Lelaki Harimau | #bookreview30
Judul: Lelaki Harimau
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2004
Ketebalan: 191 halaman
ISBN: 978-602-03-2465-4
Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun, di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, Ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal.
Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, Ia menyangkal dengan tandas.
"Bukan aku yang melakukannya," Ia berkata dan melanjutkan, "Ada harimau di dalam tubuhku."
...
Baca juga: Gie, Sosok yang Paradoksal | Zaman Peralihan #bookreview21
Seperti tulisannya yang sudah-sudah, lagi-lagi Eka hanya mengangkat satu permasalahan aneh, yang kemudian Ia kembangkan dengan aneh pula, yang akhirnya menjadi keseluruhan cerita. Satu kesatuan cerita utuh, hanya bermula dari satu masalah. Lihai sekali otak dan tangannya.
Eka Kurniawan, sebagaimana yang digambarkan orang-orang pada umumnya, adalah penulis yang tidak hanya paham soal bagaimana caranya menulis, tetapi juga tahu betul hal-hal berbau psikologis, yang kemudian Ia lekatkan di dalam ceritanya.
Sebagaimana yang dikatakan Katrin Bandel dari Kompas, "Deskripsi perkembangan psikologis para tokoh Lelaki Harimau membuat kita menyadari betapa nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata terlalu sederhana, tak memadai untuk menilai kehidupan manusia yang penuh lika-liku."
Membaca buku ini, aku seakan dicabik perlahan, bahkan sejak permulaannya. Cerita yang sedari awal sudah tentang pembunuhan tragis, lalu goresan-goresan selanjutnya adalah soal proses pembenaran dari pembunuhan itu sendiri, membuatku banyak bergidik dan merenung, "Betapa hal-hal kecil mampu memengaruhi cara hidup seorang manusia yang lugu, hingga kematiannya sekalipun."
Persoalan tidak mendapat kiriman surat dari kekasih, yang membuat Si Gadis Cantik Nuraeni kehilangan keriangannya seumur hidup, misalnya; atau Komar bin Syueb yang sebenarnya menyayangi istrinya, tetapi menjadi buas hanya karena melihat wajah masam istrinya setiap hari; atau misalnya soal Margio yang melakukan pembunuhan, sontak ketika mendengar kalimat, "Aku tidak mencintainya."
Terlalu sederhana. Masalah utama dalam buku ini terlampau sederhana, tetapi Eka begitu lihai membuatnya terlihat penting, dan "harusnya" memang benar-benar penting. Hal-hal sederhana yang menjadi pengaruh besar seumur hidup, itu yang akan kita temukan dalam buku yang hanya berisi lima bab ini.
Baca juga: Perempuan dan Kehidupan yang Menyesakkan | Kim Ji-yeong #bookreview28
Terlepas dari itu, tentu saja Eka Kurniawan membalut kisah ini dengan kehidupan seks yang bergairah, seperti buku-bukunya yang lain. Permainan atas ranjang penuh berahi, menjadi selingan yang barangkali bagi sebagian orang: menjijikkan, tetapi bagi sebagian orang lain, itu akan jadi penghibur yang renyah dan aduhai.
Eka Kurniawan, penulis "penuh gairah", gila dengan pemikirannya, dan piawai memainkan kata-kata. Di buku ini, Ia memperlihatkan betapa dirinya sendiri sebagai penulis, mampu menghargai kegilaan tokoh-tokohnya.
Comments
Post a Comment