Abadikan Kenangan di Pantai Abadi, Lalu Bertemaram di Tanjung Silar | Sanskuy Team June 2019 #3


"Dan sebuah memori tentang kebahagiaan tak terkira, terukir lagi. Kali ini, antara saya dan mereka. Sebuah memori yang akan kami kenang, mungkin bukan untuk satu dua tahun ke depan, tapi untuk sepuluh duapuluh tahun ke depan saat kami tak lagi mampu menjejakkan kaki dengan tegap. Saat yang bisa kami lakukan tinggallah mengenang, dan dikenang." -Nikhen Moko


Baca juga cerita kedua kami : Sekali Jalan, Dua Tiga Tempat Terlampaui | Sanskuy Team June 2019 #2



Sedang berseliweran di dalam gawai, tiba-tiba muncul notifikasi. Sebuah chat masuk di dalam grup milik Sanskuy Team, yang kini sudah berganti nama menjadi: "Luwuk Libur Semester 5".

"Eh, part 3 masih ada kan?" begitu pertanyaan yang tertulis di chat itu. Pengirimnya? Ternyata si supir PO, Fadlul, mengomentari cerita part 2 kami yang beberapa saat sebelumnya aku bagikan di grup.

Singkat kubalas, "Masih ada bos."

Dan, yeah, ini ceritanya.


• • •


#19 Juni 2019

Hari kedua di Kota Kotamobagu.

Pagi kali ini tidak seperti pagi sebelumnya. Kami lebih cepat bangun -meski tetap sedikit telat, dan kami pun tak lagi mager -aku dan Debi memutuskan untuk memasak, tidak lagi makan mi instan seperti kemarin. Perjalanan yang diperkirakan akan cukup panjang hari ini membuat kami merasa harus mengganjal perut dengan sesuatu yang bergizi. Setidaknya bisa jadi penunda lapar hingga malam nanti.

Kami segera berbagi tugas. Aku dan Debi memasak lauk -dalam hal ini telur saus yang paling mudah diciptakan, Nisa menanak nasi, dan Lani, kembali pada tugasnya sebagai tukang cuci piring di perjalanan kali ini, hehe. Sementara para laki-laki, kami biarkan mereka lakukan apapun. Fadlul masih bergumul di atas tempat tidur, sementara Fais dan Gafur, memilih sibuk berfoto di depan rumah. Maklum, halaman rumah kecilku ini memang cukup menawan.

Tak lama, aku dan Debi sudah kembali ke rumah kecilku dengan semangkuk telur mata sapi saus hasil eksperimen kami di rumah Oma-ku. Memang, di lorong rumahku ini hanya ada empat rumah, dan semuanya rumah keluarga. Setiap kali aku bertandang, aku tak pernah lagi memasak di rumahku sendiri kecuali pakai kompor kecil milikku yang tak seberapa, dan juga hanya di dalam rumah. Dapur sudah tak bisa kugunakan lagi. Jadi, untuk memasak makanan yang banyak, aku lebih pilih di rumah Omaku yang sudah tentu punya kompor lebih besar dan dapur yang lebih leluasa.

Perut yang keroncongan membuat aku dan Debi semangat. "Ayo, makan.. makan.." ajak jami pada kawan-kawan lain.

Tapi, masalah baru muncul lagi. Kali ini, kesalahan datang dari si penanak, Nisa. Ternyata tadi saat akan menanak di ricecooker,  beras tidak dia ukur pakai gelas kecil yang biasa digunakan untuk mengukur beras, justru beras yang ada di dalam satu plastik besar langsung dia tuangkan semuanya ke dalam ricecooker. Akhirnya, ricecooker yang tidak bisa menampung lebih dari 1 liter, kewalahan. Nasi mentah, bagai beras yang direndam air panas. Sama sekali tidak bisa dimakan. Aku yang sudah kelaparan saat itu sedikit jengkel. Duh, harus kami apakan ini?

Setelah berpikir lama dan berbagai ide saling menyahut, aku dan Debi memutuskan untuk menanak kembali 'beras' itu. Kali ini pakai kompor, tidak lagi pakai ricecooker yang terlalu kecil itu.

Dengan perut keroncongan, aku dan Debi pun memulai aksi mengaduk 'beras' yang sudah kami tambahkan bergelas-gelas air. Dan, setelah perhelatan yang lama, sekitar hampir 20 menit kemudian, akhirnya 'beras' itu berubah jadi nasi yang siap makan. Keroncongan kami terselamatkan.

• • •

Usai makan, bersih-bersih, mandi, berbenah, dan bersiap, sekitar pukul 13.00, kami berangkat. Kali ini tak banyak yang akan kami kunjungi, hanya satu tempat, namun jaraknya cukup jauh. Katanya bisa memakan waktu hampir 2 jam. Kami perkirakan akan sampai di sana sekitar pukul 3 sore. Cukuplah untuk bersantai.

Tapi, lagi-lagi segalanya tak berjalan sesuai rencana. Di perjalanan kali ini aku berulang kali tersadarkan, bahwa memang, manusia hanya bisa berencana, sisanya Tuhan yang akan ambil andil. Dia yang pegang kemudi.

Kami terhambat. Jalanan macet. Tumben sekali. Setelah kami cari tahu, ternyata sedang ada perayaan Hari Ketupat. Jalan yang hanya satu-satunya itu membuat kami harus menunggu, merayap pelan di antara bising lagu-lagu keras, dan puluhan manusia yang berseliweran. Ada yang dengan sigap menyediakan berton-ton makanan, ada yang berdiri di pojokan sambil lahap makan ketupat, ada pula yang sibuk bernyanyi-nyanyi di panggung kecil sudut jalan. Semuanya bersahutan, bising dan gaduh.

Kami sadar tak boleh mengeluh. Apa boleh dinyana? Kami harus menunggu.

"Brenti dulu makan ketupat, masih mo lama itu macet," (Berhenti makan ketupat dulu, jalan masih akan terus macet) ujar salah seorang pria paruh baya pada kami, sedikit berteriak dari depan rumahnya. Kami hanya mengangguk-angguk tidak jelas dan tersenyum. Memang tak ada niat untuk turun dan bergabung.

Namun, meski pelan, mobil kami mulai berjalan keluar dari kegaduhan itu. Perlahan namun pasti. Dan, setelah mencomot sedikit kue kacang dari seorang perempuan cantik yang menyuguhkan stoples kue tepat ke jendela mobil kami, akhirnya kami berhasil keluar dari kegaduhan itu. Hampir pukul 16.00, mobil kami kembali berlenggang sempurna di jalanan.

• • •

Perjalanan selanjutnya menyenangkan sekaligus mendebarkan. Menyenangkan karena indah sekali pemandangan yang bisa kami saksikan. Mendebarkan karena keindahan itu harus kami saksikan dari jalan tinggi penuh liku dengan jurang amat dalam di kiri kanannya. Udara pun semakin dingin. Gafur di kursi belakang terus mengeluh, meminta kaca mobil sedikit dirapatkan.

Perjalanan cukup jauh membuat beberapa kawan tertidur pulas, terutama Nisa. Aku sendiri tak bisa tidur, sedang merindu, tapi aku sendiri pun tak tahu pada siapa.

Setelah hampir 2 jam, kami akhirnya memasuki jalanan lebar tanpa jurang di sisi kiri kanan, berganti dengan rumah-rumah warga. Gafur yang sedari tadi kedinginan, merasa harus 'membuang' sesuatu. Kami pun berhenti sejenak, lalu membiarkan Gafur pergi ke rumah warga untuk meminta 'pertolongan', haha.

Naasnya, ternyata kami apes lagi. Setelah 'membuang', dari para warga Gafur dapat informasi bahwa kami sudah salah jalan. Tepatnya, keterusan. Untuk sampai ke tujuan kami, seharusnya kami sudah belok kiri sejak beberapa kilo yang lalu. Ah.. Terpaksa putar balik.

Singkat cerita, setelah putar balik, lalu berhasil sampai di Pantai Molobog, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur karena diantar oleh salah seorang pemuda tanggung, kami pun dicarikan perahu untuk menuju tempat yang ingin kami datangi. Baru saya tahu ternyata itu sebuah pulau, bukan tepat di bibir pantai. Tak lama kemudian, kami pun melesat di atas ombak menuju 2 destinasi yang saling berdekatan, Tanjung Silar dan Pantai Abadi.

• • •

Pantai Abadi, tempat pertama yang kami tuju. Langit sudah merah di ufuk barat kala itu. Namun, pantai yang terletak di Kecamatan Nuangan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara itu tidak kehilangan magisnya.

Saat kami tiba di bibir pantai, kami sudah dibuat kagum luar biasa. Semua kawan-kawan bahkan langsung berteriak histeris, ingin mandi di pelukan air yang begitu biru. Aku pun demikian.

Turun dari perahu, hamparan pasir putih bak susu menyambut jari-jari kaki. Begitu lembut, jika tidak kutahan, barangkali aku sudah tidur beralaskan pasir yang tak pernah kutemukan di tempat lain itu.

Seperti biasa, tanpa aba-aba semua mulai berpencar. Nisa dengan Gafur si fotografer, Lani sibuk jepret sana-sini, Fadlul dan Debi, Fais yang entah mau minta difotokan siapa, dan aku pun yang sibuk menghirup udara pantai itu sambil menutup mata.

Pantai Abadi ini seakan milik kami sendiri, karena tak ada satupun pengunjung selain kami saat itu -kemewahan yang kami dapatkan karena datang di weekday dan di waktu yang sudah teramat larut. Namun karena itu juga, kami harus berburu waktu. Tak boleh terlalu lama, apalagi ini baru tempat pertama. Tanjung Silar masih menunggu.

Melihat kawan-kawan lain asyik berfoto ria tepat di depan bibir pantai, aku berinisiatif mencari tempat foto lain dengan mengajak Gafur yang sudah selesaikan tugasnya dengan Nisa. Kami berlari-lari kecil menuju tebing tinggi di ujung pulau. Namun ku tengok ke belakang, kawan-kawan lain pun mulai menyusul.

Setelah menikmati sebentar, jepret sana-sini yang terkesan sangat buru-buru, kami pun kembali menuju perahu, berangkat ke tempat selanjutnya, meski hati masih terpaut erat di tempat indah itu. Ah.. Keburu-buruan merenggut segalanya.

• • •

Hanya sekitar 10 menit, kami pun sampai di destinasi selanjutnya. Ketika sampai di bibir pantai untuk ke Tanjung Silar, hari mulai temaram. Langit kelabu, menandakan tak lama lagi hujan akan mengguyur. Tapi, semua itu tak melayukan semangat kami untuk menuju Tanjung Silar yang amat tersohor itu.

Ketika akan turun dari perahu, seorang kawan meneriakkan sesuatu sambil menunjuk-nunjuk ke arah lautan lepas. Aku yang berada di geladak paling depan lantas menoleh, dan.. Sebuah mahakarya Tuhan kusaksikan lagi.

Di ujung sana, di lautan lepas yang bias dengan warna jingga langit sore hari, ada segerombolan ikan -ku tak tahu apa namanya, yang sedang melompat-lompat, sambung-menyambung menuju peraduan. Mereka bagai terbang. Itu fenomena ikan terbang yang kerap kusaksikan di film-film. Dan itu kutemukan di sini!

Hanya sekejap menyaksikan, para ikan itu sudah jauh menuju peraduan mereka yang entah di mana. Kekagetanku harus kuhentikan. Di ujung geladak perahu, bapak 'supir' sudah menunggu, aku turun dibantu olehnya.

• • •

Langit kelabu dan kian temaram. Waktu menunjukkan hampir pukul 18.00, kami harus berburu waktu jika mau berfoto bebas di Tanjung Silar.

Kawan-kawan lain sudah duluan. Tapi kulihat Nisa tidak menyusul. Setelah kutanyakan, ternyata dia memilih untuk tidak ikut ke Tanjung Silar, dan memutuskan duduk di depan bibir pantai sambil membuat time-lapse jingga sore itu. Kakinya yang memang sudah sakit karena terpeleset sejak beberapa hari lalu membuat Ia tak terlalu leluasa bergerak dan berlarian.

Kutinggalkan dia, dan berlari menyusul kawan-kawan lain.

Jalan menuju Tanjung Silar sudah sangat baik. Kami melewati tangga-tangga beton besar, lalu jalan setapak kecil yang amat terawat. Hanya sekitar 5 menit dari bibir pantai, kami sudah sampai di lokasi tanjung yang sekilas terlihat berbentuk huruf U itu.

Karena hari kian gelap, kami tak bisa menikmati apa-apa, selain foto-foto yang juga amat terburu-buru. Bergantian, Fadlul, Debi, Lani, Fais, dan Aku difotokan Gafur. Hanya sekali dua kali jepret. Buru-buru sekali. Aku benci hal itu, tapi mau bagaimana lagi? Kami yang terlambat datang.

Meski begitu, kucoba sebisa mungkin untuk menciptakan sebuah kenangan sendiri di tanjung itu. Setelah jepret 3 kali, aku turun ke bibir tanjung. Busa ombaknya yang lembut dan airnya yang hijau muda membelai kakiku mesra. Andaikan kami bisa tinggal lebih lama, tempat ini akan jadi begitu sempurna. Setidaknya, kami bisa menikmatinya dengan mata kepala sendiri lebih lama.

Saat itu juga, saat temaram dan jingga bersatu di langit, saat sepoi angin membelai jilbab hitamku, aku berikrar dalam hati untuk kembali lagi ke tempat itu. Sebuah tempat indah tiada tara, yang ternyata selama ini hanya tersembunyi begitu dekat dengan tempatku tumbuh besar.

Aku akan kembali, mungkin dengan kawan-kawan ini lagi, mungkin dengan para pencipta kenanganku yang lain.

• • •

Ketika sayup azan magrib terdengar, kami sudah di atas perahu lagi, menuju peraduan. Layaknya ikan-ikan tadi yang kembali dengan membawa banyak bekal, kami kembali setelah temukan banyak pelajaran, dan menciptakan ribu kenangan baru.


Bersambung..

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6