Patahkan Mitos Tanjakan Cinta, Hingga Lalui Bukit Penyesalan Versi Semeru | Semeru #3



"Untuk mendaki bersama-sama bukanlah energi yang sangat kita perlukan, melainkan sinergi." -FiersaBesari

Baca juga kisah kedua kami : Perjalanan Panjang Menuju Syurga | Semeru #2


15 Juli 2019

Pagi di Ranu Kumbolo adalah syurga yang indah tak terkira.

Setelah semalaman bergemul dengan dingin yang diperkirakan hingga minus 10 derajat, paginya aku bangun dengan perasaan deg-degan membuncah dalam dada.

"Aku akan menyaksikan Ranu Kumbolo pagi hari!" pekikku girang dalam hati.

Kubuka sleeping bag, kaus tangan, dan kuperbaiki rupaku. Aku ingin melihat Ranu Kumbolo dengan keadaan sempurna.

Perlahan kubuka tenda, lalu.... Sebuah mahakarya Tuhan yang begitu indah terpampang jelas di depan mataku. Begitu jelas membentang, hingga ku lupa berkutik. Tubuh gemetar ku biarkan, aku benar-benar terpana.

Di depan sana, seluas mata memandang, Ranu Kumbolo mengalir tenang dan damai. Begitu damai hingga menciptakan kesyahduan yang teramat. Di sekelilingnya pohon-pohon tinggi berbagai rupa menjadi pendamping. Lalu tepat di belakangnya, dua bukit gagah mengapit, seakan ingin memeluk dan menjaga danau indah itu. Sebuah lukisan alam yang amat indah. Ranu Kumbolo memang syurga.

Saya lama tak berkutik. Diam, tegak, menyaksikan syurga itu..

• • •

'Perumahan Ranu Kumbolo' mulai menggelinjang. Haha, saking ramainya Ranu Kumbolo dengan tenda-tenda dan banyak pendaki, sejak semalam kuputuskan untuk menyebutnya Perumahan Ranu Kumbolo saja. Lumayan menambah list pembahasan dalam tulisan ini.

Memang, ini layaknya perumahan. Ketika kami tiba malam sebelumnya, kami bahkan hampir tak dapat tempat untuk membangun tenda. Semua sisi sudah terisi, bersaf-saf rapih dari ujung ke ujung, dari depan ke belakang, hingga akhirnya tak ada pilihan banyak selain membangun tenda tepat di dekat sebuah kios, di saf ke 3 dari depan.

Maka sekali lagi kukatakan, pagi itu, kala sinar matahari terik mulai membasuh, Perumahan Ranu Kumbolo mulai menggelinjang. Ada pendaki yang mulai berfoto-foto ria di depan Ranu Kumbolo, ada yang sibuk memasak, ada pula yang sibuk packing -mungkin akan segera melanjutkan perjalanan ke Kalimati.

Tapi, kami punya agenda lain yang lebih spesial. Hari ini tanggal 15 Juli, bertepatan dengan hari ulang tahun kawan kami, Muqfy.

Setelah bersih-bersih sebentar, aku dan Majid berkumpul tak jauh dari toilet dan membicarakan rencana kami untuk buat kejutan. Kami -terutama aku, cukup merasa berdosa sudah mengajak kawan satu itu ke Semeru bertepatan dengan ulang tahunnya. Padahal jika tidak berangkat, dia bisa merayakan hari spesialnya ini dengan orang-orang terkasih. Setidaknya, aku berharap kejutan kecil dari kami bisa sedikitnya membuat ia bahagia dan bersuka cita di hari istimewa miliknya.

Setelah berbincang lama, kami membuat keputusan-keputusan. Majid yang akan memegang gawai dan lilin -yang sebenarnya hanya sebuah macis yang dinyalakan agar bisa ditiup, dan aku memegang kue ulang tahun -yang sebenarnya juga hanya sebongkah camilan Good Time. Sama sekali bukan kue ulang tahun pada umumnya.

Dengan sangat tenang, kami menghampiri kawan satu itu yang sedang berdiri di depan Ranu Kumbolo. Aku yang kurang mahir memberi kejutan-kejutan pada kawan seperti itu, speechless tak terkira. Akhirnya Majid yang duluan mengungkapkan selamat ulang tahun, lalu aku. Ah.. Sungguh keadaan saat itu garing sekali. Hanya tawa yang membuat segalanya lebih mencair.

Kala itu aku dan Majid sempat bertutur,  "Beruntung sekali kamu, Muqfy, berulang tahun di tempat seindah ini. Semoga hidupmu juga senantiasa dihiasi keindahan."

Dan kala matahari semakin naik, kulihat Muqfy tersenyum syahdu menatap Ranu Kumbolo dengan 'kue ulang tahun' di tangannya. Ku berharap dia bahagia dengan kejutan kecil kami. Setidaknya, meski sedikit, kawan satu itu tetap berbahagia di hari ulang tahunnya..

• • •

Pagi itu kami tidak serta-merta bergegas. Kami lebih memilih menikmati Ranu Kumbolo lebih lama.

Memang bisa kubilang, pendakian kali ini adalah pendakian ter-santai seumur aku mendaki. Dan memang itu yang kuharapkan. Tak mau seperti Rinjani yang buru-buru, aku ingin benar-benar menikmati Semeru dengan tenang, sepuas-puasnya.

Kami pun mengelilingi Ranu Kumbolo. Muqfy yang sebelumnya sudah pernah ke Semeru, jadi guide dadakan kami. Tahu aku suka dengan yang berbau sejarah dan sejenisnya, Ia bawa kami ke arah tempat yang banyak plakat In Memoriam. Ada beberapa plakat yang kuabadikan.

Jika bisa dijelaskan, memang sejauh ini banyak sekali pendaki yang meninggal di Semeru. Entah meninggal karena dingin sampai hipotermia, tenggelam di Ranu Kumbolo (itu kenapa kini ada larangan keras untuk mandi di Ranu Kumbolo, bahkan mencelupkan ujung jari saja tidak bisa), tersesat karena salah jalan, hingga meninggal karena hilang secara misterius dan tidak pernah ditemukan lagi.

Hanya saja, tidak semua yang meninggal ada plakat In Memoriamnya. Hanya segelintir orang saja, tergantung pihak keluarga, komunitas, atau kawan-kawannya, apakah mau membuatkannya plakat di Semeru atau tidak.

Selain plakat In Memoriam, kami juga melihat beberapa sesajian.

Jika pernah dengar sebelumnya, sebutan lain Gunung Semeru adalah Gunung Abadi Para Dewa, sesajian seperti itu jadi petunjuk konkrit keberadaan mereka. Kita bisa menemukannya hampir di tiap sudut, terlebih di lokasi-lokasi yang ditandai dengan kain putih.

Kalau kita melihat sekeliling Ranu Kumbolo, ada banyak sekali pohon-pohon besar yang juga diikat dengan kain putih besar, dan di bawahnya ada tumpukan sesajian. Ketika briefing, pihak balai mengatakan tempat-tempat itu terlarang. Boleh mengunjungi tapi jangan sampai membangun tenda dekat dengan tempat-tempat itu, atau melakukan hal-hal aneh di sana. Menurut mereka, itu tempat suci. Kudengar dari salah seorang porter, Gunung Semeru memang seperti kiblat bagi orang Hindu di Indonesia. Semeru adalah tempat ibadah mereka.

Lama berkeliling, kami memutuskan kembali ke tenda. Aku mulai ribet sendiri dengan diriku. Percaya atau tidak, hari itu aku datang bulan hari pertama. Gila sekali, padahal jika kulihat tanggal, itu belum saatnya. Akhirnya, aku pakai pembalut termahal seumur hidupku. Bayangkan! Beli pembalut di Ranu Kumbolo, kecil, isi 5, harganya 20 ribuu. Mahal sekali! Memang, aku rada uring-uringan sejak malam sebelumnya ketika tahu aku sudah datang bulan. Kupikir, ini akan jadi cobaan lainnya dalam pendakian ini.

Karena aku malas dan rada uring-uringan, hanya Muqfy dan Majid yang memasak pagi itu. Sementara aku lebih memilih mengambil air di Ranu Kumbolo, sekalian kembali jalan-jalan.

Dan memang, aku beruntung. Karena aku yang mengambil air, aku bisa sekalian minum air langsung dari tempat indah itu. Ah.. Itu air paling segar seumur hidupku. Ditambah pemandangan yang kian indah, uring-uringanku perlahan berkurang.

Lama menikmati Ranu Kumbolo sendirian, aku pun bergegas kembali ke tenda. Tak lama menunggu makanan matang, aku dan dua kawanku itu lalu lahap menyantap makanan mewah pagi itu, di depan Ranu Kumbolo. Pagi yang indah..

• • •

Lepas makan, pukul 09.42 kami bergegas packing. Kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Kalimati.

Kulihat beberapa tim pendaki juga sedang beres-beres dan melepas tenda, bahkan ada yang sudah mulai berjalan ke arah Tanjakan Cinta. Kupikir kami yang paling selow di antara yang lain.

Pukul 11.53, kami baru mulai berjalan, setelah packingan dibongkar 2 kali, meninggalkan Ranu Kumbolo dalam ketinggi 2.400 mdpl.

• • •

Perjalanan ke Kalimati diwarnai dengan tawa baru, dan kawan baru. Tenaga kami sudah terisi full di Ranu Kumbolo, karenanya tak ada lagi keluh yang kemarin. Sementara soal kawan baru, tadi saat tengah membongkar packingan untuk kedua kalinya, Majid dan Muqfy sempat ngobrol dengan dua orang pendaki yang nampak sedang memasak di salah satu sudut bangunan. Karena sibuk ngobrol sambil packing, kutinggalkan saja mereka, dan melangkah ke depan Ranu Kumbolo.

Tau-tau saat aku kembali, Muqfy bilang salah satu dari dua pendaki itu akan ikut tim kami ke Kalimati, sementara yang satunya lagi akan tinggal di Ranu Kumbolo dengan alasan tidak kuat untuk terus berjalan. Aku sih iya-iya saja. Justru lebih enak dapat tambahan kawan. Bosan juga hanya bertatapan terus dengan Majid dan Muqfy sepanjang hari, haha.

Kami lalu berkenalan. Laki-laki itu bernama Angga, asal Surabaya. Menilik fisiknya yang rada gempal, tinggi, dengan kulit kecoklatan, kami putuskan untuk memanggilnya Mas Angga.

Perjalanan kami diawali dengan tanjakan yang tersohor dengan nama Tanjakan Cinta itu. Mungkin memang sejak film 5 CM tersebar luas, tanjakan ini jadi terkenal sekali plus bumbu-bumbu mitosnya yang katanya jika sepanjang naik di tanjakan itu sambil memikirkan orang yang disayang dan sama sekali tidak menoleh ke belakang, maka hubungan akan awet atau orang yang kita pikirkan akan jadi jodoh kita. Haha, ada-ada saja. Tapi biarlah, memang tiap orang punya pemahaman yang beda-beda tentang mitos satu itu. Ada yang percaya, ada yang tidak. Aku pribadi masuk dalam golongan yang tidak ingin percaya. Bagaimana tidak? Tahukan kalian indah sekali nampak Ranu Kumbolo jika menoleh dari Tanjakan Cinta? Aku tidak mau melewatkan kesempatan itu, haha.

Pukul 12.12, kami berhasil melewati Tanjakan Cinta dengan rekor paling banyak menoleh ke belakang -mungkin. Bahkan sekali waktu Majid sempat berdiam diri lama dan mengagumi Ranu Kumbolo dari atas tanjakan itu. Muqfy apalagi. Beberapa kali dia justru berjalan mundur, haha. Kami bertiga benar-benar mematahkan mitos-mitos itu. Mas Angga hanya tertawa-tawa menyaksikan polah tingkah kami. Padahal di seberang kami ada beberapa orang yang mati-matian menjaga diri untuk tidak menoleh ke belakang.

Kami lalu memasuki jalan yang enak sekali memasuki kawasan Oro-Oro Ombo. Setelah beristirahat sebentar tepat di atas sebuah bukit menuju Oro-Oro Ombo, kami pun mulai berjalan. Tapi kala itu kami lebih memilih jalur ke kiri yang menurut Muqfy lebih enak karena tidak ada turunan terjal melainkan landai yang panjang hingga bawah, jadi kami tidak masuk ke tengah sabana luas Oro-Oro Ombo yang juga amat tersohor itu. Memang, jika ingin lewat situ, kami harus melalui jalur menurun yang amat terjal dulu. Dalam hati kupatrikan ketika balik nanti kami harus lewat jalur tengah Oro-Oro Ombo.

Langkah kami cepat dan tegas. Jalur panjang tanpa turunan terjal membuat langkah kami bebas. Di kiri kami ada bukit tinggi, di kanan kami menyaksikan hamparan Oro-Oro Ombo yang didominasi tumbuhan Verbena (yang biasa mereka sebut lavender itu) yang mengering. Tidak ada warna keunguan seperti yang pernah kita saksikan di film 5CM, yang ada hanya coklat kering sejauh mata memandang.

Tak sampai 20 menit, kami sudah tiba di Cemoro Kandang yang luas. Lagi-lagi, kami istirahat dan menikmati semangka, kali ini di ketinggian 2.500 mdpl. Ah.. Hanya bertambah 100 mdpl dari Ranu Kumbolo. Perjalanan masih panjang sekali.

• • •

Pukul 12.58, saat mentari makin terik bersinar, kami mulai melangkah perlahan, kali ini tidak ke arah sabana luas, tapi memasuki hutan terbuka yang kering. Pohon-pohon tinggi menjulang, ditemani berbagai macam rumput liar dan ilalang di bawahnya. Begitu kontras.

Awal perjalanan, jalur sama sekali tidak sulit. Hanya jalan setapak landai yang panjang, meski sesekali harus sedikit naik. Tapi langkah kami di perjalanan kala itu kerap terhenti. Bukan karena aku yang lambat, tapi Mas Angga. Lima tujuh kali melangkah, Ia memerlukan untuk berhenti, duduk, dan menyelonjorkan kaki. Begitu seterusnya. Aku sih bahagia-bahagia saja, berarti aku sudah ada kawan yang sama-sama lambat, dan lambatnya Mas Angga bisa jadi kesempatan emas bagiku untuk ikut banyak istirahat, haha. Tapi entah bagaimana bagi Majid dan Muqfy.

Majid yang kali itu jadi sweeper paling belakang, tiba-tiba menjadi sangat lambat berjalan. Muqfy yang jadi leader mulai telaten mengatur waktu istirahat. Jika Mas Angga sudah terlalu lama duduk, dia akan pelan berkata, "Yuk, Mas, jalan lagi. Kalau terlalu lama duduk malah jadi malas."

Begitu seterusnya perjalanan kami. Aku hanya manut-manut saja, dan sesekali menyemangati Mas Angga. Aku paham benar bagaimana rasanya sulit dan lambat mendaki itu. Terlebih bagi Mas Angga yang bertubuh gempal, barangkali pendakian terasa lebih menyiksa baginya.

Kami berjalan terus, lalu makin lama jalur makin menukik miring. Kami bahkan sempat berpikir jalur itu seperti Bukit Penyesalan di Gunung Rinjani. Menanjak dan berdebu tebal. Mas Angga semakin sering berhenti, hanya tiga lima langkah, berhenti, begitu seterusnya. Aku pun begitu, meski tidak selambat dirinya. Kala itu, gundukan tanah, batu besar, atau akar-akar kuat jadi tempat favorit. Tiap melihatnya, aku bahagia bukan kepalang lantas menghempaskan pantat di atasnya.

Sejauh ini kami begitu bersinergi, berhenti saat yang satu berhenti. Kami senantiasa mensejajarkan langkah. Namun saat sedang istirahat untuk kesekian kalinya di atas gundukan tanah di jalur yang miring, Mas Angga yang duduk tak jauh dari Majid mengungkap keengganannya.

"Mas sama Mbaknya pakai tenda apa?" tanyanya kala itu.

"Consina abu-abu biru, Mas. Kenapa?" jawab Majid lantas balik bertanya.

"Mas, Mbak, jalan duluan saja. Saya lambat begini, nanti ketemu di Kalimati saja kita. Nanti saya samperin tendanya," ucapnya.

Kami lantas berpandangan dan menyahut hampir berbarengan.

"Ah jangan, Mas, gapapa. Aku juga lambat kok, Mas. Santai aja kali, hehe," ujarku lalu tertawa.

"Gapapa, Mbak, aku mau nyantai-nyantai begini dulu. Nanti ketemu di Kalimati kok. Hehe," Ia bersikukuh.

Dan setelah tarik ulur yang cukup alot, akhirnya kami menyerah dan mulai mendaki lagi tanpa Mas Angga. Ah.. Ia terlalu sungkan.

Perjalanan selanjutnya tak banyak yanh berubah. Kini aku yang lambat dan memperlambat kawan-kawan lain. Jalur masih saja menukik tajam dan berdebu. Di suatu kesempatan aku meminta kawan-kawanku itu untuk jalan lebih dulu dan membiarkanku di belakang, suatu ketika juga aku yang lebih dulu dan mereka yang di belakang. Aku memang merasa lebih semangat dan cepat jika sendiri.

Aku pun kerap berpapasan dengan pendaki lain yang sedang turun maupun naik, seperti biasa, sapaan khas terus terhatur.

Jauh berjalan, akhirnya aku tiba di sebuah tempat luas yang teduh dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Majid dan Muqfy masih di belakang.

"Mas, Jambangan masih jauh, tha?" tanyaku pada seorang porter yang kupapasi.

"Enggak, Mbak. Tinggal turun sedikit, lalu naik sebentar, sampai deh. Itu tanjakan terakhir," jawabnya sambil menunjuk sebuah tanjakan tak jauh di depan kami.

Aku pun menghaturkan terima masih dan bergegas menuju tanjakan yang ditunjuk. "Siapa tahu aku bisa lebih dulu sampai Jambangan dari Muqfy dan Majid," pikirku.

Namun nyeseknya, jalur sebelum tanjakan itu indah sekali. Aku tak tega membiarkannya begitu saja dan memilih untuk berjalan pelan menikmatinya. Alang-alang setinggi diriku membatasi kiri kanan jalan, ditemani puluhan pohon-pohon tinggi ramping yang membuat segalanya semakin teduh. Kutengok ke belakang, Majid dan Muqfy sudah nampak. Ah.. Pupus sudah rencanaku sampai Jambangan lebih dulu dari mereka.

10 menit berkutat dengan tanjakan terakhir itu, bertemu dengan jalur landai, sekitar pukul 15.07 kami tiba di Jambangan, ketinggian 2.600 mdpl.

Hanya istirahat 10 menit lagi, kami lalu kembali berjalan. Menurut Muqfy, jalur ke Kalimati sangat mudah. Hanya turunan dan landai terus. Dan benar saja, langkah kami lebar dan cepat menuju Kalimati, jalurnya memang mudah sekali. Aku enteng berlenggang paling belakang. Hanya sesekali berhenti karena beban berat, lalu kembali berjalan.

Kami sempat berhenti sebentar tepat di jalur yang bisa bebas melihat Puncak Mahameru. Kala itu Majid sempat bertanya ke Muqfy.

"Fi, itu kah jalurnya yang akan kita lewati pas summit nanti?" tanya Majid sambil menunjuk sebuah jalur menuju puncak yang nampak sangat lurus dan menukik tajam. Aku saja melongo saat melihat jalur itu.

"Iyaa yang itu, Bang," jawab Muqfy. Pertanyaan itu lalu diulang beberapa kali oleh Majid, seakan tidak percaya kami akan melewati jalur yang sedemikian gila itu nanti.

"Kacussssss, gila uy. Lurus banget itu jalurnya. Boleh tha aku langsung sampe puncak aja tanpa lewat jalur itu, Fi? Gilaaa, gilaa," celoteh Majid sambil tertawa dan menepuk-nepuk jidatnya.

Aku hanya tertawa mendengar itu, haha. Memang, jika dilihat dari situ, jalur itu gila sekali. Aku sempat tak yakin akan mampu nanti.

Setelah melongo lama-lama menyaksikan jalur itu, kami pun kembali berjalan. Tak lama, pukul 15.46, kami sudah tiba di Kalimati, pos terakhir sebelum summit, dan 1 dari 2 lokasi yang diizinkan untuk membangun tenda.

Terik matahari menerpa wajah kami di tengah sabana luas Kalimati. Di depan sana puluhan tenda warna-warni membanjir. Kami akan bermalam di sini.

Puncak menunggu..



Bersambung..

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6