Mencari Penghiburan di Bogor, Hingga Kehilangan Arah | #Journey2021-9
Baca juga: Memulai Kehidupan di Jakarta | #Journey2021-8
Kami harus berhenti bersedih. Sudah cukup dukanya. Sekitar pukul 11.00, kami pamit. Diiringi ucapan terima kasih, aku dan Icha pun memacu motor, kali ini menuju Bogor. Kami ingin pergi ke Curug Bidadari.
Menurut perkiraan google maps, perjalanan dari Cibinong ke Curug Bidadari akan memakan waktu kurang lebih 59 menit. Cukup jauh, tetapi kami nekat saja. Sudah di Cibinong, nanggung sekali jika tidak sekalian main di Bogor.
Awal perjalanan masih biasa saja, bahkan cenderung membosankan. Pinggiran Kota Bogor sesak dengan ratusan kendaraan, sementara matahari terik sekali. Baru ketika kami mulai berada di dataran tinggi, udara mulai sejuk, dan kendaraan hanya tinggal satu dua. Halangannya tinggal jalur yang kian terjal, dan hujan rintik-rintik yang datang dan pergi. Labil sekali seperti anak SMP baru kasmaran.
Ternyata pergi ke Curug Bidadari tidak semudah yang kami bayangkan. Panjang sekali perjalanannya, dan kami sempat beberapa kali ditipu google maps. Untung kami cepat sadar. Sedari tadi juga kami mencari-cari ATM BRI, tidak ketemu-ketemu, padahal uang di dompet kami masing-masing tinggal cukup untuk beli boba satu. Bagaimana jika tarif masuk curug nanti lumayan mahal? Sudah jauh-jauh ke sana, apa kami harus balik lagi hanya karena tidak cukup uang?
Tapi kami berpikir positif saja. Semoga nanti tetap ada ATM BRI, atau semoga nanti uang di dompet kami masih bisa menanggulangi tarif masuk Curug Bidadari.
Sekitar pukul 12 siang, kami mulai masuk jalur curam dan berbatu. Cukup terjal. Kami sempat hampir mengurungkan niat ke Curug Bidadari karena jalurnya yang gila seperti itu. Icha yang masih memegang kemudi motor pun kerap berteriak setiap kali ban motor kami melindas batu besar, atau ketika motor hampir terperosok karena jalur yang kian tak karuan.
Cukup lama jalur yang tidak bersahabat seperti itu, hingga akhirnya kami tiba di depan gerbang bertuliskan Curug Bidadari. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sebuah pos yang tampaknya seperti pos pembelian karcis, tampak kosong melompong. Portal masuk pun tertutup rapat, bahkan berkarat. Tempat itu seperti lokasi syuting film horor Indonesia yang kebanyakan jump scare-nya.
"Mau ke mana, Mbak?" Terdengar suara tiba-tiba. Kami mencari-cari suara. Tak jauh di sebelah kiri, ternyata ada seorang laki-laki sedang duduk, entah sedang melakukan apa.
"Ke Curug Bidadari, Mas. Buka, gak?" Sahut aku dan Icha hampir berbarengan.
"Oalah, Curug Bidadari tutup, Mbak. Sudah lama. Jalannya Longsor." Usai ucapannya itu, kami berdua langsung saling tengok dengan ekspresi kecewa bukan main. "Yahhh ...." Ucap kami bersamaan.
Bagaimana ini? Sudah sejauh dan sesulit ini, apa kami harus balik tanpa melakukan apapun?
"Ah, Cha! Tadi bukannya ada tempat wisata lain yang dekat sekali dari sini? Mampir situ saja. Semoga yang itu buka. Kayaknya sungai." Aku berceletuk. Suka tidak suka, Icha pun memutar arah motor, kami menuju tempat yang kusebut tadi.
Kami kembali melalui jalur terjal dan curam yang tadi. Bedanya, kali ini kami harus ekstra berusaha, karena harus menanjak. Kemudi motor miring ke sana kemari mengikuti jalur batu yang dilindas ban motor di bawahnya, Icha berusaha menahan kemudi sekuat mungkin, meski teriakan tidak luput juga. Aku hanya tertawa-tawa di jok belakang.
Tidak terlalu jauh, kami sudah menemukan pertigaan kecil, menuju tempat wisata yang kumaksud. Aku lupa apa namanya, tapi yang pasti, jalur masuknya curam sekali. Icha saja hampir mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam, tapi kupaksa-paksa saja.
Pelan sekali, kami turun. Aku berpegang di pundak Icha, dan Icha memegang kemudi dengan erat sambil meramas rem tangan kuat-kuat. Jalur itu curam dan menikung. Kami memang harus ekstra-hati-hati.
Sekitar hampir dua menit bergelut dengan jalur itu, kami tiba di jalur landai. Anehnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Sepi, kosong melompong. Hanya jalur sempit, rumput-rumput liar yang tidak terpangkas, dan satu dua pohon yang tinggi menjulang. Di mana tempat wisatanya?
Agak jauh kami menyusuri jalur landai setapak itu, kami tidak menemukan apapun. Hampir kami menyerah karena takut jika saja kami salah masuk dan akan dimarahi warga setempat. Di depan sana, sebuah tikungan tajam dan curam lagi-lagi harus kami lewati, kami ingin putar arah saja.
Tapi tiba-tiba ... saat tikungan itu kami lewati sedikit, di ujung sana kami melihat air jernih yang jatuh dari sebuah pancoran tinggi. Di bawahnya sungai mengalir cukup deras. Indah. Ternyata tempat wisata itu bersembunyi di balik tikungan tajam. Kami langsung sumringah dan tertawa-tawa. Icha memacu motor tanpa beban, kami meluncur bebas dan tiba tepat di depan sungai, disambut seorang perempuan paruh baya yang tampak seperti pedagang. Kami sudah tiba.
...
Tempat wisata itu terhitung sepi. Saat kami tiba, kami hanya melihat satu keluarga kecil yang tengah makan bersama di salah satu pendopo. Mungkin sengaja mengisi perut dulu sebelum bermain-main air di sungai yang jernih itu.
Sementara itu, aku dan Icha mulai berkeliling mencari tempat yang bagus untuk sekadar duduk, menikmati camilan yang kami bawa, ditemani suara air terjun kecil yang tepat berada di tengah sungai. Ngomong-ngomong, kami tidak bayar. Tidak ada yang menagih bayaran, uang di dompet kami aman tenteram.
Kami pun tiba di puncak atas air terjun. Dari situ, kami bisa leluasa menyaksikan air terjun jernih yang jatuh mengempas batu-batu di bawah, melihat keluarga kecil tadi yang kini benar-benar sedang bermain air di bawah sana, melihat si ibu pedagang yang duduk termenung, bukit-bukit cadas kecil yang mengelilingi tempat itu, dan tentu saja, menikmati segarnya udara tanpa polusi itu.
Tiba-tiba aku teringat kampung halamanku, Kota Kotamobagu. Sebuah kota kecil yang ada di Sulawesi Utara. Beberapa hari di kota besar seperti Jakarta, membuatku sadar betapa beruntungnya aku yang dulu setiap hari bisa menghirup udara segar tanpa polusi seperti ini, di kampung halamanku. Ah, mengingat kampung halaman, jadi ingin cepat-cepat pulang.
Kurang lebih satu jam aku dan Icha di sana. Sudah puas, kami akhirnya bergeser ke Kota Bogor. Sebelum pulang, aku ingin makan di tempat makanan khas Korea di Botani Square. Dulu sekitar tahun 2017, aku pernah makan di situ, dan rasanya enak sekali. Kebetulan sedang di Bogor, aku ingin mencobanya lagi. Icha manggut-manggut saja mengikuti keinginanku. Kawan yang baik.
...
Kini gantian aku yang memegang kemudi. Kami melalui jalur ekstrem tadi lagi, tapi kali ini tidak seheboh tadi. Namun, apes! Tidak jauh dari sungai tadi, kami bertemu hujan deras. Untung saja kami sudah siap sedia dengan jas hujan, meskipun hanya satu. Dan karena aku yang memegang kemudi, maka aku yang dapat kesempatan istimewa menggunakan jas hujan itu. Sementara di jok belakang, Icha berusaha menutupi dirinya dengan sedikit bagian dari jas hujan yang memang lumayan besar jika hanya digunakan untuk diriku sendiri.
Kami membelah jalanan pinggiran Kota Bogor (lagi), masih berbekal google maps. Sayang sekali, baru jalan, kami sudah dibawa ke mana-mana. Beberapa kali kesasar, hingga akhirnya kami memutuskan bertanya saja ke warga setempat.
Jalanan Bogor hari itu licin karena hujan, tapi aku terus memacu motor, menuju Botani Square. Telepon genggamku akan segera mati kehabisan baterai. Aku harus cepat jika tidak mau kehilangan tuntunan google maps.
Sayang, kami tidak cukup cepat. Saat Botani Square tinggal 25 menit lagi akan kami gapai, telepon genggamku mati total, kami kehilangan tuntunan. Bagaimana ini? Bagaimana kami bisa tiba di sana?
Pada akhirnya, kami menggunakan cara lama. Bertanya ke warga setempat, setiap 500 meter. Sisa perjalanan itu menjadi lucu karena kami harus selalu berhenti untuk bertanya. Namun, ketika kami bertanya kepada orang ketiga siang itu, kami diminta untuk mengikuti angkot nomor 05 saja. Katanya, itu angkot jalur Botani Square. Kami pun beralih, tidak lagi berhenti setiap 500 meter untuk bertanya, tapi kini mengekor terus di belakang angkot nomor 05. Angkot itu berhenti, kami juga ikut berhenti. Angkot itu terjebak macet, kami ikut terjebak macet, meski sebenarnya karena kami menggunakan sepeda motor, kami bisa menyalip dan berjalan mulus. Lucu sekali, angkot menjadi google maps baru bagi kami. Haha.
Kurang lebih 30 menit kemudian, akhirnya kami tiba atas tuntunan tidak langsungnya angkot berwarna hijau itu. Oh, kami harus berterima kasih pada orang yang menciptakan angkot di muka bumi ini.
...
Kami masuk Botani Square dan langsung mencari tempat makan yang kuinginkan. Kami langsung naik ke lantai tiga, sebagaimana yang kuingat sejak bertahun-tahun silam. Namun, tiba di sana, aku menyaksikan Botani Square yang sangat berbeda. Sebenarnya maklum saja, sudah empat tahun berlalu, apa saja bisa berubah. Kenapa aku masih berharap tempat makan itu masih ada di sana? Haha.
Icha tertawa-tawa melihatku yang kebingungan dan marah-marah sendiri. Lalu makan apa? Ke Botani Square hanya karena ingin makan itu, kini tempat makannya saja entah sudah menghilang ke mana. Kami memutuskan berkeliling mencari tempat makan yang serupa. Nihil. Kebanyakan masakan Jepang. Manalagi perut kami berdua sudah keroncongan minta diisi sejak tadi, kami harus segera menentukan pilihan.
Pada akhirnya, kami berhenti di Marugame Udon, salah satu tempat makan ala Jepang yang sejak lama juga sudah ingin kudatangi, ingin coba udonnya yang kata orang-orang enak sekali.
Kami masuk dan langsung memesan. Tidak lama, udon kami datang, dan kami langsung tenggelam di dalamnya. Makan dengan lahap sambil curhat-curhatan, sungguh adalah anugerah.
Comments
Post a Comment