Untuk Gie, yang Abadi di Semeru

In memoriam, Soe Hok Gie, 16 Desember 1942 - 16 Desember 1969 - 16 Desember 2019

(Foto - TaucOS)

Hai, Gie. Apa kabar? Tenang-tenang saja di sana, kan? Atau kau masih saja gelisah dengan keadaan negeri ini -seperti dahulu kala? Jangan gelisah lagi, kau tak perlu memikirkan apa yang ada di sini. Biar kami saja. Berbahagialah di sana.

Ngomong-ngomong, 16 Desember 50 tahun lalu, kau sedang ada di Semeru, bukan? Duduk di tepi jalur pendakian menuju puncak Mahameru dengan lutut kaki terlipat ke dada, sambil merenung lamat-lamat. Ya, kau merenung kala itu. Lalu ketika kawan sependakianmu lewat, kau titipkan batu padanya. Katamu, untuk dikasih ke cewek-cewek di kampus. Ah.. ada-ada saja kau, Gie.


Aku penasaran, Gie. Apa yang kau renungkan kala itu hingga membuatmu duduk lebih lama di tempat kau berpotensi lebih banyak menghirup asap dari Kawah Jonggring Seloko Mahameru yang ‘maha’ beracun itu, yang pada akhirnya menjadi alasan kau kembali ke ‘atas’ di umur yang amat muda? Kenapa tidak kau pikirkan saat kau sudah di Ranu Kumbolo yang indah itu saja?



Asap dari Kawah Jonggring Seloko, Mahameru. (Foto - Nikhen Moko)

Ah.. tapi kau memang selalu begitu, Gie. Misterius dan sulit diprediksi. Kau terlalu idealis dan rasa keadilanmu begitu tajam. Tidak ada yang bisa menghalangimu merenungi banyak hal, terlebih saat itu. Aku tahu kau terbuai dengan keheningan Mahameru, nyanyian angin yang berembus-embus, dan hamparan samudera di atas awan yang membentang di depannya. Suasana yang amat cocok untuk merenung, memang.

Kau tahu, Gie? Beberapa waktu lalu, aku juga baru dari Semeru. Aku berhasil sampai Mahameru sepertimu. Dan motivasi terbesarku adalah karena ingin bertemu denganmu di sana. Tapi kau tak ada Gie. Kucari kau ke mana-mana, kau tidak tampak. Plakat mu itu entah sudah dipindahkan ke mana. Aku tidak berhasil.


Tetapi syukur ku, saat di Ranu Kumbolo, kau datang padaku dengan tenang dan berbicara tentang kehampaan mu. Kehampaan yang juga kurasakan malam itu, di tengah puluhan tenda yang memadati Ranu Kumbolo.



Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. (Foto - Hasanul Muqfy)

Kau bilang, “Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah, dan hadapilah.” Dan, ya. Aku berusaha menghadapi itu. Menghadapi ‘tanda tanya’ yang hadir di tengah-tengah aku dan dua sahabatku kala itu. Sebuah ‘tanda tanya’ yang amat menyakitkan.

Baca juga: Surat Untuk GIE

Jika saja kita bisa lebih banyak bicara, Gie. Sudah pasti Ranu Kumbolo malam itu akan tidak sehampa itu. Setidaknya aku, di Semeru, tidak terlampau sia-sia. Karena kau sempat bersemayam di tanah tertinggi Pulau Jawa itu selama beberapa hari, sudah barang tentu dirimu menyukai tempat itu, bukan? Dan keinginanku, bertemu dan bercengkerama denganmu, di tempat yang kau suka.


Kawan-kawan lainnya yang juga abadi di Semeru. (Foto - Nikhen Moko)

Kau sudah pergi 50 tahun lalu di umur 27 tahun, Gie. Tetapi semangatmu, kasihmu, dan ketegasan mu, terus bersemayam dan berlipat ganda di dada orang-orang yang berusaha menyerap itu dari tulisan-tulisan yang kau tinggalkan. Kau sudah pergi, kembali ke ‘atas’ bersama Idhan pada 16 Desember 1969 kala itu, tapi kau abadi di hati dan jiwa-jiwa kami, Gie.

Dari puncak tertinggi Pulau Jawa, Puncak Mahameru 3.676 mdpl, kau menebar kebaikanmu, lagi dan lagi. Dan aku, merasakannya. Jangan merasa sepi dan hampa lagi, karena kau tidak sendiri di Semeru. Baik-baiklah. Sampai bertemu.


Salam, M-007 UI,
dari A.1609 MPA Alaska FT-UNG

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6