Bersusah-susah Saat Screening, Bersenang-senang di Forum Kemudian (?) | #Journey2021-4
Baca cerita sebelumnya: Belasan Jam di Atas Kereta, Hingga Lewat Suramadu | #Journey2021-3
Usai perjalanan panjang berliku-liku menuju Pulau Madura, hari-hariku sepuluh hari selanjutnya hanya seputar screening latihan kader 2 (LK2) dan forum LK2 di HMI Cabang Bangkalan.
22 Januari 2021
Pagi tanggal 22, dadaku mulai bergemuruh, sebentar lagi aku akan masuk screening. Tidak terbayang bagaimana jadinya jika nanti aku tidak mampu menjawab apa-apa. Mau diletakkan di mana wajahku yang datang jauh dari Gorontalo ini?
Menyiasati hal itu, sejak pagi buta, usai salat aku sudah melangkah keluar sekretariat, lalu berjalan-jalan kecil sambil menghafalkan beberapa pasal yang ada dalam Konstitusi HMI, memurojaah hafalan Alquran, dan membaca kembali beberapa materi lain.
Saat itu, waktu baru menunjukkan pukul 5 pagi lebih 38 menit, dan aku sudah mondar-mandir di dalam kompleks perumahan tersebut, sambil menghafal ini itu. Dari kejauhan, barangkali orang yang melihatku akan mengira aku ini hantu kepagian yang doyan merapal mantra. Aku berjalan melalui jalan setapak perumahan asri itu, tiba di pojokan, duduk dan menghafal, berjalan lagi, hingga akhirnya menemukan pos kamling yang cukup luas, berhenti di sana, dan melanjutkan hafalan.
Namun, semua gemuruh dan panas dingin menanti screening itu teredam oleh kawan-kawan yang menggembirakan. Sekitar pukul setengah tujuh pagi aku kembali ke Sekretariat Rato Ebhu, dan menemukan mereka sedang ngopi pagi di ruang tengah. Beberapa ngopi sambil membuka buku, beberapa lagi hanya tertawa-tawa renyah dengan lelucon kawan lainnya.
Aku hanya mengangguk tersenyum, masuk ke kamar, mengambil perkakas mandi, lalu segera mandi setelah antre sebentar. Usai mandi dan mengepak barang-barang -karena katanya hari ini kami akan sekaligus pindah ke asrama tempat kegiatan akan berlangsung -aku pun bergabung dengan kawan-kawan di ruang tengah. Kali ini mereka sudah riuh bernyanyi bersama, sembari seorang kawan bercambang, lihai memainkan gitar. Ruslan namanya.
Bergabung dengan mereka membuat aku cukup rileks pagi itu. Aku berkenalan dengan beberapa orang di antara mereka. Ada Dody dari Samarinda, Rodzi dari Malang, Dimas dari Surabaya, Soleh dari Bangkalan, dan beberapa kawan lagi. Sementara Indah dari Semarang dan Nanda dari Malang yang sejak malam sudah berkenalan denganku di kamar, juga duduk di ruang tamu, antre untuk menggunakan kamar mandi.
Saat itu, aku banyak ngobrol dengan Dody dari Samarinda. Orangnya asyik, dan rupanya cerdas sekali -hal ini terbukti ketika kami sudah di forum beberapa hari setelahnya. Sesekali, Rodzi dari Malang menimpali, membuat percakapan yang terbangun menjadi kian hangat.
"Cari sarapan, yuk!" Ajak Nanda dan Indah usai mandi dan bersiap. Aku mengangguk, langsung setuju.
Sejak semalam, perutku memang sudah keroncongan. Tiba di stasiun, tidak ada makanan yang "layak" kumakan. Semua manis, aku tidak berselera. Pada akhirnya, aku hanya makan ayam dari Alfa Midi terdekat, tanpa nasi, sekadar melapis perut. Niatnya sih mau minta mampir ke warung-warung pinggir jalan untuk sekadar membeli nasi ayam lalapan atau ayam geprek, ketika perjalanan menuju Madura. Sayang sekali kanda yang menjemputku tadi malam kurang bersahabat. Aku tidak berani mengutarakan keinginan itu.
Maka pagi itu, berendeng aku, Nanda, Indah, Dody, Soleh, dan Mas Rodzi, menyusuri jalanan sembari berjalan kaki, mencari warung makan terdekat.
"Aku ikut juga?" Tanya Soleh sebelum kami berangkat. "Yaiya. Kami kan butuh google maps live di sini." Sahutku, diiringi tawa canda kawan-kawan lain. Soleh hanya tertawa, dan mengikuti juga dari belakang.
Sekitar kurang lebih sekilo berjalan, dengan bantuan Soleh yang menunjukkan arah, kami temui sebuah warteg pinggir jalan, dan merapat ke situ.
Hanya karena kelaparan, aku berusaha memilih makanan yang menurutku paling cocok denganku. Kuperhatikan makanan-makanan yang berjejer di etalase kaca warteg itu, dan akhirnya memilih ikan tongkol untuk kusantap. Kawan-kawan lain juga melakukan hal yang sama. Tak lama, kami sudah duduk berhadap-hadapan menikmati sarapan -kecuali Soleh yang entah kenapa tidak berselera makan pagi itu.
Usai sarapan, kami menerima pesan dari Kanda Yasin di grup LK2 untuk segera bersiap menuju asrama kegiatan. Hal itu membuat kami bergegas kembali ke Sekretariat Rato Ebhu.
Tiba di sana, beberapa kawan sedang buru-buru mandi, ada yang mulai mengepak barang, sementara sebagian besar sedang duduk melingkar di ruang tengah, sarapan pagi bersama.
Aku, Indah, dan Nanda buru-buru ke kamar, memastikan semua barang sudah rapi dan tinggal diangkat.
Baca cerita kedua: Usai Sesak, Terbit Kemalangan Baru | #Journey2021-2
...
Pagi kian terik, dan belum ada tanda-tanda jemputan dari panitia untuk kami menuju asrama. Kami yang awalnya geregetan menyambut prosesi screening dan sibuk membaca buku ke sana ke mari, akhirnya mulai jenuh juga. Hingga pada akhirnya, melihat gitar nganggur, beberapa kawan mulai memainkannya, diiringi suara-suara sumbang dari kiri kanan. Yang penting menyanyi, yang penting happy, haha.
Kawan laki-laki mulai bosan, gitar berpindah tangan ke kaum perempuan. Nanda mencoba memetik, lalu bergantian ke beberapa kawan panitia yang saat itu nimbrung bersama kami, hingga akhirnya jatuh ke tanganku. Di tanganku, gitar bermain lihai, kami bernyanyi seakan tiada screening hari ini. Lagu-lagu perjuangan hingga Hymne HMI kami nyanyikan; lagu pop sampai dangdut pun kami dendangkan. Pagi itu riuh rendah oleh suara nyanyian sumbang dari segerombolan orang di Sekretariat Rato Ebhu.
Hampir tengah hari, baru mobil jemputan tiba. Keriangan tadi terpaksa harus bubar, kami harus menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi kami akan masuk tahap screening.
Kami mulai menaikkan barang-barang ke mobil, lalu berangkat. Saat itu aku duduk di depan, sementara Nanda, Indah, dan beberapa kawan lain duduk di bangku tengah. Bangku belakang penuh terjejali barang-barang kami yang bejibun. Di sampingku saat itu, seorang pria berwajah menyebalkan mengemudikan mobil. Beberapa waktu kemudian baru kutahu ternyata dia salah satu master di forum nanti.
Perjalanan menuju asrama memakan waktu kurang lebih 15 menit. Tiba di sana, kami langsung menurunkan barang-barang, lalu registrasi. Aku mendapat kamar bersama Mbak Maya dari Cabang Bangkalan, sementara Indah dan Nanda menempati kamar di seberang kamarku. Tak lama, kami semua sudah kembali tenggelam dalam buku-buku. Persiapan screening.
...
Hari beranjak petang. Aku sempat beberapa kali ketiduran, lalu belajar lagi, lalu ketiduran lagi, hingga akhirnya benar-benar bangun sekitar pukul 4 sore. Beberapa kawan mengajak untuk mulai masuk pos screening. Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Ketika keluar kamar, aku kaget: ternyata sudah banyak orang di sana. Kawan-kawan laki-laki sudah nimbrung ke asrama putri, itu artinya screening akan dilaksanakan di sini. Kami pun berusaha membaur, meski hanya sedikit sekali kawan yang kami kenal. Sebagian besar adalah wajah-wajah baru, mungkin baru tiba.
"Screener-nya baru satu. Antre." Ujar seorang kawan, melihat kami celingak-celinguk mencari pos screening.
Benar. Saat itu baru ada Master Makmun. Seorang pria berbadan agak besar, berambut gimbal, yang ada di pos screening baca tulis Alquran (BTQ). Akhirnya kami antre, sambil sesekali berkeliling asrama, mencari jika ada pos screening yang tiba-tiba buka.
Cukup lama kami menunggu dan mencari, hingga akhirnya sekitar pukul setengah lima sore, seorang master baru datang: Master Khadijah. Ia juga akan di pos screening BTQ. Aku, Nanda, Indah, Dwi, dan beberapa kawan lainnya langsung berebut ke tempat Ia membuka pos: kamar nomor tujuh.
Suasana tegang mulai menyelimuti. Aku bahkan sudah gugup sekali sejak tadi, dan terpaksa harus memberikan kawan-kawan lain kesempatan lebih dulu untuk masuk. Aku masih sibuk meredakan kegugupan. Nanda yang pertama kali masuk.
Sambil menunggu Nanda, kubaca lagi apa-apa yang sudah kupelajari selama ini terkait BTQ. Kumurojaah lagi beberapa surah, kupermantap lagi kemampuan tajwidku, kuhapal lagi cerita-cerita proses turunnya Alquran, meskipun memang, saat itu aku tidak terlampau fokus. Duduk di depan ruang screening, membuyarkan sebagian besar fokusku.
Sekitar lima belas menit kemudian, Nanda keluar, bilang dia diminta untuk belajar lagi. Mampus! Aku bagaimana nanti? Akhirnya kuberanikan diri masuk, hanya seorang diri ke dalam ruangan screening.
"Perkenalkan diri." Ujar Master Khodijah sesaat setelah aku duduk di hadapannya. Aku pun memperkenalkan diri dengan lantang di hadapannya. Berusaha menutupi kegugupan yang menjadi-jadi.
"Kotamobagu? Wah, aku pernah beberapa minggu di sana waktu ikut senior course." Tiba-tiba Master Khadijah memotong perkenalanku, tepat saat aku mengatakan aku asal Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara. Dan wusss, pembicaraan mengalir begitu saja, tentang Kotamobagu, orang-orangnya yang menyenangkan, udara dinginnya, dan banyak hal lain yang sejenak membuatku lupa sedang berada di pos screening.
"Ah, aku hubungi dulu teman-temanku di Kotamobagu. Kamu rileks saja dulu." Ujarnya sambil tertawa, beberapa saat kemudian. Mungkin karena melihat diriku yang kembali gugup usai pembicaraan yang menyenangkan tadi. Haha.
Master Khadijah masih sibuk senyum-senyum di depan gawainya, dan aku masih duduk diam sambil memikirkan, "Apa, ya, yang akan dia tanyakan nanti?"
"Kamu penulis, ya?" Aku kaget dan refleks menjawab, "Bukan, Master. Hanya suka menulis saja." Dia mengangguk-angguk.
"Kamu duta juga?" Kali ini aku mengangguk saja walau malu-malu. Dia juga mengangguk-angguk, dan tersenyum lebar. Kuduga dia menerima beberapa informasi dari kawan-kawannya di Kotamobagu, yang mungkin juga kenal aku.
"Okai, kita tinggalkan itu. Sekarang, coba cari satu surah, dan bacakan dengan lantang." Aura tegang kembali lagi. Karena diminta mencari sendiri, aku dengan cepat mencari surah favoritku: An-Naba. Dia tersenyum nyaris tertawa ketika kukatakan akan membaca itu. Aku diam saja, lalu mulai membaca dengan lantang.
Kurang lebih tiga menit membaca An-Naba, lalu aku kembali diam. Sekitar satu menit, Ia berusaha mencerna bacaanku -mungkin- lalu mulai memberikan kritik di sana-sini. Mampus!
Hampir tiga puluh menit setelahnya, aku sibuk dijejali pertanyaan, dan dia sibuk pula mengoreksi apa-apa yang kukatakan. Meskipun begitu, aku mengakui bahwa pos pertama yang kumasuki ini tidak terlampau menegangkan seperti yang kukira sebelumnya. Master Khadijah, walaupun dipenuhi pertanyaan-pertanyaan sulit, pembawaannya tetap menyenangkan.
Aku pun keluar, diminta belajar banyak hal, untuk nanti kembali lagi. Kartu screening-ku sudah di tangan Master Khadijah, yang berarti secara otomatis aku tidak bisa masuk ke pos lain lagi, sebelum menyelesaikan screening di pos BTQ.
Singkat cerita, banyak hal yang kulalui hanya agar bisa melewati screening, hari demi hari. Aku tidak mau menceritakan hal itu secarai detail, seperti apa yang akan ditanyakan di tiap pos, atau bagaimana detailnya aku di sana, karena akan menjadi bocoran 'spoiler' gamblang untuk kawan-kawanku sesama kader HMI yang barangkali belum pernah ikut forum LK2 sebelumnya. Biarkan itu menjadi kejutan untuk mereka.
Namun, jika bisa kubocorkan sedikit, dengan kemampuanku yang tidak seberapa ini, aku cukup kesulitan melalui screening. Oleh karena itu, jika ada kawan-kawan sesama kader HMI yang bertanya apa yang harus disiapkan untuk ikut LK2, jawabannya hanya satu: belajar dengan keras. Serius. Akan terasa sekali sulitnya jika hanya membawa bekal seadanya dan seapa-adanya.
Screening BTQ-ku selesai 7 jam kemudian. Dalam sehari itu, aku hanya mampu menghabiskan satu pos itu saja. Aku lalu menjadi sangat geregetan dengan screening-screening di hari selanjutnya, berkaca dari screening BTQ yang menghapal banyak sekali surah di juz 30 Alquran, menghapal tahlil, doa-doa dalam salat-salat sunah, dan yang paling sulit, soal hukum-hukum bacaan dalam Alquran.
Hingga tiga hari selanjutnya, aku masih berkutat dengan proses screening. Bagaimana tidak? Karena setiap pos memerlukan waktu berjam-jam, dalam sehari aku hanya bisa menyelesaikan satu sampai dua pos saja.
Di waktu berikutnya, aku masuk ke pos konstitusi yang hanya memakan waktu sekitar dua jam setengah. Lumayan, lah. Saat itu aku masuk bersama Dwi dari Cabang Surabaya -seorang perempuan yang kemudian menjadi kawan yang berbarengan denganku ke setiap pos screening- dan Juhri dari Cabang Bangkalan.
Usai pos konstitusi, aku masuk ke pos kepemimpinan manajemen organisasi (KMO), masih bersama Dwi. Di pos itu, kami bertemu dengan seorang master berperawakan agak gendut, kulit legam, dan berwajah menyenangkan. Master Umam namanya. Di hari-hari berikutnya, master ini yang menjadi master favoritku dan Dwi, karena pembawaannya yang baik, meskipun tugas-tugasnya bikin pusing delapan belas keliling. Pos ini kuselesaikan selama 7 jam lebih sedikit.
Dari situ, aku ke pos keislaman, yang hanya memakan waktu sekitar dua jam, juga masih bersama Dwi.
Selama perjalanan dari pos ke pos itu, aku dan Dwi lalu lalang di antara kawan-kawan lain yang juga sedang di-screening. Master-master "tukang" screening juga semakin larut semakin banyak berdatangan. Ada yang melakukan screening di dalam kamar-kamar sempit nan dingin, ada yang melakukannya tepat di pintu masuk, ada yang di sudut ruangan utama, bahkan ada yang di pojokan dekat kamar mandi. Sangat beragam, sebagaimana ekspresi kawan-kawanku sesama peserta juga: berupa-rupa, campur aduk.
Kawan-kawan dari berbagai daerah se-nusantara-ku itu memperlihatkan ragam ekspresi. Beberapa yang sedang di-screening, ada yang memperlihatkan ekspresi gugup, bingung, sok tahu, bahagia, bahkan ada yang melamun saja. Sementara yang sedang mengantre, kebanyakan duduk dengan ekspresi kalut, sambil terus membolak-balikkan buku di tangan, atau mengotak-atik gawai: mencari referensi.
Gedung asrama putri itu berubah 180 derajat dari keadaan kemarin siang yang sunyi senyap. Kini gedung itu malah lebih mirip pondokan, di mana-mana ada lingkaran orang berkumpul -seakan sedang ngaji, atau orang-orang yang lalu lalang menghafal ini itu.
Setengah dua dini hari selesai screening keislaman, aku memutuskan tidur, tidak seperti kawan-kawan lain yang terus memacu dirinya masuk ke pos-pos selanjutnya.
Jujur, sebelum berangkat untuk mengikuti forum LK2 ini, aku sempat sakit parah hampir sebulan, karena kecapekan membuat jurnal dan makalah LK2 untuk beberapa cabang lain. Aku memang memacu diriku terlalu keras, memasukkan jurnal di Cabang Yogyakarta untuk mengikuti forum LK2 di sana, lalu tidak lolos, dan langsung memacu diri lagi memasukkan makalah di Cabang Cilegon, dan tidak lolos juga. Pada akhirnya aku harus terkapar, merelakan keinginanku untuk bersegera mengikuti LK2.
Sebuah kesyukuran yang teramat aku lolos di Cabang Bangkalan, tetapi itu berarti aku harus benar-benar menjaga staminaku, jangan sampai "kalah" sebelum masuk forum. Maka, menyisihkan waktu istirahat lebih banyak daripada kawan-kawan lain adalah "jalan ninjaku" untuk tetap bertahan. Meskipun konsekuensinya, aku harus ketinggalan beberapa langkah dari kawan-kawan lain. Walau iri, aku terus menghibur diri: tidak apa-apa, daripada nanti sakit dan tidak bisa ikut forum sama sekali.
Keesokan harinya, pagi sekali aku sudah siap-siap untuk memburu pos screening lagi. Aku lupa bagaimana urutannya, yang pasti, aku berusaha sekuat tenaga untuk mempercepat diri mengikuti screening di tiap pos.
Aku masuk ke pos mission, dan langsung di-screening oleh Master Yasin -master favoritku sejak awal, haha. Hanya kurang lebih dua jam, aku sudah mendapatkan tanda tangan untuk pos mission di kartu screening-ku.
Lalu masuk ke pos makalah, juga sama, masih dengan Master Yasin. Kali ini, screening terasa tidak screening karena asyik sekali pembicaraannya. Aku bebas sekali berpendapat selama screening kala itu.
Pada akhirnya, tinggal tersisa tiga pos screening lagi. Aku dan Dwi memutuskan mengambil pos sejarah, yang di dalamnya akan membahas sejarah peradaban Islam (SPI) dan sejarah perjuangan HMI (SP HMI). Lagi-lagi, ke Master Umam. Dan, mampus! Ini screening paling lama yang pernah kami lewati.
Berbicara sejarah, sudah tentu akan sangat panjang. Namun, kami tidak pernah menyangka akan selama itu. Pos ini kami lalui selama 30 jam! Semua dibahas. Kami harus menjelaskan secara rinci soal SPI dan SP HMI, mulai pra-Islam, hingga kondisi saat ini. Belum lagi kami diwajibkan menulis di sebuah kertas coklat besar soal intisari sejarah itu, yang nantinya akan kami presentasikan. Panjang sekali! Aku bahkan harus membaca dua buku sejarah hanya untuk menuntaskan satu pos screening itu.
Saking panjangnya, esok harinya kami harus berpindah ke Master Toriqi untuk melanjutkan proses screening, karena Master Umam berhalangan untuk datang. Yang pasti, itu pengalaman screening yang sangat menyesakkan. Kurang detail sedikit, kami harus membaca buku lagi berlembar-lembar, begitu seterusnya hingga semua detail tersampaikan dengan lugas. Dan apesnya, screening itu tidak selesai dalam sekali jalan. Kami harus melanjutkannya esok hari.
Aku dan Dwi pun berusaha mencari dua pos yang tersisa, selain pos sejarah. Kami menemukan pos NDP, di gedung asrama putra, pada Master Romaji. Namun, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Sebenarnya aku sudah tidak terlampau bersemangat, badanku capek sekali, tifusku rupanya sedang meronta-ronta. Badanku butuh istirahat.
Namun, Dwi bersikeras tetap melanjutkan screening. Mau tidak mau aku ikut menuju gedung asrama putra, aku juga tidak mau jika besok harus berangkat ke pos NDP seorang diri.
"Master, mau izin ikut screening." Ujar aku dan Dwi hampir bersamaan saat tiba di depan Master Romaji. Master berkulit putih itu hanya mengangguk dan menyilakan kami untuk menunggu.
Selagi menunggu, kami ikut menyaksikan seorang peserta laki-laki dari Cabang Ciputat yang sedang mempresentasikan bigorafi Nurcholish Madjid, Sang Perumus NDP. Laki-laki yang kemudian kuketahui bernama Bimas itu menjelaskan biografi Nurcholish Madjid dengan gamblang, walaupun kelihatannya agak sok. Jujur aku kurang suka gayanya. Beberapa waktu kemudian, aku menyesali diriku sendiri yang sempat tidak suka dengan Bimas, karena ternyata dia kawan yang begitu menyenangkan.
Tak lama setelah Bimas presentasi, Master Romaji beralih pada peserta lainnya, Soleh dari Cabang Bangkalan. Ia memberikan beberapa tugas, lalu menyuruh Soleh mengerjakannya di tempat lain. Baru setelah itu dia meladeni aku dan Dwi.
Kami berkenalan, menerima beberapa pertanyaan awal, lalu mendapatkan tugas yang sama seperti kawan-kawan yang lain. Ya, kami harus mencari referensi, lalu menulis untuk dipresentasikan.
Mendapat tugas itu, aku semakin jengah dan tambah lelah, tetapi aku masih memaksakan diri, dan mulai mencari referensi di ruang tengah gedung asrama putri. Seorang master yang kulupa namanya, datang menghampiri dan bertanya, "Ada yang bisa kubantu? Rupanya kamu ini sudah capek sekali."
Ya, tentu saja aku capek sekali, tapi tidak mungkin aku mengeluhkan hal itu padanya. Aku hanya menggeleng dan memaksakan diri untuk tersenyum. Kelopak mata sudah sayu sekali.
Hampir tiga puluh menit berkutat mencari referensi, belum ada satu pun huruf yang kutulis di atas kertas untuk presentasi. Aku kehilangan selera dan semangat. Lalu master tadi datang lagi, dan duduk di hadapanku, hingga pada akhirnya, aku mengeluh juga.
Lalu entah bagaimana, master ini mengatakan bahwa dia akan membuka pos untuk screening kebangsaan. Aku langsung senyum sumringah dan bersemangat. Saat itu juga kuajak Dwi yang sedang mencari referensi di kamarnya, mengajaknya untuk mengambil kartu screening pada Master Romaji, untuk kemudian beralih ke pos kebangsaan.
Awalnya Dwi sungkan, takut Master Romaji marah karena itu, tetapi aku memaksa. Master yang akan membuka pos kebangsaan ini terkenal dengan durasi screening yang cukup cepat. Aku harus menangkap kesempatan ini, agar setelahnya tinggal fokus pada screening NDP saja, dan melanjutkan sedikit screening sejarah.
Akhirnya, aku dan Dwi mendapatkan kembali kartu screening kami, lalu buru-buru masuk ke pos kebangsaan. Cukup banyak peserta yang sudah berkumpul, dan hanya kami-kami saja: aku, Dwi, Indah, Nanda, Musdalifah, dan ditambah satu orang laki-laki bernama Alvin dari Cabang Bangkalan.
Tidak lama. Hanya dua jam setengah, dan kami sudah mendapat tanda tangan pos kebangsaan. Fiuh ... tinggal satu pos setengah. Aku bisa selesaikan itu, tapi sebelumnya, aku memutuskan untuk tidur dulu.
Bersama Master Umam, usai semua kolom pos di kartu screening berisi tanda tangan. |
...
Hari terakhir screening, aku baru bangun pukul sepuluh pagi oleh gedoran tangan Nanda di pintu kamar, setelah sebelumnya tidur usai Subuh. Pagi itu aku terbangun dengan jantung berdegap tidak karuan. Apa efek tidak tidur baik? Entahlah.
Kuupayakan diriku untuk duduk tegap, minum air putih, lalu mulai menggeser kaki menuju kamar mandi. Masih ada dua pos screening lagi yang harus kuselesaikan: NDP dan lanjutan sejarah.
Sejak pagi aku berusaha menunggu Master Hamid, yang sering di pos screening NDP. Katanya sih, untuk sekelas screening NDP, master ini yang paling mudah screeningnya. Aku bukannya mencari aman, hanya saja terlalu takut mengambil pos yang berisiko lama, karena ini sudah hari terakhir. Aku takut tidak selesai hari ini, dan pada akhirnya harus kembali ke Gorontalo tanpa pernah menginjakkan kaki ke dalam forum LK2 HMI Cabang Bangkalan.
Namun, sayang sekali Master Hamid tidak tampak hingga siang menjelang. Aku dan Dwi akhirnya berembuk, dan memutuskan untuk pergi ke master siapa saja yang sekiranya bisa men-screening kami di hari terakhir ini. Maklum, karena banyak peserta yang sudah selesai screening sejak kemarin, beberapa master ada yang tidak membuka pos lagi.
Ujung-ujungnya, aku dan Dwi pergi ke pos milik Master Toriqi. Seorang master berwajah tampan dengan postur badan mungil. Jujur, sejak kemarin, aku selalu menghindari pos milik master ini, karena kesannya yang cool dan kurang bersahabat, tetapi pada akhirnya aku berhadapan juga dengannya di hari terakhir.
Ada satu lagi master yang sangat kuhindari. Master Rozi namanya, yang membuka pos screening untuk KMO. Master yang satu itu kelihatan lebih galak lagi. Tidak ada senyum, dan selalu menampilkan tatapan mematikan saat melakukan screening. Aku sering memperhatikannya saat tengah duduk di antara peserta dan "mematikan" batin mereka satu per satu. Ngeri juga aku.
Kembali ke Master Toriqi. Ternyata dia tidak seseram yang kami pikir selama ini, walaupun tidak juga penuh senyum. Ia datar-datar saja. Terlepas dari itu, pos screeningnya ternyata tidak terlampau menakutkan, kami tidak dibabat habis-habisan, dan lebih bebas mengekspresikan jawaban.
Satu hal yang kurasa sulit dari screening NDP ini adalah ketika kami ditugaskan untuk mencari biografi Nurcholish Madjid (Cak Nur), untuk dipresentasikan, dan hal ini juga yang paling menyita waktu. Screening NDP itu selesai usai kurang lebih 7 jam, di mana pembuatan biografi Cak Nur memakan waktu kurang lebih 4 jam. Selepas itu, tiap bab NDP hanya perlu dijabarkan masing-masing, menjelaskannya seakan tengah memberi materi, dan aku lumayan bisa menjelaskannya dengan baik. Tidak sia-sia rasanya kurang tidur untuk follow up materi NDP selama di Gorontalo kemarin.
Dan akhirnya, pos terakhir: sejarah (lagi). Master Umam tidak datang hingga malam hari itu. Aku, Indah, Nanda, dan Dwi mulai pusing mencari penggantinya. Masalahnya kami tinggal melanjutkan screening yang kemarin, bagaimana jadinya kalau berpindah ke master lain? Ada kemungkinan diulang dari awal? Itu mimpi buruk jika betul terjadi.
Namun, kami tidak boleh diam saja. Akhirnya kami berusaha mencari, dan bertemu Master Toriqi. Kami sampaikan masalah kami saat itu, dan dia langsung bersedia men-screening kami saat itu juga, dan hanya melanjutkan saja. Jadi pada Master Toriqi, kami hanya di-screening soal sejarah perjuangan HMI, lanjutan dari screening sejarah peradaban Islam pada Master Umam.
"Semua peserta dan master, berkumpul di gedung asrama putra." Suara Master Maskur menggelegar di gedung asrama tepat saat kami akan mulai screening.
"Kami screeningnya bagaimana, Master?" Tanya kami. "Nanti setelah briefing sebentar, ya. Ayok percepat." Kami pun segera beranjak.
Briefing itu tidak lama. Master Maskur hanya memastikan berapa orang lagi yang belum selesai screening di semua pos.
"Sesuai keputusan kami dari SC dan MOT, kami tidak akan menolerir jika ada yang tidak lulus semua pos screening. Dengan berat hati, akan kami pulangkan. Untuk itu, bagi yang belum selesai semua, malam ini harus bergegas. Batasnya pukul 12 malam, dan tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang terlambat!" Tegas Master Maskur, dikelilingi kami seluruh peserta. Master ini memang terkenal dengan suara lantang nan tegasnya.
"Malam ini, semua master bisa screening kalian. Jadi datangi siapa saja. Master yang lagi duduk-duduk, tidak apa-apa ditodong untuk screening. Kalian semua harus selesai secepat mungkin." Lanjut Master Maskur, masih dengan suara lantang khasnya.
Jantungku berdegup kencang, "Apa aku akan lulus?" Pertanyaan itu terngiang-ngiang terus di kepalaku.
Master Maskur lalu menyampaikan beberapa hal lagi, termasuk ucapan terima kasih kepada kami semua karena sudah semangat dan berjuang hingga malam itu. Tidak sampai 30 menit, briefing selesai, dan kami yang belum lulus semua pos, langsung berhamburan mencari master. Kami ingin menyelesaikannya malam ini.
Tidak lama kemudian, aku, Indah, Nanda, dan Dwi sudah duduk lagi berhadapan dengan Master Toriqi. Itu pos penghabisan kami. Setelahnya, kami akan bebas dari bayang-bayang screening. Bismillah ....
Baca cerita pertama: Kisah Sesak di Awal Perjalanan | #Journey2021-1
Kartu screening-ku yang sudah terisi penuh. |
Comments
Post a Comment