Pemburu Rembulan | #bookreview20

Arul Chandrana - Pemburu Rembulan

Judul: Pemburu Rembulan
Penulis: Arul Chandrana
Penerbit: Gradien Mediatama
Tahun terbit: 2011
Ketebalan: 416 hlm.
ISBN: 978-602-208-010-7

“Pahlawan yang hebat adalah mereka yang terus berjuang walaupun tanpa kekuatan yang hebat.”

Dua sahabat. Dua cita – cita. Dua tantangan. Sebuah pulau kecil nan eksotis. Arul yang pengajar bertekad untuk memberikan pendidikan yang menyenangkan pada setiap anak; Amar yang pernah bercita – cita mendaki gunung, akhirnya menjadi pebisnis – petualang. Dan, akhirnya mereka mendapatkan semua tantangan itu di sini, di Pulau Bawean -sebuah pulau kecil terpencil di tengah Laut Jawa.

Di pulau itu, Arul bukan hanya mendapatkan saat – saat yang paling menyenangkan bersama 13 murid TPA yang menggemaskan, melainkan pula harus menghadapi sang pengajar yang keras dan menentang setiap pembaruan yang ditawarkannya. Amar harus menghadapi alam liar hutan Bawean. Walaupun demikian, mereka bukanlah tokoh super yang serba bisa -bahkan mereka sangat takut pada hantu! Tapi mereka punya satu keyakinan: pahlawan yang hebat adalah mereka yang terus berjuang walaupun tak punya kekuatan hebat

Kaya akan nilai edukasi, budaya, dan motivasi, diramu dengan humor, petualangan, dan romansa, Pemburu Rembulan adalah novel motivasi terinspirasi kisah nyata yang akan menggetarkan hati dan pikiran -juga kesadaran kita.

. . .

Bolehkah saya menyebut buku ini sebagai Buku Cara Menjadi Guru yang Baik? Saya sendiri heran kenapa buku sebagus dan se-elegan ini tidak masuk dalam jajaran buku best seller di toko – toko buku, namun justru saya menemukannya di sebuah bazar buku di kota terpencil dengan harga Rp20 ribu! Sangat disayangkan.

Membaca buku ini, seakan sedang belajar bagaimana menjadi guru atau pengajar yang baik, tidak hanya sekadar cerdas. Penulis benar – benar berhasil memberikan pelajaran tentang bagaimana cara menjadi guru yang baik itu. Disertai lelucon khas di sana – sini, buku ini menjadi begitu menarik dan ringan untuk ditelaah. Benar – benar novel pendidikan yang dibutuhkan semua guru, terutama bagi guru - guru yang semakin ‘seremonial’ di zaman kini.

Penulis membeberkan apa saja hambatan dalam mengajar, dan bagaimana cara mengatasinya. Lalu Ia juga menjelaskan bagaimana melahirkan gairah belajar agar anak – anak punya rasa ingin tahu yang lebih besar; bagaimana cara mengajarkan sesuatu yang sama sekali asing bagi anak – anak dengan metode yang cepat dan menyenangkan; bahkan mengajarkan mereka untuk bisa menghafal sesuatu dengan mudah, cepat, dengan menggunakan metode -yang sekali lagi, menyenangkan.

Banyak sekali metode pengajaran yang disuguhkan penulis dalam buku ini, dan semuanya dirangkum dengan sangat baik. Yang paling saya suka adalah bagian di mana Arul, si tokoh utama menjelaskan tentang ‘Filsafat Rotan’. Penulis tahu bagaimana cara menyindir para guru dan pengajar yang suka sekali menggunakan ‘kekuatan’ rotan untuk mengajari anak didiknya, hingga mereka hanya jadi singa sirkus.

Saya menemukan penjelasan tentang inti sebuah pendidikan, dalam buku ini. Di halaman 226, tertulis amat jelas dan mantap, bahwa inti pendidikan adalah perubahan. Kita mendidik siswa agar mereka menjadi sosok yang berubah. Berubah kepribadiannya menjadi lebih terpuji, berubah intelektualnya menjadi lebih tinggi, berubah tujuan hidupnya menjadi lebih terarah dan tercerahkan. Jika ada guru yang tidak bisa melaksanakan fungsi pendidikan tersebut, dia sama sekali tidak bisa merangsang perubahan pada siswa – siswanya, maka sungguh dia hanya buang – buang waktu saja mengajar sepanjang hari. Orang yang demikian sungguh tak layak untuk bertahan atau dipertahankan dalam mendidik manusia muda, anak – anak.

Terlepas dari itu, penulis juga kerap menyisipkan berbagai kritik sosial di dalam tulisannya, terutama soal kehidupan masyarakat Bawean yang penuh ketimpangan dan kesulitan di mana – mana. Tentang mereka yang tak punya pilihan untuk mencukupi kebutuhan hidup, selain melakukan hal – hal yang sebenarnya amat berbahaya dan mengancam nyawa, atau mereka yang dengan sangat terpaksa harus merantau menjadi TKI berpuluh – puluh tahun hingga seorang ibu tidak lagi mengenal anaknya, atau seorang istri menikah lagi karena sang suami tak kunjung pulang.

“Di sini, keluarga harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya. Mencari ikan di laut, juga kerang dan udang. Atau, ke hutan untuk mencari umbi-umbian, kayu bakar, buah- buah hutan … dan semua itu tidak mudah. Kerja keras itu tidak sepadan dengan pendapatannya. Yang lebih memprihatinkan, Nak, jika harus bekerja sebagai penggali pasir, mereka harus masuk ke dalam tambang yang dalam dan rapuh. Longsor bisa terjadi kapan saja. Kami, Nak Amar, terjebak dalam keadaan yang serba buruk. Tidak merantau keluarga kelaparan, ditinggal merantau pun tak ada jaminan semuanya akan lebih baik. Baru sebulan lalu seorang ibu dengan dua anaknya mati tertimbun pasir. Suaminya di Malaysia stres mendengar kabar kematian keluarganya.” (hlm. 174)

Bahkan, Ia juga sering kali membeberkan tentang kebiasaan, budaya, hingga ciri khas masyarakat Bawean, yang akan membuat pembaca penuh dengan pengetahuan baru tentang kehidupan masyarakat di pulau atol ini.

Pada akhirnya, saya banyak sekali belajar dari buku yang penuh tawa ini. Saya jadi tahu tentang Gurun Kalahari; laguna; kondisi angkutan desa di Kampung Somor – Sangkapura yang begitu memprihatinkan; antelop; celeng di pedalaman hutan Bawean dan cara mengusirnya yang unik dan menggelikan; jelatang dan fakta bahwa betapa akan tersiksanya kita jika menyentuhnya; sendang; banyak adat dan kebiasaan masyarakat Bawean; banyak kosa kata Jawa; ragam kuliner khas Bawean; Atropa belladonna; beruk; buku mujarobat; totorotan; dan yang paling penting, saya mendapat banyak cara luar biasa tentang bagaimana bisa mengajar dengan baik dan menyenangkan. Semua itu terangkum dalam buku spesial ini.


Baca juga #bookreview lainnya:



Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6