Usai Sesak, Terbit Kemalangan Baru | #Journey2021-2

 


20 Januari 2021, lagi


Baca cerita sebelumnya: Kisah Sesak di Awal Perjalanan | #Journey2021-1


Kembali melakukan perjalanan setelah terkurung setahun lebih karena pandemi, adalah sebuah kesyukuran yang teramat bagiku. Entah mengapa, setiap kali melakukan perjalanan, jiwaku terasa lebih bebas dan santai, seperti tidak ada beban di sana. Dan, ya. Aku sungguh menikmati perjalanan kali ini, meskipun banyak sekali cobaan-cobaan yang datang silih berganti sejak beberapa hari terakhir.

Tidak banyak yang kulakukan di atas pesawat dari Tanah Serambi Madinah menuju Ibu Kota Sulawesi Selatan. Tumpukan buku di dalam tas malah tidak kusentuh sama sekali. Aku sedang tidak berhasrat untuk itu. Aku lebih banyak melihat ke luar jendela, membayangkan betapa nikmatnya jika sekiranya gumpalan awan di luar sana bisa jadi tempatku berbaring sejenak, merasai langsung angin di atas angin. Dan selepas berkeinginan yanga aneh itu, aku terlelap, hingga lampu tanda sabuk pengaman menyala lagi, dan pesawat bersiap mendarat. 

Turun, aku langsung mencari tempat transit. Di sini aku tidak sengaja bertemu seorang pengelana yang mengaku sudah tinggal di Gorontalo berbulan-bulan lamanya, karena pandemi. Aku tidak tahu dia laki-laki atau perempuan. Perawakannya seperti laki-laki, tapi kupikir Ia perempuan. Entahlah, maskernya pun tidak pernah dilepas. 

Terlepas dari kebingunganku, kami berdua berkawan selama perjalanan setelah itu. Kami transit bersama, meskipun tujuannya beda. Aku akan turun di Jawa, dan dia akan meneruskan perjalanannya hingga Sumatera. Obrolan pun tercipta terus sepanjang menunggu keberangkatan selanjutnya di gate 5. 

Bandara Sultan Hasanuddin yang manis itu tidak kuhiraukan. Obrolan panjang antara dua pengelana rasanya jauh lebih manis, hingga akhirnya kami mendengar panggilan untuk segera masuk ke garbarata menuju pesawat. Di penerbangan yang kedua ini, aku memilih tidur. Buku-buku tidak kujamah lagi. 

Hampir pukul 12 siang, kakiku sudah tegap berdiri di atas Bandara Soekarno Hatta lagi, bandara yang enam tahun lalu pernah membuatku tersesat. Lalu kubertemu lagi dengan kawan pengelana tadi, hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia akan melanjutkan perjalanan. Tidak ada perkenalan yang berarti di antara kami, bahkan aku tidak tahu namanya, tapi aku tahu, suatu saat jika kami bertemu lagi, kami akan mengenali satu sama lain. 

Aku melanjutkan langkah menuju tempat pengambilan bagasi. Dari sana, aku mulai menghubungi kawan-kawanku yang sebelumnya sudah berjanji akan menemaniku ke pesta pernikahan kawanku di Serang, Banten. 

Tidak ada yang mengangkat! Gawat. 

Mungkin setelah puluhan panggilan tak terjawab, baru kawanku itu membalas pesan dariku: "Khen, maaf. Aku tiba-tiba ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Kamu bisa berangkat sendiri?" Aku mulai sebal dibuatnya. 

Sebenarnya bukan persoalan ada kawan yang menemani atau tidak. Tapi aku butuh kawan perempuan yang bisa meminjamkanku gaun untuk pergi. Ingat? Gaunku kutinggalkan di Bandara Jalaluddin, karena carrier kelebihan beban. Hadeuh. 

Akhirnya kutelepon satu-satu kawanku yang lain, dan kuyakin sedang ada di Banten saat ini. Nihil. Tidak ada yang mengangkat teleponku saat itu. Lalu aku harus ke mana? Kucoba cari tempat sewa gaun terdekat, gilak! Satu gaun harus bayar satu juta!

Sampai jam 2 siang, aku masih terkatung-katung di Bandara Soekarno Hatta, menenteng carrier dan ransel ke mana-mana. Tidak banyak yang kulakukan selain menggerutu sambil terus menghubungi kawan-kawanku yang entah menghilang ke mana semuanya. 

Pada akhirnya, aku menyerah, dan memutuskan untuk segera ke Jakarta, menyelesaikan urusan lainnya. Tidak ada yang tersisa dan bisa kulakukan di Banten. Kuhubungi kawanku di Jakarta, hh ... dia juga tidak aktif. Sedang kerja. Tapi kali ini, aku terabas saja. Kuhubungi beberapa kawan lama yang tahu alamat pasti kawanku di Jakarta itu, lalu langsung membeli tiket kereta dari bandara. Tak lama, aku sudah di dalam suttle bus menuju stasiun kereta bandara. 

"Kenapa banyak sekali cobaan, ya? Rasanya seperti tak ada habisnya." Pikirku berulang kali. Di tengah lamunan itu, suttle bus berhenti, dan aku pun langsung turun. Tanpa rasa berdosa, aku berjalan terus hingga masuk di sebuah gedung amat besar. 

"Mana keretanya?" Kutanya ke petugas keamanan terdekat. 

"Mbak, kereta di stasiun. Ini terminal keberangkatan internasional." Jidatku jadi sasaran empuk pertama kali. Bodoh sekali! Aku pun berlari kembali mencari suttle bus yang tadi, sudah pergi. Bagaimana ini? Lima menit lagi keretaku berangkat. 

Tidak banyak yang bisa kulakukan selain terduduk lesu di kursi tunggu dekat pemberhentian suttle bus. Tentu ada suttle bus lagi yang akan lewat, meskipun Ia akan datang lewat dari jam keberangkatan keretaku yang seharusnya. Apes sekali! 

Hampir sepuluh menit kemudian, suttle bus baru datang dan aku langsung naik. Tak lama, akhirnya terminal kereta itu muncul di hadapanku. Aku turun dan langsung bertanya soal keterlambatanku. Syukur, mereka langsung mengganti jam keberangkatanku ke waktu keberangkatan terdekat. Kali ini, aku bisa lega. 

Hanya sekitar 20 menit menunggu, kereta datang, dan aku mengempaskan pantatku di salah satu kursinya. Tidak banyak yang naik kereta sore itu. Dalam satu gerbong ini saja, hanya ada aku dan seorang laki-laki paruh baya sebagai penumpang. 

Kemalanganku beberapa jam terakhir, terbayarkan dengan penampakan kota-kota dari bingkai jendela kereta. Terasa begitu magis, kota-kota itu seakan berlari mengejarku yang tengah duduk di dalam kereta panjang ini. Ah ... akhirnya aku bisa bernapas lega. Cobaan apa lagi berikutnya?

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6