Protes | #bookreview31
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti
Tahun terbit: 1994
Ketebalan: 314 halaman
ISBN: 979-444-301-8
Kaya imaji dan simbol, sugestif dan dinamis, dan kerap seperti protes pada bentuk pengucapan literer yang konvensional. Begitu kesan pertama sehabis membaca cerpen-cerpen Putu Wijaya ini.
Putu, dalam kumpulan cerpennya yang sesekali mencuatkan kritik sosial ini, tampak konsisten dengan konsep “teror mental”-nya yang menggemaskan. Tak pelak, Protes kian mempertegas sosok penulisnya sebagai seniman garda depan yang serba bisa, energik, dan sangat produktif.
…
Jika harus mengartikan buku sastra yang satu ini dengan menggunakan poetika, maka benar bahwa ini adalah karya seni. Sebuah hasil dari kerja-kerja kreatif si penulis.
Oleh karena itu, sejujur-jujurnya, saya secara pribadi tidak mampu memberi penilaian yang objektif terkait apa yang disuguhkan Putu dalam buku bersampul merah ini. Seperti yang dituliskan oleh Rene Wellek dan Austin Warren dalam bukunya, “Teori Kesusateraan”, bahwa sastra memang tidak bisa “ditelaah” sama sekali. Sastra hanya boleh dibaca, dinikmati, dan diapresiasi.
Maka, tulisan selanjutnya akan sangat bersifat subjektif. Sebuah rasa yang muncul usai membaca dan menikmati buku ini, dan tinggal mengapresiasi.
Putu Wijaya menyuguhkan cerita-cerita yang unik dan berkelas. Tidak ngasal. Pada tiap cerpennya, ada protes di sana. Misalnya pada cerpen berjudul “Sampah” di halaman 5, Putu mengemukakan kritik lingkungan, “menolak” manusia-manusia “perusak” bumi, dengan sampahnya yang ke mana-mana. Atau pada cerpen berjudul “Teror” di halaman 9, laki-laki kelahiran 1970 ini menyindir orang-orang yang kerap melakukan teror menggunakan tangan-tangan manusia tidak berdosa. Paling saya suka, cerpen berjudul “Emansipasi” yang menyindir para “tokoh” emansipasi yang ternyata patriarki dalam dirinya sendiri. Emansipasi hanya habis menjadi slogan-slogan.
Namun, ada juga beberapa cerita yang menarik, tapi saya tidak menemukan protes di dalamnya. Cerita yang berjudul “Maya (1)” misalnya, atau “Simfoni”, “Didu”, “Pencuri”, dan beberapa cerita lain. Tapi tidak apalah, toh tetap menarik juga.
Terlepas dari itu, jika bisa saya nilai secara keseluruhan, cerita-cerita di dalam buku ini memberi gambaran singkat tentang realitas sosial saat ini. Realitas sosial yang kelihatannya sepele, tetapi ternyata justru racun yang sudah mendarah daging dalam tubuh masyarakat.
Kebaikan yang justru jadi “tabu”, kita yang suka sekali ikut campur urusan orang lain, menginginkan perubahan tapi tidak mau sulit, perihal buang sampah sembarangan, manusia-manusia yang suka sekali mendominasi, kita yang doyan sekali menghakimi, Kartini yang ternyata tidak cukup sebagai teladan, manusia yang berlomba-lomba mencapai yang bukan apa-apa, hingga soal kita yang kian ke sini kian terperdaya oleh mesin.
Putu Wijaya dengan kelihaiannya mampu menjadikan sebuah masalah “sederhana”, menjadi semakin sederhana, tapi penuh pembelajaran baik. Membaca buku ini seperti sedang duduk di antara ingar manusia, memperhatikan gerak-geriknya, lalu membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri.
Comments
Post a Comment