Sekeping Perpisahan, dan Keberangkatan (lagi) | #Journey2021-7
(Kiri ke kanan) Dwi, aku, Master Umam, Nanda, dan Indah. |
Baca cerita sebelumnya: Menekuri Keadaan Diri di Tengah Forum LK2 | #Journey2021-6
2 Februari 2021
Usai forum LK2 HMI, kami semua secara otomatis harus siap menemui perpisahan. Namun, rasa sedih akan perpisahan itu sudah disiasati lebih dulu dengan jalan-jalan bersama ke salah satu pantai di Bangkalan, pada hari terakhir forum kemarin. Meskipun jika bisa dibilang, jalan-jalan bersama itu lebih hanya seperti mencari capek saja.
Kami berangkat ke pantai waktu itu hampir Magrib, kelamaan menunggu mobil-mobil yang akan membawa kami ke sana. Jadinya, tiba di pantai, kami tidak bisa melihat pemandangan apapun. Hanya suara debur ombak dan angin kencang yang memberi kami keyakinan bahwa kami benar-benar sedang berada di pantai.
(Kiri ke kanan) Mbak Mumtazah, aku, Imron, Nanda, dan Indah. |
Baca cerita sebelumnya: Mulai Menikmati Forum, Hingga Jadi Kepala Suku | #Journey2021-5
Tiba di sana pun, kami semua dengan sendirinya membagi diri ke dalam kelompok-kelompok kecil. Ada kelompok anak-anak Bangkalan dengan Agung Jamet sebagai "tokoh lawak utama"; ada kelompok anak-anak pintar yang memilih duduk di pendopo sambil makan; ada kelompoknya panitia; beberapa juga membentuk kelompok dengan para master sebagai maskot utama; dan aku, masih bersama Indah dan Nanda, jalan-jalan ke sana kemari tak tentu arah, hingga akhirnya berhenti di kelompok kecil yang duduk tepat di bibir pantai sambil bernyanyi diiringi gitar. Abiyu yang memainkan gitar saat itu, dan aku duduk tepat di samping Bimas dan Ade. Tak lama, seorang master bergabung, Master Rozi, dan mengambil alih gitar dari tangan Abiyu. Kami menikmati saja, memang tidak ada kerjaan.
Bosan bernyanyi dan dipukul-pukul angin kencang dari depan, kami bubar, mencari kelompok baru yang bisa dimasuki. Kami lalu bergabung dengan Master Hafid Master Ruhin, dan Ragil. Aku langsung terlibat pembicaraan hangat dengan mereka, terutama soal perbedaan kultur HMI di Bangkalan dan Gorontalo. Ragil kerap tertawa, dan Master Hafid sering terheran-heran dengan perbedaan kultur yang begitu jauh rasanya.
(Dari kiri ke kanan) Bersama Master Ana, Mbak Mumtazah, Master Hafid, Indah, Imron, dan Nanda. |
Sementara itu, Indah, Nanda, dan Vian yang duduk di paruh kiri meja, juga membangun obrolannya sendiri. Kami tenggelam dalam obrolan masing-masing, hingga Master Maskur menyampaikan bahwa kami harus beranjak pulang.
Kami pulang dengan posisi yang hampir sama seperti datang tadi. Aku, Rafika, Indah, Nanda, Kanda Ibnu, dan Vian, duduk berdempetan di kursi belakang mobil yang terlihat seperti mikroletnya Gorontalo, bedanya ini berwarna agak sedikit lebih tua. Sementara di kursi tengah dan depan diisi oleh Lifa, Dwi, Rambang, dan kawan satunya lagi. Aku lupa. Mbak Maya dan Mbak Mumtazah yang tadinya di mobil sini, sudah pindah ke mobil sebelah.
Mobil pun berangkat. Hampir jam 10 malam, kami melaju kembali ke asrama.
...
Hampir setengah 12 malam, kami baru tiba. Dengan wajah capek nan mengantuk, kami turun satu-satu dari mobil, dan menyeret kaki menuju asrama.
Meskpun begitu, aku sibuk bertanya-tanya apa inagurasi malam ini jadi atau tidak. Pasalnya, sejak sore tadi Master Maskur kerap menggembar-gemborkan soal itu.
Namun, tidak kutemukan jawaban dari siapa pun. Semua orang juga tidak tahu. Padahal aku hanya ingin memastikan, untuk menentukan langkah apa yang harus kuambil saat itu: bersih-bersih, berganti pakaian, lalu tidur, atau tetap duduk dan menunggu. Ya, kadang-kadang aku memang seribet itu hanya untuk mengambil keputusan kecil.
Hingga hampir pukul 12, tidak ada tanda-tanda inagurasi. Kawan-kawan lain sudah tidur semua, sementara beberapa di antara kami yang masih terjebak dalam kebingungan, memilih duduk di depan asrama bersama beberapa kawan, master-master, dan panitia LK2 kemarin. Ada Master Yasin yang cool sekali, ada Master Toriqi yang juga cool, ada Mbak Id gang menyenangkan, juga kawan-kawan peserta LK2 kemarin seperti Dimas, Fikram, Mbak Mumtazah, dan banyak lagi.
Kami bernyanyi ke sana kemari diiringi petikan gitar milik Abiyu, melempar lelucon, tertawa, dan adu cerita. Sekali waktu, Master Rozi sampai berdiri di atas kursi, dan berlagak seperti birama yang memandu kami bernyanyi. Tidak sangka, ternyata dia sekonyol itu. Padahal selama screening hingga forum kemarin, dia master yang paling "buas" dan menyebalkan.
Lalu gitar beberapa kali berpindah tangan, hingga akhirnya tiba di tanganku. Sayangnya, orang-orang mulai sibuk dengan urusannya masing-masing saat aku mulai mengetik. Tinggallah aku dan Nanda yang bernyanyi atas petikanku, itu membuatku jengah dan sebal.
Malam berakhir, kami lelap.
...
Hari berganti cepat. Pagi di tanggal 1 Februari, kawan kami, Musdalifah asal Sumenep harus bertolak dari Bangkalan. Kami mengantarnya sampai ketemu bus.
Esok harinya, pagi sekali giliran Nanda asal Malang yang harus kami antar ke Tangkel, Bangkalan, untuk naik bus ke Malang. Dan terlepas dari beberapa kawan yang bisa aku sertai kepergiannya, ada lebih banyak kawan yang pergi tanpa benar-benar pamit secara langsung. Dody asal Samarinda, misalnya, atau Dwi asal Surabaya.
Sementara itu, beberapa kawan lain membentuk sebuah koalisi jalan-jalan usai LK2. Mereka adalah kawan-kawan asal Malang, Ciputat, Bengkulu, Karawang, Kediri, Bima, Bekasi, Jakarta Selatan, dan masih banyak lagi.
Semuanya pergi, tersisa aku dan Indah, kawanku asal Semarang. Indah tetap tinggal karena masih ingin menghabiskan waktu lebih lama di Bangkalan. Sementara aku, masih diminta untuk sedikit berbagi soal pengalaman LK2 kepada kawan-kawan LK1 Komisariat Teknik Universitas Trunojoyo Madura. Aku berusaha menyanggupinya -meskipun tidak percaya diri- karena itu permintaan langsung dari masterku saat LK2 kemarin.
Para HMI-wati bersama Master Maskur (tengah). |
Singkat cerita, usai mengisi sesi di LK1 Komisariat Teknik itu, aku langsung bertolak ke Surabaya, untuk naik kereta dari Stasiun Pasar Turi ke Pasar Senen, Jakarta. Apes! Tiba di stasiun dan memperlihatkan tiket beserta surat rapid, aku ditolak. Surat rapidku tidak diterima karena bukan rapid antigen, sementara itu sudah pukul 22.00. Mau buru-buru rapid dulu, takut terlambat, karena kereta berangkat pukul 22.30. Selain itu, biaya rapid antigen di situ juga ternyata cukup mahal, ada sekitar 300k.
Sebagai alternatif, aku berusaha mencari tahu keberangkatan bus ke Jakarta. Tidak ada juga. Sudah terlalu malam. Bus baru ada lagi esok harinya. Pada akhirnya, aku batal berangkat, dan kembali lagi ke Bangkalan, untuk tidur lagi di asrama kegiatan kemarin. Master-masterku selama forum kemarin memang luar biasa baik. Aku masih diizinkan tidur di sana barang satu malam.
...
Keesokan harinya, pagi betul aku pergi ke Terminal Bangkalan. Langsung kucari bus yang bisa berangkat ke Jakarta secepat mungkin. Ada! Bus super eksekutif, harganya 310k. Sudahlah, meski mahal, terpaksa kuambil juga, daripada harus beli tiket kereta plus rapid antigen yang bayarnya hampir 500k lagi. Urusan di Jakarta juga tidak boleh ditunda, ada masalah yang harus selesai.
Maka, hari itu juga, pukul 13.00 aku bertolak dari Tanah Madura ke Ibu Kota, naik Bus Karina super eksekutif, duduk di dek atas, kursi paling depan ujung kanan. Itu pertama kalinya aku naik bus bertingkat, dan langsung akan menempuh perjalanan 15 jam.
Ke Terminal Bangkalan saat itu, aku diantar Master Rozi dan Mas Rudi. Dua orang baik yang bikin aku susah untuk tidak meneteskan air mata waktu itu (semoga mereka tidak baca tulisan ini, haha).
Perjalanan selama 15 jam tidak banyak menyisakan kenangan, karena aku hanya pergi sendiri. Namun, saat lewat Jembatan Suramadu, hanya satu yang kupikirkan: "Aku harus ke sini lagi jika tidak mau menyesal."
Pukul 17.31, pemberhentian pertama untuk istirahat di Caruban, Jawa Timur. Aku makan seadanya, banyak yang kupikirkan sepanjang perjalanan ini. Tentang posisiku saat ini, apa yang baru kutemukan di Bangkalan kemarin, tentang aku yang ingin bebas lagi, dan tentang kehidupanku yang naik turun. Kepalaku riuh, mataku basah.
Di tengah-tengah itu, muncul penghiburan sekaligus pemantik kesedihan baru. Saat bus sudah berada di tengah tol usai istirahat pertama tadi, aku menyaksikan seorang pria paruh baya yang duduk tidak jauh di samping kiriku, bersama anaknya yang kutaksir baru berusia dua tahun. Ia mendudukkan anaknya di atas pahanya, dan sambil Ia mendekap anaknya dari belakang, mereka berdua mengobrol panjang lebar seakan dua sejoli yang sedang bicara soal masa depan. Dan semua pembicaraan itu mereka lakukan dengan bahasa Jawa! Aku salut sekali, bergemuru hatiku untuk bisa bicara dalam bahasa ibuku sendiri.
Tapi kesedihan juga muncul, seketika aku mengingat bapak kandungku yang entah saat itu sedang apa. Aku ingin punya momen seperti itu bersama seorang ayah. Mataku basah. Ah ... sudahlah. Semua sudah berlalu, jauh tertinggal di belakang.
Pukul 00.13, pemberhentian kedua untuk istirahat di Indramayu, Jawa Barat. Kali ini kami hanya mendapat jatah makan pop mie. Aku makan sekenanya, dan naik lagi ke bus.
Saat bus jalan lagi, kepalaku masih penuh riuh. Untungnya kali ini kuputuskan untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Sedikit lega. Temanku: pena dan kertas, memang selalu jadi penyelamat.
Akhirnya, kuputuskan menghentikan keriuhan itu. Aku tidur, saat bus tengah melaju di jalur tol yang entah sudah tol keberapa yang kulewati hari itu.
Comments
Post a Comment