Menemukan Hal-Hal Baru di Ibu Kota | #Journey2021-10
\Baca cerita sebelumnya: Mencari Penghiburan di Bogor, Hingga Kehilangan Arah | #Journey2021-9
Sejak kembali dari Bogor, aku hanya mendekam dalam kamar indekosnya Icha. Sehari-hari kerjaanku hanya memasak, membaca, menulis, sesekali mengisi materi di beberapa kegiatan, dan beberapa kali keluar menyusuri sudut-sudut Jakarta.
Tanggal 7 Februari, aku sempat diajak oleh Icha jalan-jalan ke Astha District 8, kompleks Sudirman, Jakarta. Sebuah mal yang juga jadi rumah bagi sejumlah label ternama dunia, mulai dari busana, pusat kebugaran, hingga ragam kuliner.
Namun, sebenarnya bukan itu yang kami cari. Kami hanya tergiur datang ke sana karena melihat unggahan-unggahan sebagian besar warga tiktok yang banyak berpose di salah satu sudut Astha, berupa balkon besar terbuka dengan pemandangan gedung-gedung tinggi ala Ibu Kota. Ke sanalah kami melangkah waktu itu, dan menemukan sebuah “kota” yang sama sekali asing dan tidak cocok bagi kami secara pribadi.
Bagaimana tidak? Sejak masuk saja kami sudah bersinggungan dengan manusia-manusia hedonis dengan gaya kelas atas, yang ke sana kemari menenteng Apple iPhone 12 Pro Max; tas tangan bermerek Chanel, Prada, atau Gucci; atau yang di hidungnya bertengger kacamata bermerek Ana Hickmann dan Levi’s. Apa daya aku dan Icha yang hanya pakai pakaian seadanya tanpa merek, dan aku yang hanya bawa tas tangan pinjaman dari Icha. Astha District 8 adalah mal milik orang-orang seperti Awkarin dan kawan-kawannya.
Meskipun begitu, aku dan Icha tetap berjalan santai, berusaha percaya diri, lalu bergabung dengan manusia-manusia kelas atas tadi. Sejak masuk, tujuan kami hanya tempat viral itu. Kata Icha, “Daripada selama di Jakarta kamu tidak ke mana-mana, Khen. Mending jalan-jalan ke mal dulu, kan? Jangan ke gunung terus.” Aku manut saja. Daripada bosan juga di indekos terus.
Lalu, tanggal 9 Februari, aku kembali diajak melihat hal baru oleh Icha, walaupun pada kenyataannya aku yang memaksa-maksa dia untuk berangkat.
Jadi begini. Sejak dua hari setelah aku tiba di Jakarta, aku dan Icha sudah berencana untuk menciptakan liburan berdua di Bandung, dan akan berangkat menggunakan sepeda motor. Sayangnya, STNK sepeda motor milik Icha sudah lama mati pajak, dan jika kami ingin tetap mau motoran ke Bandung, mau tidak mau pajak STNK-nya harus diurus dulu.
“Mager sekali harus ke Polda untuk mengurus itu, tambah lagi kemarin-kemarin tidak ada teman untuk ke sana.” Ujar Icha sekali waktu. Ya, aku jawab: “Sekarang ada aku, ayok urus pajaknya.” Akhirnya hari Selasa pagi, kami langsung menuju Polda Metro Jaya. Urusan ini harus selesai agar nanti kami bisa berlenggang dengan sempurna di perjalanan menuju Bandung.
Dan ini yang selalu aku suka dari setiap perjalanan yang kulakukan. Aku selalu menemukan hal-hal baru yang menarik. Sekecil apapun itu, aku selalu bersemangat dengan sesuatu yang baru kutemukan.
Sejak perjalanan ke Polda Metro Jaya, aku sudah girang sekali. Pasalnya, Polda Metro Jaya adalah salah satu nama kepolisian daerah yang kerap sekali aku dengar di berita-berita nasional. Kasus penyerangan Novel Baswedan, kasus yang melibatkan Habib Rizieq Shihab, dan beberapa kasus besar lainnya, banyak sekali yang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Aku penasaran sekali seperti apa “tampang” kepolisian daerah ini.
Dan, ya! Tiba di sana, aku ternganga-nganga. Sebagaimana “orang kampung masuk kota”, aku kebingungan sendiri: Ini kompleks Polda, tapi layak disebut “kota kecil yang punya segalanya”. Banyak sekali gedungnya, dan di dalam seakan punya sistem lalu lintas sendiri. Haha. Aku tertawa-tawa sendiri menyadari jiwa kampungangku.
Hal yang paling seru adalah, ketika aku dan Icha mulai berjalan dari tempat parkir menuju gedung pengurusan pajak STNK, kami melewati sebuah gedung besar bertuliskan Polda Metropolitan Jakarta Raya. Sekali itu, aku masih tak acuh. Namun, ketika melihat gedung-gedung selanjutnya juga bertuliskan Polda Metropolitan Jakarta Raya, aku langsung berpikir sendiri: “Polda Metropolitan Jakarta Raya … jadinya disingkat Polda Metro Jaya? Benar seperti itu?” Aku girang dengan pemikiranku sendiri, dan bertanya ke Icha kebenarannya. “Icha juga belum pernah tahu sebelumnya.” Sahutnya malah tertawa.
Pada akhirnya, pemikiranku yang tadi terbukti benar. Polda Metro Jaya adalah singkatan dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya! Sebuah penemuan termasyhur yang pernah kutemukan sepanjang perjalanan di Jawa sejak 20 Januari kemarin. Haha. Lagi-lagi, menemukan hal baru yang tak disangka-sangka.
Dari sana, kami masih berkeliling sebentar, lalu tibalah waktu aku dan Icha harus berpisah. Dia harus bekerja: masuk siang, sementara aku ada janji dengan seorang senior organisasi, kami akan bertemu di Blok M. Icha pun mengantar aku ke halte busway terdekat, meminjamkan kartu flazz untuk membayar bus (busway di Jakarta tidak menerima pembayaran dengan uang tunai), dan kami pun berpisah. Itulah pengalaman pertama kalinya aku naik bus di Jakarta, dan itu membingungkan sekaligus menyenangkan.
Icha menurunkan aku di Halte Harmoni, yang berarti aku harus melewati sepuluh halte dulu untuk sampai di Blok M (aku pelajari ini langsung ketika masuk ke Halte Harmoni). Dari Harmoni, aku melewati Halte Petojo, Halte RS Tarakan, Halte Tomang Mandala, RS Harapan Kita, Slipi Kemanggisan, Slipi Petamburan, Senayan JCC, Gelora Bung Karno, Bundaran Senayan, hingga Halte Masjid Agung, baru tiba di Halte Blok M. Dari situ, aku jalan kaki ke arah Gramedia Blok M, untuk bertemu Kama, seniorku itu. Di semua perjalanan ini, aku hanya berandalkan informasi dari google, maps, dan tentu: bertanya ke orang-orang sekitar.
Aku tiba di warung kopi samping Gramedia Blok M, lebih dulu dari Kama. Sekitar 10 menit kemudian baru Kama muncul, dan kami langsung terlibat obrolan yang panjang sekali. Lama tidak bertemu Kama -senior yang selalu aku kagumi, makanya obrolan pun tidak henti. Mulai dari masalah organisasi, curhat-curhatan pribadi, sampai soal buku-buku sastra dan tokoh-tokohnya, semua kami obrolkan. Menyenangkan sekali bisa terlibat dalam obrolan panjang seperti itu. Aku selalu menikmatinya.
Obrolan habis, kopi milik Kama tandas, minuman cokelatku pun ludes, akhirnya kami beranjak, memutuskan untuk menyusuri tempat-tempat buku lama di lantai paling bawah Blok M. Kata Kama: “Ini Jogja-nya Jakarta, syurganya para pencinta buku. Di balik Jakarta yang penuh sesak, ada tempat-tempat seperti ini yang bisa jadi penenang bagi orang-orang seperti kita.”
Dan, itu benar. Aku menikmati sekali perjalanan itu. Penelusuran lantai paling bawah Blok M itu aku beri judul: “Kalap di Blok M”. Aku benar-benar kalap, membeli banyak sekali buku. Beberapa memang ditraktir Kama, tapi uangku yang kusimpan di dompet dan tidak seberapa juga langsung ludes, tersisa 20 ribu. Buku-buku di sana memang menggiurkan.
Aku menemukan buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang cetakan awal sekali, tahun 1980 oleh Hasta Mitra. Sejujurnya aku sudah baca buku ini, tapi yang cetakan Lentera Dipantara. Aku berhasrat mengoleksi versi lawasnya. Selain itu, aku juga menemukan buku Hikayat Siti Nurbaya dengan tampang sampul depan yang jadul sekali. Haha. Aku suka.
Aku juga membeli buku-buku lawas lain seperti buku Protes karya Putu Wijaya, juga membeli buku yang kini mulai sulit ditemukan: Teori Kesusastraan karya Rene Wellek dan Austin Warren. Ada satu lagi buku yang paling kusyukuri, aku menemukan Di Tepi Kali Bekasi karya Pramoedya Ananta Toer, yang masih dalam ejaan lama. Aku boyong semua buku-buku itu ke indekos Icha. Puas sekali.
Lepas kalap, aku berpisah dengan Kama, dan langsung menuju Jakarta Timur, naik busway lagi. Malam itu juga aku ada janji dengan kawan-kawan Alumni LK2 HMI Cabang Bangkalan kemarin. Usai kegiatan, reuni-reuni kecil seperti ini memang sudah biasa, bukan?
Naik busway dari Blok M, aku kemudian turun di Halte Kramat Jati, Jakarta Timur. Perjalanan yang harusnya pendek saja, terasa sangat panjang karena macet Ibu Kota yang tidak ketulungan. Aku harus menghabiskan waktu hampir dua jam di atas busway, dan berdiri pula. Memang katanya busway selalu penuh sesak di jam-jam pulang kerja seperti itu.
Di Halte Kramat Jati, aku dijemput langsung oleh Fikram, kawanku dari HMI Cabang Jakarta Selatan. Kami langsung menyusuri jalanan macet, meskipun sedikit gerimis. Hampir 30 menit kemudian, kami sudah tiba di sebuah warkop tertutup penuh asap vape di daerah Condet. Di situlah aku dan Fikram duduk menunggu Bimas dari HMI Cabang Ciputat, dan Ade dari HMI Cabang Karawang, sambil ngobrol santai soal macam-macam hal. Tak lama, Bimas datang, disusul Ade satu jam kemudian. Sisa malam itu kami habiskan dengan obrolan acak ke sana kemari, sembari aku yang harus mengisi materi daring di salah satu kegiatan milik kawan-kawan pegiat literasi di Gorontalo.
(Kiri ke kanan) Bimas, Ade, Fikram, aku.
Pukul 8 malam, kami bertolak kembali ke Jakarta Pusat. Tujuannya ingin ke Sekretariat Bersama HMI se-DKI Jakarta. Sayang sekali, tiba di sana kami tidak menemukan siapa pun, barangkali ada agenda sendiri di tempat lain. Kami lalu memutuskan merapat ke salah satu warkop milik senior HMI, dan menghabiskan malam di sana.
Comments
Post a Comment