Gie, Sosok yang Paradoksal | Zaman Peralihan #bookreview21
Soe Hok Gie - Zaman Peralihan |
“Hakikat kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.” -Soe Hok Gie
Judul: Zaman Peralihan
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: BASABASI
Tahun terbit: 2018
Ketebalan: 334 halaman
ISBN: 978-979-9471-20-8
Zaman Peralihan adalah kumpulan tulisan Soe Hok Gie tentang kondisi Indonesia di era peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto. Rangkaian sejarah yang menunjukkan pada kita bahwa zaman boleh beralih, namun akar dari semuanya tak boleh tercerabut, yaitu kemanusiaan kita sebagai bangsa. Ini akan menjadi penuntun jalan kita untuk pulang dan mengeja kembali kebangsaan kita di antara carut marut dan gegap gempita zaman.
**
Soe Hok Gie. Seorang pemuda yang penuh kegelisahan dan kegetiran, yang merupakan salah satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya angkatan ‘66. Hatinya akan berontak sekeras batu jika tentang keadilan dan kemanusiaan. Baginya, siapa pun manusia itu, tak pernah pantas diperlakukan seperti binatang oleh manusia - manusia lain. Oleh manusia - manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan.
Tak heran, dalam beberapa tulisannya, Ia sering mendeklarasikan dirinya yang tidak setuju dengan gerakan - gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun di sisi lain, Ia berada di garda terdepan memprotes perlakukan segelintir petinggi pemerintahan, yang memerintahkan pengganyangan massa PKI -atau mereka yang dituduk PKI, di Pulau Bali pada akhir tahun 1965 hingga awal 1966, yang menewaskan 80 ribu jiwa. “Saya menganggap bahwa saya anti komunis, tetapi saya juga memprotes keadaan yang tidak adil untuk mereka.” Ucapnya suatu ketika.
Tulisan lainnya tentang Gie: Gie-Semeru-Ranu Kumbolo | #Prosa4
Ia sering bilang bahwa dirinya tak suka dengan Soekarno yang terlena dengan ‘kemerdekaan’, dan lupa bahwa usai proklamasi, ada lebih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, untuk membawa seluruh masyarakat Indonesia merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Ia menghardik Soekarno yang punya banyak istri, dan membangun istana negara di mana - mana, sementara tak berkilo jauhnya dari istana, banyak warga yang kelaparan dan terpaksa menjamah makanan dari tong sampah.
Namun di sisi lain, Ia mengakui kepiawaian Soekarno menggiring massa untuk mendukungnya. Ia mengakui kehebatan Soekarno dalam beretorika dan mengadakan komunikasi massa, dibandingkan Soeharto. Menurutnya, dalam soal karisma, Soekarno jauh lebih berhasil dari Soeharto. Ia mengakui bahwa Soekarno telah banyak menyengsarakan rakyat, gila, dengan berbagai korupsi yang mengerikan. Namun baginya, Soekarno telah menyumbangkan elemen yang terpenting untuk Indonesia, yakni identitas dan harga diri sebagai bangsa.
Tulisan lainnya tentang Gie: Untuk Gie, yang Abadi di Semeru
Soe Hok Gie tak pernah neko - neko dengan apa yang Ia pikirkan. Jika salah, akan Ia katakan salah, dan benar, akan Ia katakan benar pula, meski Ia pribadi kurang menyukai yang bersangkutan. Ia begitu konsisten dengan apa yang Ia pikirkan, rasakan, dan perjuangkan, meski sekali lagi, Ia juga selalu gelisah dengan banyak hal. Seorang pribadi yang paradoksal.
Semua kegetiran dan kegelisahan itu lalu Ia tuangkan dalam coretan - coretan tangannya. Ia tak pernah absen menuangkan perjalanan hidupnya yang penuh gertakan, dalam buku hariannya (yang kemudian diabadikan dalam buku Catatan Seorang Demonstran). Selain itu, Ia juga aktif menulis di berbagai media massa. Tidak pernah takut, tulisan - tulisannya selalu pedas, tajam, dan penuh satire. Tak jarang Ia menyebut nama - nama oknum yang Ia maksudkan dengan begitu jelas tanpa sensor.
Tulisan lainnya tentang Gie: Tulisan Seorang Guru, "Minggu Bersama Gie"
Daya tarik tulisan Soe Hok Gie adalah keterusterangannya dalam menerobos kabut emosi dan kemunafikan. Kejernihan dan ketajaman pikirannya melihat gejala - gejala lama dalam wujud baru dengan bahasa yang lugas, sering membuat orang yang membaca tulisannya merah padam.
Ya. Ia pemuda yang seberani itu. Meski karena keberanian dan idealismenya itu, Ia harus rela menemui dirinya dalam sepi. Mungkin memang begitulah nasib seorang intelektual yang tetap setia pada cita - cita kemanusiaan. Hanya kesepian dan penderitaan yang Ia peroleh. Namun nyatanya, Ia bahagia dengan keterasingan itu. Katanya, lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan. Seperti yang dilakukan kawan - kawan seperjuangannya yang lain.
Tulisan lainnya tentang Gie: Orang - Orang di Persimpangan Kiri Jalan | #bookreview3
“Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian.” Ujar seorang kawannya suatu ketika.
Buku ini, merangkum semua tulisan - tulisannya yang bertebaran di berbagai media massa, hingga sebelum Ia meninggalkan dunia ini untuk selama - lamanya pada 16 Desember 1969 di Mahameru.
Tulisan - tulisan ini memiliki tema dan bahasan yang beragam. Menunjukkan bahwa Gie memiliki keluasan wawasan dan bidang perhatian yang tidak sedikit. Ia bagai bisa merangkum semuanya, mulai dari persoalan - persoalan bangsa secara besar, persoalan kemanusiaan, persoalan di lingkup kemahasiswaan, serta bagaimana pandangannya terhadap permasalahan Indonesia secara khusus, yang Ia tuangkan ketika melakukan perjalanan ke Amerika Serikat selama kurang lebih 70 hari. Hampir semua isu, ditangkap oleh Soe Hok Gie.
Tulisan lainnya tentang Gie: Mahameru, Terima Kasih.. | Semeru #4-SebuahAkhir
Di Bagian 1: Masalah Kebangsaan dalam buku ini, dengan kesedihan yang mendalam, Gie menuangkan semua pengalamannya ketika melihat rakyat di pedesaan dan mahasiswa kampus, tercabik - cabik oleh perlombaan kepentingan arus atas, dalam pemerintahan Soekarno. Di tulisan berjudul Menaklukkan Gunung Slamet, Ia bercerita tentang kepedihan hatinya melihat Indonesia yang sebelumnya tidak berubah. Hipokrisi, cakar - cakaran, dan korupsi masih menonjol. Malah para pemimpin mahasiswa yang tadinya kelihatan ‘idealis’, mendadak terserang dekadensi moral. Kegalauannya, tampak dalam tulisan - tulisan di bagian ini. Hidup rakyat kecil selalu dikepung slogan.
Di Bagian 2: Masalah Kemahasiswaan buku ini, Gie membeberkan tentang betapa tidak sehatnya dunia kemahasiswaan. Ia secara gamblang menggambarkan tentang adanya dosen yang membolos sampai 50% -bahkan lebih, dari jadwal mengajarnya per semester. Juga tentang adanya dosen diktat, atau adanya dosen yang berusaha menutupi kekurangannya dengan bersikap tiran. Di bagian ini, Gie mengungkapkan keheranannya bahwa ternyata, ada juga dosen - dosen yang bodoh dan tak pantas mengajar. Ia benar - benar mengutarakan mimpinya yang paling besar, yakni agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia - manusia yang biasa’. Menjadi pemuda dan pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia yang normal, seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai pemuda, dan sebagai manusia.
Tulisan lainnya tentang Gie: Surat Untuk Gie
Di Bagian 3: Masalah Kemanusiaan buku ini, tulisannya banyak berkisar pada ekspresi keprihatinannya pada ‘korban’ peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tentang pengganyangan PKI, tentang pemerintah yang memenjarakan 80.000 tahanan G30S secara sewenang - wenang, tanpa melalui proses pengadilan. Ia mengungkapkan bahwa semakin banyak saja hal - hal yang terjadi dan tidak sesuai nilai moralitas, seperti korupsi, pelacuran intelektual, dan soal - soal demoralisasi lainnya.
Membaca kembali tulisan - tulisan Soe Hok Gie, kita akan tahu bahwa pemuda kelahiran 17 Desember 1942 ini, telah melakukan apa yang harusnya diambil oleh seorang intelektual. Ia, adalah pria yang percaya bahwa hakikat kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.
Book from: Offline store @berdikaribook
30 Juli 2019
Comments
Post a Comment