Perempuan dan Kehidupan yang Menyesakkan | Kim Ji-yeong #bookreview28

 

Cho Nam-joo, Kim Ji-yeong

Judul: Kim Ji-yeong

Penulis: Cho Nam-joo

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2019

Ketebalan: 192 halaman

ISBN: 9786020636191

 

Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika Ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh. Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi. Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang lahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.

. . .

Teruntuk Lian yang sudah menghadiahkan buku ini, terima kasih banyak, tetapi maaf karena tidak mampu menepati janji tak terucap bahwa saya tidak akan menumpahkan semua energi demi buku ini. 

Jujur, energi saya terkuras habis. Saya sedih, kecewa, marah, bahkan frustasi saat membaca deretan kisah milih Kim Ji-yeong sejak tahun 1982 hingga 2015. Awalnya saya memang baik-baik saja dan menganggap Kim Ji-yeong hanyalah Kim Ji-yeong, dan saya adalah saya. Kisahnya tidak akan terjadi pada saya. Namun, semakin ke sini, polemik yang kerap Kim Ji-yeong temui dalam kesehariannya semakin terasa nyata, dan saya mulai frustasi saat menjajaki halaman 133 hingga seterusnya.

Di Bab 1982--1994, kita akan menemukan bahwa anak laki-laki adalah segalanya, sementara anak perempuan hanyalah benalu yang tidak diharapkan kehadirannya; bahwa sebaik apa pun perempuan melakukan sesuatu, yang menerima pujian tetaplah laki-laki; dan bahwa saat kau mengandung anak laki-laki, kau pantas mendapatkan segala sanjungan dan kemewahan, tetapi sekali kau mengandung anak perempuan, kau harus siap menerima cela setiap hari.

Baca resensi lainnya, yuk: Perempuan di Titik Nol | #bookreview11

Kau juga akan menerima fakta tentang kondisi di Korea selama tahun 1980-an, di mana para wanita harus menggugurkan kandungannya jika yang dikandung adalah anak perempuan; para wanita harus bekerja banting tulang untuk membiayai pendidikan saudara-saudara laki-laki mereka, sementara mereka harus menyerah dengan mimpi-mimpi mereka; para anak perempuan harus rela dimarahi orang tuanya ketika mereka menangis karena “diganggu” para anak laki-laki; dan bahkan semua aturan yang ada di sekolah-sekolah sangat memihak para anak laki-laki.

Di Bab 1995--2000, marah akan bergejolak di dalam kepala karena kita akan “menyaksikan” pelecehan seksual yang memuakkan karena dilakukan oleh para aktor pendidikan dan akademisi, juga para atasan di tempat-tempat kerja; juga sangat marah oleh fakta Kim Ji-yeong dimarahi ayahnya karena Ia diganggu seorang laki-laki di tengah malam.

Kenapa harus kursus di tempat sejauh itu? Kenapa berbicara kepada sembarang orang? Kenapa memakai rok sependek itu? Ia harus banyak belajar, harus berhati-hati, harus berpakaian pantas, dan harus bersikap pantas. Ia harus menghindari jalan yang berbahaya, waktu yang berbahaya, dan orang yang berbahaya. Kalau Ia sampai tidak sadar dan tidak menhindar, maka Ia sendiri yang salah.” Itulah yang dikatakan ayah Kim Ji-yeong padanya saat itu. Sebuah praktik blame victim ‘menyalahkan korban’ yang membuat kepala mendidih saat membacanya.

 Baca resensi lainnya, yuk: Ke Mana Kita Akan Pergi Setelah Menemukan Arti Pulang? | Pergi #bookreview27

Pada akhirnya, Kim Ji-yeong berhenti mengikuti kursus, menjadi takut dengan laki-laki -bahkan pada adiknya sendiri- sementara si pelaku bebas berkeliaran tanpa rasa bersalah.

Kemudian di Bab 2001--2011 kita akan dibuat bangga dengan ketegasan ibu Kim Ji-yeong terhadap suami dan keluarganya; keberanian salah satu rekan perempuan Kim Ji-yeong untuk menyuarakan apa yang ada di pikirannya dan keinginannya untuk menjadi ketua di klub mereka; juga cara ketua tim Kim Ji-yeong di tempat kerja dalam berusaha memosisikan diri sebaik mungkin dengan tidak membeda-bedakan karyawan laki-laki dan perempuan. Perempuan bicara, begitu saya menyebutnya.

Namun, kita juga akan melihat kondisi di mana perempuan pintar dianggap mengintimidasi; laki-laki lebih dianggap lebih mampu bekerja secara profesional; pelecehan seksual secara verbal kerap dilakukan oleh para petinggi perusahaan ternama; juga ketidakadilan yang diterima para karyawan perempuan di tempat kerja mereka.

Baca resensi lainnya, yuk: Arah Langkah | #bookreview26

Lalu, bab yang paling membuat saya frustasi, Bab 2012--2015. Di sini, kita akan menemukan situasi yang begitu menyesakkan, yang dialami oleh Kim Ji-yeong -dan barangkali oleh kebanyakan perempuan pascamenikah, mengandung, dan pascamelahirkan. Kehilangan waktu untuk diri sendiri, kehilangan pekerjaan dan mimpi-mimpi besar, menjadi hal paling menyesakkan bagi Ji-yeong, tetapi kemudian Ia berpikir, “Apakah dosa bagiku jika berpikir seperti ini?

Namun, semuanya memang seakan tertumpu pada Kim Ji-yeong. Rasa sakit saat mengandung Ia rasakan tanpa dukungan baik dari orang-orang di sekitarnya, bahkan sering kali rekan-rekan kerjanya menjadikan kehamilannya sebagai bahan lelucon, dan orang-orang yang Ia temui di jalan pun tidak menunjukkan keramahan sedikit pun, seakan kehamilan adalah sebuah kesalahan. Perihal mengurus dan membesarkan anak pun seakan-akan hanya harus menjadi tanggung jawab perempuan (istri).

Lalu suatu waktu amarah Kim Ji-yeong meledak untuk suaminya, “Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu? Lagi pula, selama aku bekerja, memangnya hanya aku sendiri yang menikmati hasilnya? Kenapa kau berbicara seolah-olah kau bersikap murah hati menyangkut pekerjaanku?” Deretan kalimat paling menohok. Kim Ji-yeong mulai merasa, menjadi ibu rumah tangga adalah beban tak terkira, Ia merasa dibatasi dalam hal minat bakat karena sudah memiliki anak. Semangatnya mereda dan Ia mulai merasa lesu.

Baca resensi lainnya, yuk: Tentang Soegija dan Agresi Militer Belanda II | Soegija In Frames #bookreview25

Apakah kita berdosa jika mengakui bahwa menjadi ibu itu sangat berat, apalagi jika tanpa dukungan baik dari suami dan orang-orang di sekitar kita?

Kim Ji-yeong adalah kita semua. 

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6