Memulai Kehidupan di Jakarta | #Journey2021-8
Baca cerita sebelumnya: Sekeping Perpisahan, dan Keberangkatan (lagi) | #Journey2021-7
4 Februari 2021
Aku tiba di Jakarta saat kota itu beranjak bangun, sekitar pukul 4 dini hari.
Kehidupanku di Jakarta setelah tiba hari itu, terhitung biasa saja. Banyak masalah yang muncul membabi-buta, dan aku dituntut, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menyelesaikannya dengan cepat. Selama di Jakarta, aku ketakutan setengah mati, dan kerap berharap bisa segera lari dari sana.
Dan, ya. Aku berharap semuanya cepat berakhir, dan aku bisa menikmati hidupku lagi. Persis puisiku yang kuunggah beberapa waktu lalu. Puisi tentang kebebasan.
Namun, aku harus bertahan di sana. Selama satu pekan aku berusaha mendekam dalam ingar bingar Jakarta. Tidak melakukan banyak hal, tetapi bukan juga tidak melakukan apa-apa. Aku "berlari", sekaligus berusaha menikmati keadaan.
Hari pertama di Jakarta, bersama seorang kawan aku menuju Salemba, mampir di Asrama Mahasiswa Gorontalo, melihat Gedung Pengurus Besar PMII, dan mencari makanan yang "katanya, sih" Gorontalo banget. Rumah makan Gorontalo itu tidak jauh dari Asrama Mahasiswa Gorontalo, dan langsung berhasil membawaku mengobati rindu pada Tanah Serambi Madinah. Ikan bakar dan dabu-dabu iris, sedap sekali.
Lalu usai dari sana, aku mencoba peruntungan: menuju Taman Makam Prasasti di arah Tanah Abang. Aku ingin "bertemu" Soe Hok Gie. Kenal dia, kan? Aku penggemar beratnya sejak membaca "Soe Hok Gie Sekali Lagi", "Catatan Seorang Demonstran", dan "Zaman Peralihan". Bahkan niatku nanjak ke Gunung Semeru 2019 silam juga hanya karena ingin menapaktilasi perjalanan Gie menuju kematian di puncak tertinggi Jawa itu.
Berbekalkan maps, aku bersama kawanku motoran ke sana, meski kutahu mayatnya Gie sudah tidak di sana lagi. Itu hanya seperti monumen.
Tiba di titik yang ditunjukkan google maps, kami tidak menemukan apa-apa. Hanya dinding beton tinggi sejauh mata memandang, dan rumah-rumah kecil di gang sempit yang kami lihat. Di mana tempatnya?
Hampir 15 menit, kami sempat terputar-putar, keluar masuk gang, bertanya sana-sini, hingga akhirnya menemukan Taman Prasasti yang berdiri tepat di sudut sebuah jalan.
Apes. Taman Prasasti tutup, dan baru akan kembali dibuka tanggal 8 nanti. Ya, di Jakarta memang sedang berlangsung pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Jumlah pasien covid-19 masih tinggi. Hh ... sudah sejauh itu, dan aku gagal bertemu Gie.
Akhirnya kami putar balik. Aku minta diantar ke indekosnya Icha lagi.
"Khen sayang, besok mau temani Icha ke Cibinong? Mau melayat." Sebuah pesan masuk lewat whatsapp, itu dari Icha.
Aku langsung mengiyakan, dan pesan-pesan panjang balasan dari Icha pun masuk lagi. Malam ini juga, aku akan ke Depok dulu bersama kawan kantornya Icha yang kebetulan akan berangkat ke Depok, sementara Icha sudah menunggu di sana. Dia memang sedang di indekos temannya di Depok, semacam ada acara perpisahan karena temannya itu akan kembali ke kampungnya di Kalimantan. Dari Depok, besok paginya kami berdua akan motoran ke Cibinong. Aku mengiyakan semuanya. Tiba di indekos, aku langsung bersiap berangkat. Perjalanan baru lagi.
Setengah 9 malam, Jakarta hujan, tetapi aku tetap naik ke atas motor dan membelah Ibu Kota itu berdua dengan Kak Nisa, kawannya Icha. Kurang lebih satu jam kemudian, kami tiba di Depok.
...
5 Februari 2021
Sekitar pukul setengah 8 pagi, aku dan Icha mulai menyusuri jalanan menuju Cibinong, setelah beberapa kali bolak-balik membuka pintu kamar indekos milik kawannya Icha, karena ada barang kami yang ketinggalan. Masih pagi, tetapi jalanan mulai macet di sana-sini. Icha lihai menyalip, kami berjalan mulus tanpa kendala berarti.
Tak lama. Hanya sekitar kurang lebih 1 jam, kami sudah tiba. Selama perjalanan tadi, kami tidak banyak mampir selain untuk mengantar kunci indekos milik kawannya Icha, dan membeli kue untuk dibawa ke rumah duka.
Rumah milik saudara Icha itu berada di salah satu perumahan kelas menengah di tengah Kota Cibinong. Sejak masuk perumahan hingga tiba di depan rumah bercat cokelat muda itu, hanya rumah-rumah berukuran sedang hingga besar yang kami lewati.
Saat kami tiba di sana, rumah tampak sepi. Beberapa karangan bunga tanda berduka cita, terpampang nyata di depan rumah, tetapi tidak ada satu orang pun yang kami lihat batang hidungnya.
"Apa masih pergi mengubur?" Tanya Icha retoris.
Icha pun melongok ke dalam dari celah pagar yang cukup tinggi, dan mulai mengucapkan salam. Sekali, dua kali, tidak ada sahutan dari dalam.
"Oh, mereka ada." Ujar Icha tiba-tiba setelah hening sesaat. Aku yang sejak tadi hanya duduk di atas motor dan tidak mendengar apa-apa, hanya manggut-manggut saja.
Tak lama, seorang perempuan datang membuka pagar. Kami masuk, disambut senyuman dari pemilik rumah. Senyum yang terlihat dipaksakan. Maklum saja. Mereka sedang berduka.
Kami masuk ke dalam rumah dan langsung duduk bersila di atas karpet cokelat yang terhampar. Persis di hadapan kami, terpancang sebuah pigura berukuran sedang, yang memperlihatkan foto seorang anak kecil dengan pose manis sambil tersenyum bahagia.
"Dia yang meninggal? Masih kecil sekali. Mungkin umurnya sekitar 11--12 tahun." Pikirku.
Aku dan Icha duduk dalam diam, dan tak lama, seorang perempuan ber-abaya, muncul dari belakang. Melihat Icha, perempuan itu langsung berhambur memeluk sambil menangis. Aku kikuk, dan berdiri saja. Namun, meski aku tidak kenal keluarga ini, aku turut merasakan kedukaan yang tumpah di ruang tamu itu.
Perempuan itu melepas pelukannya pada Icha, dan beralih menatapku. Aku hanya salaman dan mencium tangannya, Icha memperkenalkanku.
Kalian tentu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Cerita-cerita panjang tentang perjuangan sembuhnya anak itu yang sudah berjuang sejak lahir, hari-hari terakhirnya, ayahnya yang begitu terpukul, dan perempuan itu, sang ibu yang menyalahkan dirinya atas kematian anaknya.
Icha menangis sepanjang cerita yang dilantunkan, begitu juga perempuan paruh baya itu. Dia tidak berhenti menangis, wajahnya sembab, matanya bengkak, hidungnya merah, sebuah prasasti kesedihan yang memilukan. Aku? Duduk terpekur, menjadi ingat mati, dan ... menangis sesekali.
Kematian memang selalu dekat.
Comments
Post a Comment