Motoran 7 Jam, Jakarta--Bandung | #Journey2021-12


Baca cerita sebelumnya: Jalan-Jalan ke Bekasi, dan Menemukan Orang-Orang Baik | #Journey2021-11


 Aku hanya sehari di Bekasi, lalu bertolak kembali ke Jakarta Barat, menggunakan jalur yang sama. Pagi-pagi aku diantar oleh Kak Ian ke Pinang Ranti, lalu perjalanan panjang menggunakan busway Ibu Kota dimulai lagi. Tidak banyak yang terjadi sepanjang perjalanan. Aku sibuk memperhatikan manusia-manusia Ibu Kota yang keluar masuk busway, yang kalau kata Seno Gumira Ajidarma, adalah manusia-manusia yang selalu “buru-buru”.

Sehari sebelum keberangkatan ke Bandung, aku hanya mendekam dalam indekos milik Icha. Sepanjang hari aku membaca dan menulis, lalu pukul 8 malam menjadi narawacana di kegiatan milik HMI Cabang Bangkalan, yang kemudian terpaksa menjadi pemateri tunggal karena narasumber utama: Kanda Arief Rosyid buru-buru keluar dari ruang google meet. Haha. Serius, itu pengalaman mendebarkan.

Dan akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Setelah Icha mengurus segala keperluan izinnya dari kantor, tanggal 12 Februari pukul 1 siang kami bertolak ke Bandung, naik motor berdua.

Untuk permulaan ini, Icha yang memegang kemudi. Jalanan Ibu Kota siang itu tidak terlalu macet, dan tidak terlalu lenggang. Sepanjang perjalanan awal, tidak ada kendala berarti yang kami temui. Hampir pukul 2, kami sudah melewati tugu pancoran, dan terus melaju ke arah Bogor, mengikuti arah yang ditunjukkan google maps. Ya, perjalanan kami ini sepenuhnya dituntun oleh Om Google.

Hampir separuh perjalanan menuju Bogor, kami bertemu hujan cukup deras. Tapi itu tidak menghentikan kami. Aku dan Icha hanya berhenti sebentar di salah satu bahu jalan, memakai jas hujan masing-masing, dan langsung tancap gas lagi.

Setengah 4 sore, kami tiba di Bogor. Jalanan macet membuat gerak kami cukup lambat. Di Bogor, aku dan Icha memutuskan untuk mampir di salah satu kedai boba yang kami lewati, berhubung sejak tadi aku sudah kebelet sekali ingin minum boba.

Saat akan melintas jalur menuju kedai boba, kami berpapasan dengan seorang pria tua yang mengendarai motor tua berwarna hitam pudar. Dan kami bingung sekali ketika tiba-tiba saja dia jatuh terpental bersama motornya tepat di depan kami. Entah karena kami yang salah tiba-tiba melintas, atau karena Ia yang memacu motornya cukup cepat di tengah ramai saat itu.

Aku dan Icha pun buru-buru memarkir motor, dan berlari menuju pria tua itu yang kini sedang meringis kesakitan di bahu jalan sambil memaksakan diri untuk mengangkat motornya. Beberapa warga yang melihat juga datang berlari dan membantu pria tua itu mengangkat motornya dengan sempurna.

“Gak apa-apa, ta, Pak?” Aku dan Icha bertanya hampir bersamaan.

Pria tua itu hanya mengangguk, keningnya masih mengerut. Aku yakin di balik masker birunya itu Ia sedang meringis kesakitan. Rupanya lutunya terbentur cukup keras ke aspal.

Atas bantuan beberapa warga itu, motornya akhirnya berdiri sempurna, dan dia langsung pamit pergi.

“Hati-hati, Pak.” Sahut aku dan Icha lagi mengiringi kepergiannya. Semoga dia benar-benar tidak kenapa-kenapa.

Perjalanan berlanjut. Usai membeli boba cokelat kesukaanku, dan boba brown sugar milik Icha, kami tancap gas lagi. Icha masih memegang kemudi, aku menikmati boba di jok belakang.

“Cha, berarti kita bisa lewat ke arah puncak, kan, ya?” Tanyaku di tengah perjalanan. Icha mengangguk-angguk.

Kebetulan karena sedang ada program pembatasan akibat covid-19, kendaraan yang melalui jalur ke Puncak Bogor juga dibatasi, diatur sesuai tanggal. Setiap tanggal genap, hanya motor yang angka terakhir nomor polisinya juga genap yang bisa lewat. Begitupun sebaliknya. Di tanggal ganjil, hanya motor yang angka terakhir nomor polisinya ganjil-lah yang bisa lewat. Perihal ini baru kami pastikan lagi tadi saat di kedai boba dengan bertanya ke pegawai di situ. Beruntung, nomor polisi motor yang kami bawa ini angkanya genap, dan tanggal hari itu juga genap: 12 Februari.

Tidak sampai 30 menit dari kedai boba tadi, kami tiba di jalur lintasan menuju Puncak Bogor, yang dijaga ketat oleh sekelompok polisi. Masih 500 meter dari “pintu masuk dadakan” itu, kami melihat beberapa motor disuruh putar balik, nomor polisi mereka berangka ganjil. Kami percaya diri dan tetap memacu motor dengan kecepatan standar. Dan, wusss, saat melewati “pintu masuk dadakan” itu, kami berlenggang sempurna tanpa ditahan sedikit pun. Kami lolos.

Sisa perjalanan menuju Puncak Bogor itu habis dengan aku yang berusaha meresapi suasana menuju Puncak Bogor, teringat kakakku yang sering mengajakku ke Puncak Bogor setiap kali aku ke Bogor sekitaran tahun 2016--2018 silam. Sayangnya kakakku itu sekarang sudah di Samarinda, mengajar di Universitas Mulawarman. Kalau tidak, pasti sudah ada-ada saja rencananya selama aku di sana. Tahun 2017 silam bahkan dia membawaku ke Puncak Bogor untuk mencoba naik paralayang. Pengalaman super seru seumur hidup.

Sekitar satu jam kemudian, kami melewati Rest Area Gunung Mas di Puncak Bogor, lalu tidak lama kemudian kami sudah memasuki kompleks Masjid Atta’Awun. Sejak memulai perjalanan tadi, kami memang sudah berencana untuk mampir di Masjid ini. Selain karena ikonik sekali, Masjid ini juga memang menjadi tempat persinggahan favorit para pelancong untuk sekadar beristirahat sebelum kembali melakukan perjalanan panjang.

Masjid ini unik sekali. Ia terletak di atas sebuah bukit di Puncak Bogor, sehingga dari sana kita bisa melihat sekilas keindahan Puncak Bogor di “bawah”. Untuk masuk, para pengunjung juga diwajibkan membuka alas kaki sejak dari bawah, dan menitipkannya di tempat penitipan sepatu. Naik ke atas sedikit, sebelum menemukan Masjid, kami menemukan sebuah halaman bundar kecil yang rupanya sering dijadikan tempat nongkrong entah sebelum atau sesudah salat. Tak jauh dari situ, untuk masuk ke area Masjid, kami harus melewati sebuah jalan penuh air dan wajib menyelupkan kaki di sana, katanya biar lebih steril. Dari situ, baru kemudian bisa masuk ke tempat wudu, lalu ke bangunan utama Masjid. Sebuah bangunan yang tidak terlampau besar, tetapi sangat sejuk dan nyaman.

Hampir satu jam kami di Masjid Atta’Awun, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, aku yang memegang kemudi.

“Sekarang gantian Iken yang bawa motor, yaaa. Habis ini kan sudah mau jalur ekstrem.” Begitu kata Icha sambil tertawa kecil.

Banyak hal yang terjadi di sisa perjalanan menuju Bandung yang masih sekitar tiga jam dari Masjid Atta’Awun itu. Baru keluar dari kompleks Masjid saja, kami sudah bertemu hujan deras, ditambah kabut tebal. Jarak pandang sangat terbatas, hanya tiga meter. Aku harus ekstra hati-hati jika tidak mau “bunuh diri” di jurang-jurang milik Puncak Bogor. Untung saja kami sudah menyediakan dua jas hujan, jadi hujan badai pun tidak akan menghentikan perjalanan kami. Kami hanya sekilas berhenti untuk memakai jas hujan, lalu kembali menembus kabut dan hujan.

Sekitar 40 menit dari Puncak Bogor, kami tiba di Cianjur dan langsung bertemu kemacetan panjang yang disebabkan banjir di salah satu ruas jalan utama Cianjur. Kami tertahan lama sekali di sana. Pelan kami mengekor kendaraan-kendaraan lain yang bernasib sama dengan kami. Lalu saat benar-benar sudah di depan ruas jalan yang banjir itu, kami sadar tidak akan mungkin melintas tanpa basah kaki kami, juga barang-barang kami yang kami susun di bagian depan motor. Kami harus mengatur posisi lagi.

Dua tas di depan akhirnya ditangani oleh Icha. Satu digendong di punggung, satu lagi Ia pegang di tengah. Sementara aku yang awalnya mengenakan sepatu, terpaksa harus menanggalkan sepatu dan menggantinya dengan sandal milik Icha. Icha malah lebih seru, dia lepas sepatu dan naik ke atas motor lagi tanpa alas kaki sama sekali.

Banjir saat itu menguras banyak sekali waktu kami. Hampir satu jam, baru kami bisa berlenggang sempurna di jalanan Cianjur, terus menuju Bandung. Dari sana, tidak ada lagi halangan berarti yang kami temui. Jalanan lintas kota itu lebar dan tidak banyak kelok-kelok, membuatku bebas memacu sepeda motor di atas 80 km/jam. Kami hanya sempat mampir sekali di Masjid tepat di perbatasan Cimahi dan Bandung.

Sekitar pukul 8 malam, kami tiba di Bandung dan langsung menuju Asrama Mahasiswa Gorontalo di daerah Cibeunying. Badan pegal, perjalanan panjang sudah selesai.  

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6