Seharian di Pulau Magis A La Gorontalo (Pepaya Island Part 2)
Baca part sebelumnya: Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)
Naik perahu dari pemberhentian tadi ke Pulau Pepaya memakan waktu sekitar 20--30 menit, tergantung cuaca dan besar ombak yang harus diterjang. Meskipun begitu, tidak ada yang membosankan untuk sekadar duduk di atas perahu kecil dengan sema-sema itu.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi bukit-bukit yang berbaris rapi di belakang dan samping kiri, juga pemandangan dua pulau yang kontras tepat di hadapan kami. Pulau Raja yang gagah menjulang, dan Pulau Pepaya yang mungil manis.
Selain itu, saat kami menuju ke sana, cuaca sedang cerah-cerahnya. Langit biru bersaput awan putih tipis, dan burung camar terbang melenguh, menjadi kawan kami kala itu.
Tak lama, lautan luas biru legam mulai berubah warna menjadi biru muda, lalu semakin bening, dan akhirnya kami sampai. Saya bersumpah pulau ini indah sekali!
Saat kami tiba -bahkan sampai kami pulang lagi, tak ada manusia selain kami di pulau itu. Bagai jadi pulau pribadi, kami bisa melakukan apa saja saat itu.
Turun dari perahu, kami langsung mencari tempat berteduh, matahari pagi sedikit menyengat. Saya lalu langsung mengatur barang-barang dan mulai memasak. Perut sudah keroncongan sejak tadi. Sementara saya memasak, Kak Upik dan kawan-kawan perempuannya yang kemudian saya tahu bernama Mayang, Elsa, Pingkan, dan Dadas, mulai menggantung hammock dan mengatur barang lainnya.
Tak lama kami pun makan bersama. Sekadar sosis, nugget, dan indomie, tapi nikmat sekali, ditemani angin sepoi khas pulau.
Usai makan, saya yang tak sabar bermain air, langsung menceburkan diri ke laut, kendati matahari sedang terik-teriknya. Uniknya, air laut sama sekali tidak panas, justru terhitung dingin dan sejuk. Di atas sana, matahari mungkin iri dengan saya yang tetap asyik bermain air, meski dia bersinar begitu terik. Air di pulau ini memang begitu magis. Gradasi warnanya nyata sekali. Indah.
Sementara itu, kawan-kawan lain sibuk berfoto ria, dan saya tetap berada di dalam air hampir tiga jam lamanya. Jelang Zuhur baru saya naik dan mengeringkan badan.
•••
Saya ketiduran!
Setelah mandi tadi, saya berangkat ke atas hammock, lalu sedikit bercengkerama bersama kawan-kawan perempun yang baru saya kenal itu. Tak sadar ternyata saya ketiduran. Bangun-bangun, pulau terasa sepi mencekam, saya tengok ke kiri kanan, tidak ada siapa pun. Ke mana mereka?
Saya merasa seperti di film Vanishing on Street Number 7, ketika bangun-bangun tak ada satu pun manusia di dunia. Haha.
Tapi saya abaikan itu. Perut saya keroncongan lagi, dan masih ada sisa sosis dan nugget di dekat kompor, saya makan sambil duduk di atas batang kayu lapuk di dekat situ, berusaha mencari tempat teduh karena sinar matahari kian menyengat.
Hampir habis makanan, lima orang kawanku muncul dari timur pulau. "Kami menemukan tempat bagus untuk berteduh, sekaligus berganti pakaian." Oh, ternyata mereka berkeliling pulau untuk mencari tempat strategis lainnya. Memang, tempat kami yang sekarang sudah disiram sinar matahari sepenuhnya. Kami harus bergegas pindah jika tidak mau mati terpanggang di sini.
Bergegas saya habiskan makanan, lalu kami mulai mengatur barang-barang untuk pindah ke sisi utara pulau. Tak jauh, hanya sekitar lima menit berjalan, kami sudah tiba di sana. Dan, ya, tempat ini teduh sekali, bahkan ada pondok kayu kecil di situ.
Kawan-kawan perempuan saya yang sejak tadi tidak mandi, akhirnya punya tempat untuk sekadar berganti pakaian, mereka berempat pun bermain air hingga Asar menjelang. Saya memilih menyudahi Asar lalu turun lagi.
Akhirnya, sepanjang sore itu kami habiskan di laut. Air naik, tapi kami tetap riuh bermain. Berlomba mengambang di atas laut, menahan napas di dalam air, hingga berfoto-foto ria. Sore di Pulau Pepaya kala itu asyik sekali. Kawan-kawan baruku ini sangat menyenangkan dengan karakter mereka masing-masing.
Ada Mayang yang musuh bebuyutannya Kak Upik, Pingkan Si Penyanyi yang jago foto, Dadas yang netral, dan Elsa yang suka rusuh, haha. Healing ke Pulau Pepaya jadi makin menyenangkan.
••••
Pukul setengah lima sore, kami sudah siap dengan tas masing-masing, dan beranjak ke tempat penjemputan. Perahu kami sudah di sana, Om Herman sudah menjemput. Saya yang berniat ingin mandi sekali lagi di lokasi sebelumnya pun bergegas. Tiba di sana, tas saya letakkan begitu saja dan langsung menceburkan diri lagi.
Saat itu saya berpikir, memang benar, selalu ada waktu yang tepat untuk bertemu orang-orang tepat. Jika hari Senin kemarin saya jadi berangkat, tentu bukan bersama empat orang kawan baru ini saya akan menghabiskan hari. Orang-orang yang tepat, memang selalu datang di waktu yang tepat.
Dan saya bersyukur atas itu!
•••
Plot twist: Ternyata om-om perahu yang kami sebut-sebut beranama Om Herman itu bukan Om Herman sungguhan! Om Herman justru sedang bekerja di tempat lain, dan kami baru menemuinya saat akan pulang malam itu. Lalu ke mana Om Herman palsu tadi? Kami tidak tahu, hahahahaa
Jadi pengen healing dipulau itu juga 😌
ReplyDeleteKemana om herman? 🤣
ReplyDeleteTerima kasih kak. Akhirnya aku jalan-jalan juga lewat tulisan ini 😅
ReplyDeleteHeheh trnyata ka Iken seseru itu smoga bisa brlibur brsama lagi dilain waktu☺️
ReplyDelete