Belasan Jam di Atas Kereta, Hingga Lewat Suramadu | #Journey2021-3

21 Januari 2021

Tidak banyak yang kulakukan di Jakarta. Hanya semalam menginap di indekos kawan SMK-ku yang kini sedang bekerja di UTD PMI Jakarta Barat, lalu keesokan harinya langsung berangkat ke Surabaya dengan kereta. Tanggal 22 Januari aku harus sudah di Madura, langsung mengikuti screening LK2 HMI. 

Malam tanggal 20, tiba di indekos aku langsung memesan tiket kereta paling pagi dan paling murah. Beruntung aku masih dapat tiket seharga 130k, dan aku masih punya surat rapid antigen di tangan. Semua siap. Di Jakarta aku hanya makan dan tidur, esoknya kembali melanjutkan perjalanan.

....

Cuaca pagi tanggal 21 itu kurang bersahabat. Sejak pagi, Jakarta sudah diguyur hujan. Jalanan basah, licin, dan beberapa selokan sudut jalan tidak sungkan menumpahkan isinya: sampah yang tidak dibuang pada tempatnya. Jangan salah. Ibu Kota juga punya sisi ini. Banjir, selokan mampet, sampah, justru biasa saja di sini. 

Aku dan kawanku, Icha, motoran meski diguyur hujan pelan-pelan, menuju Stasiun Pasar Senen. Aku akan berangkat dari sana. Beberapa kali kami harus teriak karena terguyur air cipratan mobil-mobil yang melaju kencang, lalu tertawa karenanya. Pagi yang sendu, tapi tetap menyenangkan.

Sepanjang perjalanan, kusaksikan Jakarta tengah bergeliat lagi, tidak pedulikan air yang terus mengguyur. Toko-toko mulai dibuka, ojek payung di mana-mana, pekerja kantoran berjalan cepat melintasi jembatan penyeberangan di atas-atas jalan, dan ratusan motor berkejaran di atas jalanan basah, ngebut satu sama lain. Jakarta yang bangun lagi setelah hanya tidur satu dua jam. 

Tiba di stasiun kurang lebih 15 menit sebelum keberangkatan, aku langsung lapor masuk (check in) dan segera masuk ke ruang tunggu, sembari melambai-lambai cantik ke Icha. Haha. Jika dipikirkan, lucu juga aku yang ke Jakarta hanya semalam, paginya minta diantarkan ke stasiun untuk berkelana lagi. 

....

Tidak banyak yang kulakukan di atas kereta menuju Kota Pahlawan. Kurang lebih 12 jam itu kuhabiskan hanya dengan menulis, melamun, membuat konten video, menulis lagi, sesekali menangis, dan yang paling banyak: belajar untuk persiapan screening LK2 HMI di Bangkalan nanti. 

Memang, sejak dari Gorontalo hingga berada di atas kereta yang membawaku membelah Pulau Jawa, kekhawatiran atas kemampuanku untuk melalui screening nanti terus membayang. Bagaimana tidak? Meskipun sudah belajar sejak di Gorontalo, aku merasa bekalku masih kurang untuk melalui screening nanti. Ditambah cerita-cerita dari beberapa Kanda (sapaan untuk senior laki-laki di HMI) tentang kultur di HMI Jawa Timur yang screening-nya cukup sulit, aku semakin bergidik.

Jadilah sebagian besar waktuku di atas kereta, kuhabiskan dengan membaca kembali hasil pembobotan soal Nilai Dasar Perjuangan HMI dari Kanda Arief Abbas selama di Gorontalo kemarin, tentang Sejarah Perjuangan HMI plus Sejarah Peradaban Islam, dan sedikit-sedikit menghafalkan kembali nama-nama hukum bacaan Alquran, yang sejauh ini hanya sering kuamalkan, tetapi aku pun lupa namanya apa. 

Beruntung, sebelum berangkat tadi, aku sempat disiapkan sedikit bekal oleh Ica, jadi kelaparan di awal-awal perjalanan juga bisa sedikit terobati. 

Keberuntungan lainnya: mungkin karena pandemi, sebagian besar kursi kereta juga kosong. Di gerbong yang kutempati bahkan hanya ada sekitar enam orang. Jadilah aku bisa leluasa berselonjor kaki dan mencari posisi paling nyaman untuk istirahat sambil belajar. 

Hari merangkak perlahan. Di luar sana, terlihat berlari hamparan sawah hijau, berganti kampung kumuh, lalu hutan, dinding-dinding batu, berganti perkampungan lagi, kota-kota kecil, begitu seterusnya. 

Aku menyaksikan Jawa yang tenang dan hangat di sana. Petani-petani yang berendeng, memikul cangkul dan perkakas lain di pundak, anak-anak yang saling kejar, gadis-gadis desa membawa ember cucian, dan ibu-ibu berdaster lusuh yang menjemur pakaian di samping rumah. Silih berganti mereka muncul memenuhi layar jendelaku. Lalu aku jatuh tertidur. 

.....

Langit mulai merah di ufuk barat ketika aku terbangun. Kereta masih berjalan anggun membelah kota-kota, sebentar lagi akan mampir di Stasiun Semarang. Perjalanan masih cukup jauh. 

Kehidupanku di atas kereta masih seputar hal-hal tadi, ditambah menyelesaikan pekerjaan yang baru datang bertubi-tubi menjelang malam. 

Beberapa kali kereta berhenti di stasiun-stasiun kecil, tapi aku terlalu takut untuk sekadar turun membeli makanan atau camilan, takut ketinggalan kereta. Padahal perut sudah keroncongan sejak tadi. Bekal dari Icha malah sudah ludes sejak awal keberangkatan. 

Baru di Stasiun Semarang aku memberanikan diri turun membeli camilan, setelah bertanya ke beberapa penumpang lain, memastikan kereta akan berhenti cukup lama. Meskipun begitu, aku tetap berlari juga ketika turun dari kereta, buru-buru membeli camilan, lalu berlari naik lagi. Takut sekali. 

Usai dari Stasiun Semarang, tambah tidak ada hal yang bisa kulakukan. Berjam-jam di atas kereta membuatku jengah juga melihat ke luar bingkai jendela, apalagi kini hari sudah gelap, tidak ada apa-apa yang bisa kusaksikan. 

Hanya ada satu hal yang sempat membuat kami para penumpang kebingungan ketika kereta mulai meraung meninggalkan Semarang. Seorang perempuan muda -aku duga sepantaran denganku- berlari mengejar seorang petugas kereta sambil berteriak, "Pak, saya mau turun di Stasiun Semarang!" 

Kami semua kaget dengan teriakan di tengah suasana hening yang hanya diisi suara rel kereta yang beradu dengan jalur besi itu.

"Yah, Mbak, kereta sudah jalan, Mbak." Sahut si petugas.
"Pak, saya mau turun di Stasiun Semarang, Pak." Ucap si perempuan lagi, kali ini hampir menangis.

Meskipun begitu, kami semua tahu tidak ada yang bisa dilakukan oleh si petugas. Menghentikan kereta yang sudah terlanjur berjalan? Terlalu banyak risiko. Ini bukan mobil atau bus yang boleh berhenti kapan saja jika mau. 

Tidak mendengar jawaban yang diharapkan dari si petugas, perempuan itu pun balik arah -mungkin menuju tempatnya semula- sambil mengeluarkan telepon genggam, menelepon seseorang di ujung sana, mengabarkan kegagalannya di perjalanan kali ini. 

"Tadi juga udah deket Stasiun Semarang, masih mandi, makanya terlambat." Tiba-tiba si petugas tadi menggerutu.

"Oalah, dia masih sempat mandi tadi, Pak? Makanya ketinggalan, ya?" Sahut seorang penumpang yang duduk di kursi seberangku.

"Iya," si petugas tertawa, "Terus kami yang disalahkan." Lanjutnya. Aku hanya tertawa simpul mendengarkan. Tidak banyak berkomentar. 

Meninggalkan masalah itu, sekitar pukul 19.35, akhirnya pengeras suara di dalam kereta menyala lagi, mengabarkan bahwa kereta sudah tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Akhirnya ....

.....

Ternyata hujan turun deras sekali di Stasiun Pasar Turi, di kereta tadi tidak terlalu berasa. Orang-orang berjejalan di pintu keluar, ojek payung, sopir taksi, pedagang kecil, berebut mengerubungi para penumpang yang baru turun kereta, termasuk aku. Mereka menawarkan apa yang mereka punya, dengan cara yang beberapa terdengar lumayan aneh.

"Neng, mau ke mana? Naik taksi saja, dijamin tidak akan kena setetes pun air hujan, saya jemput di sini sekarang juga." Ucap seorang sopir. 

"Neng, naik taksi saya saja, dijamin cepat sampai, lima menit saja." Si sopir yang ini bilang begitu, tahu dia kalau aku mau ke Madura? Haha. Lima menit sampai? 

Ada lagi, "Neng, naik ojek saja lebih cepat, meski sedikit basah, tapi saya jamin Neng tetap nyaman." Haha. Ada-ada saja semuanya.

Dengan halus, aku menolak semua tawaran itu, meskipun aku pribadi masih belum tahu harus naik apa ke Pelabuhan Tanjung Perak. 

Rencana awalku: naik ojek dari Pasar Turi ke Pelabuhan Tanjung Perak, hanya bayar kurang lebih 15 ribu; dari sana naik kapal ke Pelabuhan Kamal Madura, bayar 5 ribu; lalu tinggal dijemput sama panitia di sana. 

Tapi karena hujan, semuanya buyar. Aku tidak mau mengambil risiko naik ojek di tengah hujan, dan membasahi seluruh bawaanku. Sementara jika naik taksi, mahal sekali! Aku harus merogoh kantongku hingga 80 ribu hanya untuk naik taksi sekali. 

Kucoba cari grab, ketemu. Namun, masalah baru muncul. Ternyata tidak ada grab yang bisa masuk ke wilayah Stasiun Pasar Turi. Aku justru harus berjalan sekitar satu sampai dua kilo dulu untuk naik grab itu, karena mereka hanya bisa menunggu di sana. Huh, lalu apa gunanya aku pesan grab? Toh pada akhirnya tetap basah juga. Manalagi si sopir grab mengaku dia sudah "mengaktifkan perjalanan" -aku tidak mengerti maksudnya- yang pasti kurang lebih itu berarti aku tidak bisa membatalkan pemesanan lagi. 

Aku ribet dan sebal waktu itu, berusaha berpikir cepat mencari solusi, tetapi nihil, tidak ada solusi yang kutemukan dalam batok kepalaku. Hujan pun tambah deras, seakan tidak ada keinginan untuk berhenti. Sementara itu, waktu berjalan terus, sudah pukul 20.28, dan kapal terakhir ke Pelabuhan Kamal adalah pukul 21.00. Tidak akan keburu.

Pada akhirnya, aku abaikan telepon dari si sopir grab sambil terus minta maaf dalam hati. Puluhan telepon masuk, aku tidak menghiraukannya. Sebagai bayaran kejahatanku itu, akhirnya aku beri dia bintang lima. Huft, menyebalkan sekaligus melelahkan. Untuk orang baru sepertiku, tentu aku sama sekali tidak tahu aturan main di sini. Grab tidak bisa masuk? Kenapa?

Setelah insiden grab, aku masih berusaha mencari beberapa pertolongan. Kuhubungi kawan dekatku, Majid, yang sekiranya ada kawan di Surabaya yang bisa membantuku kekuar dari masalah ini. Siapa tahu mereka punya saran lebih baik. Nihil, Majid tidak ada kawan yang bisa membantu. 

Kuhubungi kawan lainnya, Jef, ternyata dia punya kawan di Surabaya yang bersedia membantu, namanya Roskit. Kupikir, lebih baik kuminta Roskit ke sini, untuk mengantarku ke Terminal Bungurasih. Kapal tidak memungkinkan lagi, aku harus naik bus malam ini juga. 

Roskit bersedia, dan segera menuju ke Pasar Turi. Sambil menunggu, kuputuskan menghubungi panitia, seorang Kanda bernama Yasin yang sudah kusimpan nomornya sejak awal dinyatakan terterima LK2 di HMI Cabang Bangkalan. Aku laporkan posisiku saat itu, dan rencanaku ke Terminal Bungurasih. 

"Aduhh.. tambah jauh kamu. beneran🤦🏻‍♂️. wes tak jemput ae. sabar,, di Bangkalan yg hujan skrg." Begitu balasannya saat itu. Aku masih ingat betul. Selama beberapa saat, aku masih berusaha membujuk untuk berangkat naik bus via Terminal Bungurasih saja. Karena pada akhirnya, aku tetap merasa tidak enak harus merepotkan panitia tengah malam begini. Sudah hampir setengah 11 malam. Tetapi si Kanda ini kukuh, bilang kalau terminal itu jauh dan akan menambah jarak perjalananku saja. Ia akan menjemput langsung. 

Pada akhirnya, aku pasrah. Roskit sudah di jalan, tapi aku tidak jadi ke Bungurasih, biarlah nanti dia jadi kawan ngobrolku saja sambil menunggu jemputan yang datang jauh dari Bangkalan. 

Pukul 22.38, seorang laki-laki berperawakan tinggi, berambut gondrong, datang menghampiriku. Dialah Roskit yang sudah kutunggu sejak tadi. Lalu, sesaat setelah Ia mengempaskan pantatnya di kursi di hadapanku, obrolan kami mengalir begitu saja, ke mana-mana. Soal organisasi intra dan ekstra kampus, tentang HPMIG, tentang kawan-kawan di Mojokerto, sampai soal pilihan jurusan yang sedang kami geluti masing-masing saat ini. Asyik sekali, hingga tiba-tiba telepon genggamku berdering tanda ada panggilan masuk, dari Kanda Yasin. Itu pukul 23.03. "Cepat sekali dia," pikirku. 

"Saya di pintu timur." Ucap Kanda di seberang sana. 

Tidak terlalu memedulikan yang dia katakan, aku langsung menuju pintu keluar terdekat. Roskit mengiringi di sampingku. Tiba di pintu keluar, aku tidak menemukan siapa pun yang terlihat seperti Kanda Yasin, sebagaimana yang kuketahui dari foto profil whatsapp-nya. Kufoto posisiku saat itu, kukirimkan ke dia. 

"Itu selatan. Oke, bentar. Tunggu." Balasnya tidak lama kemudian. 

Aku diam di situ, dan tidak sampai semenit kemudian, seorang laki-laki berperawakan kecil berjaket eiger yang mulai lusuh, datang dari arah timur dengan sepeda motor hitam. Rupanya ini Kanda Yasin. Aku pun menghampirinya untuk memastikan. Ternyata benar dia. 

Aku lantas berpamitan ke Roskit, bilang terima kasih, dan langsung mengempaskan pantat ke jok belakang motor hitam itu. Semenit kemudian, kami sudah melaju membelah Surabaya menuju Madura, dengan kecepatan tinggi. 

.....

Itu pengalaman pertamaku ke Tanah Madura, yang otomatis akan jadi pengalaman pertamaku juga melalui jembatan yang katanya terpanjang se-Indonesia: Jembatan Suramadu, 5.43 km.

Aku bahagia sekali atas fakta itu. Sayang sekali, si kanda terlalu buru-buru. Dia memacu motornya begitu cepat, tidak memberikanku kesempatan untuk sekadar mengabadikan momen pertama melalui Suramadu itu dalam bentuk video. Jangankan bisa mengabadikan lewat video, untuk sekadar menikmati saja aku tak punya kesempatan. Angin kencang dari kiri, kanan, belakang, menampar-nampar, sementara aku harus berusaha keras menahan carrier di pundakku yang rasanya mau terbang juga. 

Jadilah, hingga ujung Suramadu, aku bahkan sama sekali tidak mampu menggambar jembatan itu dalam benakku sendiri. 

Tapi pada akhirnya kutemukan jawaban atas kekesalanku. Lepas dari Suramadu, Kanda Yasin langsung memarkir motornya ke tempat bensin eceran terdekat. Ya, barangkali tadi motornya hampir kehabisan bensin, dan memacunya sekencang mungkin adalah jalan satu-satunya agar tidak mogok bodoh di tengah jembatan tadi. Dan memang, dugaanku ini Ia benarkan berhari-hari kemudian, usai forum LK2. 

Motor sudah "minum", saatnya melanjutkan perjalanan. Kali ini, aku bersyukur Kanda Yasin tidak memacu motornya terlalu kencang, mungkin karena masa krisis motornya sudah lewat. Aku bisa melihat Kota Bangkalan dengan jelas, menyaksikan alun-alunnya, dan pedagang-pedagang kaki lima. 

Bangkalan hampir tidur saat aku tiba di Sekretariat HMI Komisariat Rato Ebu, tempatku akan menghabiskan malam bersama kawan-kawan lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6