Animal Farm | #bookreview19

George Orwell - Animal Farm

Judul: Animal Farm
Penulis: George Orwell
Tahun terbit: 1945
Terbit ulang: Bentang Pustaka, 2015
Penerjemah: Bakdi Soemanto
Ketebalan: iv+144 halaman
ISBN: 978-602-291-283-5

Suatu malam, Major, si babi tua yang bijaksana, mengumpulkan para binatang di peternakan untuk bercerita tentang mimpinya. Setelah sekian lama hidup di bawah tirani manusia, Major mendapat visi bahwa kelak sebuah pemberontakan akan dilakukan binatang terhadap manusia; menciptakan sebuah dunia di mana binatang akan berkuasa atas dirinya sendiri.

Tak lama, pemberontakan benar-benar terjadi. Kekuasaan manusia digulingkan di bawah pimpinan dua babi cerdas: Snowball dan Napoleon. Namun, kekuasaan ternyata sungguh memabukkan. Demokrasi yang digaungkan perlahan berbelok kembali menjadi tiran di mana pemimpin harus selalu benar. Dualisme kepemimpinan tak bisa dibiarkan. Salah satu harus disingkirkan… walau harus dengan kekerasan.

Animal Farm merupakan novel alegori politik yang ditulis Orwell pada masa Perang Dunia II sebagai satire atas totaliterisme Uni Soviet. Dianugerahi Retro Hugo Award (1996) untuk novela terbaik dan Prometheus Hall of Fame Award (2011), Animal Farm menjadi mahakarya Orwell yang melejitkan namanya.

. . .

Binatangisme: sebuah nilai yang diciptakan oleh para binatang sendiri, dengan mengedepankan prinsip bahwa semua binatang adalah sama, punya tanggung jawab kerja sama, dan bercita – cita untuk hidup makmur sendiri. Dan untuk hal itu, ada tujuh nilai binatangisme yang menjadi asas yang harus dipatuhi oleh setiap binatang.

Tujuh nilai tersebut adalah, apa pun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh; apa pun yang berjalan dengan empat kaki dan bersayap adalah teman; tak seekor binatang pun boleh mengenakan pakaian; tak seekor binatang pun boleh tidur di ranjang; tak seekor binatang pun boleh minum alkohol; tak seekor binatang pun boleh membunuh binatang lain; dan semua binatang setara.

Buku ini menceritakan bagaimana sekawanan binatang di sebuah peternakan bernama Peternakan Manor, melakukan pemberontakan kepada manusia yang dianggap sebagai penyebab kesengsaraan mereka seumur hidup.

Segalanya bermula ketika Si Tua Major, seekor babi putih terhormat, mengumpulkan semua binatang dan mulai mengagitasi semua binatang di peternakan itu dengan pidato yang berapi – api. Anjing, ayam, burung dara, biri – biri, sapi, kuda, kambing, keledai, gagak, itik, dan berbagai macam binatang lain di peternakan itu, semuanya patuh dan dengan khidmat mendengarkan pidato malam itu.

“Hidup kita ini sengsara, penuh kerja keras, dan pendek. Kita lahir, kita diberi begitu banyak makanan, sehingga menjaga napas dalam tubuh kita, dan di antara kita yang mampu, dipaksa kerja dengan seluruh kekuatan kita sampai atom terakhir kekuatan kita; dan segera setelah kegunaan kita berakhir, kita disembelih dengan cara yang keji. Tak satu pun binatang di Inggris tahu arti hidup bahagia atau waktu senggang sesudah Ia berusia satu tahun. Tidak ada satu ekor binatang pun di Inggris yang bebas. Hidup seekor binatang super sengsara dan penuh perbudakan: ini adalah kenyataan yang sebenar – benarnya.” Pidato itu mulai memengaruhi binatang yang mendengarnya. Telinga mereka mulai panas

“Kenapa kita terus hidup dalam kondisi sengsara ini? Sebab, hampir semua hasil produksi dari kerja kita dirampok oleh bangsa manusia. Manusia adalah musuh kita yang sesungguhnya. Hapuskan manusia dari adegan itu, dan akar sumber persoalan kelaparan dan kerja lembur dihapuskan selama – lamanya!” Di akhir kalimat yang menggelegar itu, Si Tua Major sudah berhasil menggali amarah dari tiap dada binatang – binatang itu. Pemberontakan adalah jalan keluarnya! Keadilan harus direnggut!

Membaca bagian tersebut, saya jadi teringat tujuan Orwell menulis buku ini, yakni sebagai satire atas totaliterisme Uni Soviet pada masa Perang Dunia II. Dalam ceritanya, binatang – binatang ini melakukan pemberontakan terhadap ‘konsep totaliterisme’ yang dilakukan oleh Pak Jones, si pemilik Peternakan Manor sejak awal. Dan berbicara tentang totaliterisme, kita tahu bahwa ini adalah pemikiran politik yang melihat bahwa eksistensi ‘manusia’ secara orang per orang tidaklah penting, namun setiap ‘manusia’ perlu menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya kepentingan bersama.

Sistem totalitarian adalah bentuk pemerintahan suatu negara yang tidak hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi maupun politik dalam masyarakat, namun bahkan berusaha menentukan nilai – nilai baik dan juga buruk dari perilaku, kepercayaan, serta paham masyarakat itu sendiri. Dalam ideologi ini, bukan negara yang melayani masyarakat, namun sebaliknya. Kebebasan pun begitu dikekang, sangat berbeda dengan ideologi demokrasi. Dan di masa Perang Dunia II, salah satu negara yang menggunakan ideologi ini adalah Uni Soviet, di bawah kepemimpinan Stalin.

Dalam buku ini, hal di atas sangat jelas ‘difantasikan’ oleh Orwell. Pada halaman 6, Si Tua Major berkata, “Manusia adalah satu – satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, Ia tidak bertelur, Ia terlalu lemah menarik bajak, Ia tidak bisa berlari cepat untuk menangkap terwelu. Namun, Ia adalah penguasa atas semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri. Tenaga kami untuk membajak tanah, kotoran kami untuk menyuburkan tanah, tetapi tak satu pun dari kami memiliki tanah seluas kulit kami.”

Dialegorikan, ‘manusia’ di sini adalah pemerintah, dan binatang – binatang itu adalah ‘rakyat’ yang ‘dipaksa’ mengerjakan semua hal dengan dalih: eksistensi ‘manusia’ secara orang per orang tidaklah penting, namun setiap ‘manusia’ perlu menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya kepentingan bersama.

Kalimat Si Tua Major, “Jangan dengarkan kalau mereka bilang bahwa manusia dan binatang memiliki kepentingan sama, bahwa kesejahteraan yang satu adalah kesejahteraan yang lain. Ini bohong! Manusia tidak pernah melayani siapa pun kecuali dirinya sendiri,” seakan menampar keras kita, juga seperti ingin meneriakkan, “Hey, yang kumaksud di sini adalah, mereka (read: pemerintah) tidak pernah melayani siapa pun kecuali dirinya sendiri!”

Sialan. Buku ini begitu frontal.

Seperti manusia yang banyak ragamnya, di peternakan yang kemudian berubah nama menjadi Peternakan Binatang itu, juga terdapat beragam binatang dengan sifat dan ciri khasnya masing – masing. Ada binatang yang manja dan tidak mau bekerja, ada si mata – mata, ada yang orator ulung, ada yang berwatak keras namun kurang inovasi, ada yang ceria dan punya bertumpuk inspirasi, ada yang hanya banyak bicara dan tak mau bekerja, ada yang cerdas dan mumpuni menjadi guru, dan ada juga yang hanya doyan bekerja keras.

Pada intinya, sebagaimana harapan dari setiap binatang ketika pemberontakan akan dilakukan, awalnya semua hal berjalan begitu manis dan menggembirakan. Binatang – binatang itu merasa tidak pernah sehidup itu sebelum pemberontakan terjadi. Namun, seiring berjalan waktu, pelan namun pasti, segala hal mulai berubah, menjadi penuh tanda tanya dan kebingungan.

Kita tahu, di mana pun, selalu ada ‘yang serakah’, yang ingin menang sendiri, yang ingin memimpin dan menguasai. Ya. Para binatang itu salah ketika berpikir segala hal akan tetap ‘setara’ hingga akhir waktu.

Perlahan, 7 perintah, dan prinsip binatangisme, mulai ditanggalkan. Kisah pemberontakan hanya tinggal jadi dongeng yang didengar sambil lalu oleh binatang – binatang muda. Tak ada yang bersisa. Semua direnggut ‘paksa’ oleh keserakahan. Kekuasaan memang sungguh memabukkan.


Beli buku ini di @berdikaribook offline store,
Jl. Elang Jawa No.29, Karangsari, Wedomartani, Kec. Ngemplak,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55584

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6