Jalan-Jalan ke Bekasi, dan Menemukan Orang-Orang Baik | #Journey2021-11

 


Baca cerita sebelumnya: Menemukan Hal-Hal Baru di Ibu Kota | #Journey2021-10


Semakin dekat dengan tanggal keberangkatan ke Bandung, aku semakin banyak hanya berdiam diri di indekos milik Icha. Lagi-lagi, memasak, membaca, dan menulis adalah pekerjaanku tiap hari. Aku menulis apa saja yang terlintas di kepala, dan membaca setiap buku yang sempat kubawa jauh dari Gorontalo.

Baru pada tanggal 10 Februari -2 hari sebelum keberangkatan ke Bandung, aku memutuskan untuk mengunjungi keluargaku yang ada di Bekasi. Karena sedang di Jawa, main-main ke sana adalah sebuah keharusan, meskipun hanya sehari.

Sekitar pukul 4 sore, aku berjalan kaki dari indekos ke Halte Indosiar. Ya, indekosnya Icha sangat dekat dengan stasiun tv yang terkenal dengan liga dangdut dan film-filmnya yang penuh drama itu. Kurang lebih 10 menit, aku sudah tiba di halte, masih berbekal kartu flazz milik Icha.

Tiba-tiba, saat aku akan menempelkan kartuku di pintu elektronik untuk masuk ke ruang tunggu busway, seorang laki-laki paruh baya menegurku dari belakang dan menyerahkan uang lima ribuan, “Tolong tempelkan kartu buat saya.” Otakku berpikir cepat. Tempelkan kartu, tempelkan kartu …

Ah, ya! Dia tidak punya kartu flazz, dan memintaku untuk membantunya menempelkan kartu di pintu elektronik agar dia bisa masuk. Sebagai gantinya, dia memberiku uang lima ribuan. Padahal uang yang akan ditarik dari kartu flazz sekali kita melewati pintu elektronik itu hanya tiga ribu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung menempelkan kartu flazz untuknya. Ia berterima kasih dan langsung berlenggang pergi.

Namun, apes! Usai memberi pertolongan pada laki-laki paruh baya tadi, aku juga langsung menempelkan kartu flazz lagi untuk diriku sendiri. Sayang sekali, berkali-kali aku tempelkan kartu sakti itu, pintu elektronik tidak terbuka juga. Tak lama, seorang petugas datang menghampiriku, membantu. Tetap tidak bisa juga. Dia pun menyarankanku untuk mengecek saldo kartu flazz yang kupegang, takutnya memang saldonya sudah habis. Aku bergegas ke mesin isi ulang uang elektronik yang tidak jauh dari pintu tadi.

Agak lemot aku mengoperasikan mesin itu, berusaha tidak terlihat kampungan sekali. Maklum, itu pertama kalinya aku mengoperasikan mesin semacam itu. Kulirik beberapa orang di sampingku yang juga sedang mengoperasikan mesin, lalu kuikuti cara mereka diam-diam. Dan, ya. Ternyata saldo memang sudah habis. Tersisa Rp2000, tidak cukup untuk sekali masuk. Aku pun langsung mengisi saldo pakai OVO, lalu kemudian berlenggang masuk ke ruang tunggu. Tidak lama, bus yang kutunggu-tunggu datang juga.

Perjalanan dari tempatku tadi ke Bekasi naik busway, terhitung panjang sekali. Aku harus beberapa kali turun dan ganti bus sesuai jalurnya, untuk sampai di tujuan akhir. Itu pun tidak langsung sampai di Bekasi, aku hanya turun di Halte Pinang Ranti, baru di situ dijemput oleh saudaraku.

Saking panjang jalurnya, aku sampai sempat keterusan dua halte. Aku sudah sampai di Halte PGC 1, padahal harusnya aku turun di Halte Cawang Uki -dua halte sebelumnya, untuk kemudian berganti bus lagi menuju Pinang Ranti. Saat tiba di PGC 1 waktu itu aku kebingungan karena semua orang turun, tersisa aku di dalam bus. Untung ada seorang perempuan yang menegurku dan bilang kalau itu halte pemberhentian terakhir untuk jalur bus yang itu. Terpaksa, aku harus mencari bus dengan arah berlawanan lagi untuk menuju Cawang Uki.

Tiba di Cawang Uki, aku langsung berdiri di jalur tunggu untuk bus ke Pinang Ranti. Baru 15 menit kemudian bus datang dan aku pun langsung menghambur ke dalamnya. Kali ini, perjalanan tidak terlalu lama. Hanya melewati satu halte, yakni Halte Taman Mini Garuda, dan akhirnya aku tiba di Pinang Ranti.

...

Hampir Magrib, aku sudah di atas motor bersama Kak Ian, menuju Bekasi. Sudah lama tidak bertemu Kak Ian, sepupuku, rasanya agak canggung. Beberapa kali aku berusaha membangun obrolan, tapi langsung habis begitu saja. Pada akhirnya, aku memilih untuk lebih menikmati suasana Kota Bekasi yang sudah lama tidak kusambangi itu.

Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di rumah. Sebuah rumah besar yang terletak di sudut sebuah gang sempit Kampung Sawah.

Seperti kedatangan pada umumnya, aku disambut dengan senyum dan suka cita oleh keluarga di sana. Bertanya kabar, bagaimana perjalanan selama ini, ujung-ujungnya menyuruhku makan dan istirahat. Aku manut, masuk ke kamar milik Kak Clara -kamar yang selalu menampungku setiap kali ke sana, lalu mendekam di sana sepanjang malam.

Aku tidak tahu harus melakukan apa di situ, dan akhirnya memutuskan untuk bermain-main dengan Aiq saja -sepupu kecilku. Untuk sekelas anak kecil yang tumbuh dekat dengan Ibu Kota, Aiq pintar sekali. Bahkan sesekali Ia melantunkan bahasa Inggris ke arahku.

Sialan! Aku lupa!

Kurang lebih sekitar pukul tujuh malam, aku baru sadar: aku tidak membawa obat! Mungkin ada yang masih ingat, sebelumnya aku pernah bercerita tentang diriku yang sedang dalam pengobatan saat ini, obat tidak boleh putus, sekali putus, pengobatan harus diulang dari awal. Maka, gila sekali aku yang malam itu baru sadar kalau semua obatku kutinggal di indekosnya Icha. Apes!

Kuhubungi Icha saat itu juga, meminta bantuan sekaligus memikirkan bagaimana caranya obat itu bisa tiba di Bekasi sebelum pukul 12 malam, tidak boleh lewat.

“Oh, teman kantorku ada yang mau balik ke arah sana malam ini, Khen. Tapi dia hanya sampai Pinang Ranti. Ikhen bisa jemput obatnya di situ?” Syukur sekali. Tentu aku langsung setuju, dan segera memberi instruksi ke Icha soal di mana aku menyimpan semua obatku.

Itu sudah clear, kini saatnya memikirkan bagaimana cara agar aku bisa ke Pinang Ranti lagi. Terlalu menyibukkan jika harus meminta Kak Ian mengantar ke sana lagi, padahal tadi kami baru dari sana.

Aku lalu terpikirkan Bimas, kawan HMI-ku yang kemarin sempat menawarkan bantuan jika aku butuh apa-apa selama di Bekasi, mumpung dia juga sedang di Bekasi saat itu.

Aku pun langung menghubunginya, bertanya kesibukannya, dan mengutarakan maksudku. Bimas tidak banyak omong, dan langsung menyanggupi, padahal jarak dari tempatku ke Pinang Ranti ada sekitar 45 menit, belum dari tempatnya ke tempatku untuk menjemput. Baik sekali.

Sekitar pukul 9 malam, aku menerima pesan dari kawannya Icha kalau dia sudah di Pinang Ranti. Bimas yang sudah siap sejak tadi langsung menjemputku, dan kami langsung membelah Kota Bekasi, menuju Halte Bus Pinang Ranti di Jakarta Timur.

Tidak banyak yang terjadi sepanjang perjalanan, selain aku dan Bimas yang terlibat obrolan ke sana kemari. Memang sepanjang kegiatan LK2 HMI di Cabang Bangkalan kemarin, kami tidak punya banyak waktu untuk sekadar ngobrol santai seperti itu. Maka, momen-momen seperti ini patut diapresiasi dan diisi dengan obrolan panjang, tentunya.

Kami tiba di Pinang Ranti kurang lebih pukul 10. Kawannya Icha sudah menunggu di sana, dan langsung menyerahkan bungkusan kecil berisi obat milikku. Oh God, terima kasih. Ini penyelamatku malam ini.

Aku berterima kasih banyak-banyak, dan langsung bertolak kembali ke Bekasi. Di tengah perjalanan, aku dan Bimas memutuskan mampir dulu di salah satu tempat alpukat kocok, dan lagi-lagi terlibat obrolan panjang di sana. Bimas terhitung kawan bercerita yang menyenangkan, dan dia penyelamatku juga malam itu. 

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6