah ini, tokoh Aku pejantan tangguh tapi terobsesi dengan seorang penulis Amerika yang mati bunuh diri. Kekasih Aku gadis manis dan bersahaja tapi tak ragu-ragu menggugurkan janin dalam kandungannya, yang entah siapa ayahnya.

Sobat kental Aku, Nezumi, anak hartawan tapi muak dengan kekayaan dan menenggelamkan diri dalam alkohol. Mereka bertiga melewati delapan belas hari yang tak terlupakan pada suatu musim panas di sebuah kota kecil di tepi laut.

Dengarlah Nyanyian Angin bercerita tentang anak-anak muda dalam arus perbenturan nilai-nilai tradisional dan modern Jepang tahun 1960-1970-an. Dengan ringan, Haruki Murakami berhasil menggambarkan sosok kaum muda Jepang yang antikemapanan dan tak memiliki bayangan ideal tentang masa depan. Novel pertama Murakami ini memenangi Gunzo Literary Award tahun 1979.


Kesedihan menyelimuti saya tepat ketika lembar terakhir buku ini saya tamatkan. Entahlah. Padahal jika dipikir-pikir, tidak ada hal yang begitu menyedihkan dari buku ini, meski tidak bisa dipungkiri, cerita di buku ini juga bukan cerita bahagia. Entah harus dikategorikan ke mana, tetapi izinkan saya menyebut buku ini: buku sendu.

Maaf jika sebutannya kurang menyenangkan. Tetapi itulah yang saya rasakan selama menyelami aksara dalam buku ini. Sendu. Sejak awal, apa yang Murakami suguhkan melalui untaian kalimatnya yang terkesan sekenanya saja, membuat saya banyak tercenung dan merenung. Seperti filsuf, saya tiba-tiba banyak bertanya arti hidup dan mau dikemanakan hidup ini ke depannya. Ya. Semacam itulah buku ini.

Jika ditanyakan, apa kisah yang diangkat dalam buku ini? Saya pun bingung harus menjawab apa. Mau dibilang berkisah tentang asmara, tidak juga. Tokoh utama, memang beberapa kali bercerita tentang pengalamannya bercinta 54 kali dalam kurun waktu 8 bulan. Bahkan Ia pernah cukup panjang menceritakan pertemuan dan perkenalannya dengan seorang perempuan yang hanya memiliki empat jari di salah satu tangannya, dan memiliki kisah hidup yang cukup menyakitkan. Cerita ini menempati beberapa lembar dalam buku ini.

Mau dibilang berkisah tentang keluarga, pun tidak juga. Tetapi bahasan tentang keluarga juga bukan berarti nihil. Di beberapa bagian, penulis bahkan terlihat menonjolkan jenis kisah ini. Tentang sahabat si tokoh utama misalnya, yang memiliki keluarga kaya raya, namun Ia sendiri sangat membenci ‘orang kaya’. Atau tentang perempuan berjari empat tadi, yang keluarganya tercerai berai setelah sekian tahun lamanya banting tulang merawat ayah yang sakit, yang pada akhirnya tetap mati juga. Atau bahkan tentang kisah si tokoh utama sendiri, yang menghabiskan belasan tahun hidupnya dengan menyemir sepatu ayahnya setiap malam.

Atau mungkin ini kisah persahabatan? Saya ragu. Tokoh utama, Nezumi sahabatnya, dan Jay di Jay’s Bar, memang memperlihatkan hubungan pertemanan yang baik, dan cukup kukuh (?). Tetapi kisah ini juga bukan hanya milik mereka bertiga. Bahkan jangankan soal jenis kisah yang diangkat. Sampai akhir pun, pembaca tidak akan pernah tahu siapa nama tokoh utama. Sepanjang kisah, dia hanya menggunakan kata ganti ‘Aku’. Atau memang namanya ‘Aku’?

Buku ini memang cukup misterius. Tetapi boleh lah, kita sebut saja ini buku biografi tentang si ‘Aku’, dan kisah-kisah yang melengkapi perjalanannya selama musim panas bulan Agustus 1970 di sebuah kota kecil tepi laut, yang lebih banyak dihabiskan dengan tenggelam dalam alkohol dan mendengarkan salah satu program radio yang cukup hits saat itu.

Saya memang tidak bisa menangkap keutuhan cerita dalam buku ini. Semua kalimatnya terhampar begitu saja tanpa ada satu ikatan yang pasti. Sekali lagi saya katakan, tulisan Haruki Murakami ini terkesan sekenanya saja. Namun terlepas dari itu, saya sungguh banyak belajar darinya. Tentang bagaimana seorang manusia menatap hidup dan menjalaninya, tentang bagaimana menepikan perih dan kepedihan, juga tentang bagaimana berteman dan mempertahankan hubungan pertemanan itu. Dalam buku tipis ini, Haruki Murakami merangkum semua itu dengan sangat sederhana.

Tetapi, saya terkecoh sedemikian rupa oleh seorang tokoh dalam buku ini. Diceritakan, si tokoh utama sangat terobsesi dengan seorang penulis asal Amerika yang mati bunuh diri, bernama Derek Heartfield. Saking terobsesinya, Ia kerap mengutip apa yang pernah dituliskan Heartfield dalam buku-bukunya, bahkan menyisipkan sepenggal-sepenggal kisah hidup Heartfield di sana-sini. Buku ini bahkan ditutup dengan kisah laki-laki yang tewas setelah melompat dari Empire State Building itu. Saya terkecoh, dan saya yakin semua pembaca buku ini akan mengira kalau Heartfield adalah sosok nyata. Namun ternyata, Ia hanyalah tokoh fiksi yang dikarang begitu apik oleh Murakami. Saya ingin berikan tepuk tangan paling meriah untuknya.

Satu yang sangat saya sukai dan menjadi kesan terbaik saya dari buku ini, adalah rekomendasi old song yang sangat berharga. Di sana-sini, Murakami kerap menyisipkan satu dua lagu zaman ‘60-an. Dan setiap itu pula, saya langsung cari dan putar lagu itu. Akhirnya saya kerap menikmati buku ini sambil mendengarkan lagu-lagu lawas tersebut, seperti menjadi soundtrack. Karena buku ini, saya jadi kenal Creedance Clearwater Revival, sebuah grup musik rock asal California yang populer pada akhir tahun ’60-an, dengan lagu-lagu kerennya seperti Who’ll Stop the Rain atau Have You Ever Seen the Rain. Juga super grup musiknya Peter, Paul, & Mary, dengan musik folk-nya yang dikelola oleh Albert Grossman pada tahun 1961. Akhirnya, dua playlist tersebut jadi playlist favorit saya saat ini. Selain itu, rekomendasi buku-buku dan film lawas juga kerap menghiasi cerita buku ini. Saya sangat tidak sabar membeli buku dan menonton film-film itu. Terima kasih banyak, Haruki Murakami.

*Terima kasih untuk Kak Zul Biahimo yang sudah menghadiahkan buku ini 
ketika saya bertandang ke Yogyakarta pada Juli 2019 silam. It's so fascinating!




Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6