Tentang Soegija dan Agresi Militer Belanda II | Soegija In Frames #bookreview25
FX. Murti Hadi Wijayanto, SJ - Soegjia
|
Judul: Soegija In Frames
Penulis: FX. Murti Hadi Wijayanto, SJ
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: 2012
Ketebalan: xii+217 halaman
ISBN: 978-979-91-0453-3
“Kemanoesiaan itu satoe, bangsa Indonesia itu satoe, kendati berbeda meroepakan satoe keloearga besar.”
Demikian tulis Soegijapranata dalam catatan hariannya pada masa awal pecahnya Perang Dunia II. Pemikiran itulah yang kemudian mendasari seluruh pergulatannya sebagai seorang Katolik sekaligus patriot sejati di zaman pergerakan perang kemerdekaan. Kisahnya yang begitu menyentuh dan inspiratif kemudian diangkat secara apik dalam film Garin Nugroho berjudul Soegija.
Dalam buku Soegija In Frames ini, pembaca akan disuguhi shoot-shoot penting dan gambar-gambar di balik layar film Soegija, disertai catatan-catatan kecil tentang rujukan sejarah, proses syuting, dan keteladanan hidup Soegijapranata. Menelusuri kembali kiprah Soegija melalui putaran film serta lembaran buku ini akan membantu pembaca memahami serta mendalami nilai-nilai humanis yang diperjuangkan uskup pribumi pertama ini sepanjang hidupnya.
…
Jujur, sebelumnya saya belum tahu cerita tentang Soegijapranata ini. Kenapa saya sampai bisa membaca bukunya pun, punya cerita panjang.
Buku ini saya temukan terselip di bawah banyaknya tumpukan buku di bazar Gramedia Gorontalo pada Oktober 2019 silam. Tidak banyak yang tersisa. Waktu saya temukan, di sana tersisa dua sampai tiga buku Soegija -jika saya tidak salah ingat. Meski di bazar itu harganya tinggal Rp20 ribuan, saya sebenarnya tak tahu juga mengapa saya tertarik membeli buku bersampul cokelat ini.
Baca review lainnya, yuk: Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi | #bookreview24
Singkat cerita, buku ini saya boyong ke rumah, lalu Ia terkapar di tumpukan buku-buku yang belum saya baca, selama berbulan-bulan lamanya. Hingga beberapa waktu lalu, saya tergerak untuk mulai menggerayanginya. Ternyata, ini adalah buku yang menceritakan hal-hal di balik pembuatan film Soegija. Di dalamnya tampak banyak foto-foto produksi, disertai keterangan-keterangan sejarah singkat.
Karena itu, sebelum lebih lanjut membacanya, saya menyempatkan diri untuk menonton filmnya dulu. Dan, ya. Ini cukup memuaskan. Saya jadi belajar sejarah lagi. Film dan bukunya, keduanya saling menguatkan cerita.
Baca review lainnya, yuk: Perempuan di Titik Nol | #bookreview11
Dalam buku (dan film) ini, kita akan menemukan kisah-kisah kemanusiaan di tengah Perang Dunia II, dan Agresi Militer Belanda II (Clash Belanda II) di Indonesia. Semua ceritanya dibawa dari perspektif seorang uskup (rohaniwan Katolik) pribumi, Monsinyur Albertus Soegijapranata. Seorang uskup pribumi pertama, setelah sebelumnya jabatan sebagai uskup hanya selalu diisi oleh orang-orang Belanda.
Tak hanya itu, di sini kita juga akan menemukan kisah pencarian jati diri seorang perempuan pribumi, Mariyem, yang tak mau dirinya dan bangsanya diinjak-injak oleh orang-orang berkulit putih. Ia mewakili peran perawat Panti Rapih, yang sudah sejak zaman dulu menjadi perpanjangan tangan perjuangan Rm. Kanjeng Soegija pada masa kemerdekaan. Pergulatan batinnya menjadi pergulatan batin kemanusiaan seorang Mariyem, dan kemanusiaan Bunda Maria. Sebuah pencarian untuk menjadi seperti Maria, ibu segala bangsa, ibu bagi kehidupan.
Baca tulisan lainnya, yuk: Sebuah Kecewa | #Prosa2
Kita juga akan menemukan kisah tentang sebuah keluarga pemilik rumah makan, yang kerap menjadi bulan-bulanan penjarahan; tentang dua orang Belanda yang bersahabat, satunya wartawan perang dan satunya komandan tentara Belanda -yang membuat keduanya memiliki perspektif amat berbeda soal dunia; tentang koster sang uskup, Tugimin, yang ceplas-ceplos, namun menjadi bukti nyata kesederhanaan Soegijapranata; tentang seorang pemimpin pasukan Jepang yang merindukan keluarganya di tengah perang tak berkesudahan; juga berkenalan dengan Pak Besut, penyiar RRI Jogja yang melegenda itu.
Terlepas dari itu, buku (dan film) ini menggambarkan situasi pasca proklamasi kemerdekaan, yang riuh dan kacau. Hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang harusnya menjadi hari pembebasan, namun justru nyatanya situasi masih penuh tanda tanya, apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya.
Baca review lainnya, yuk: 11:11 | #bookreview10
Soekarno diasingkan ke Bangka; Jepang masuk dengan propaganda Asia Raya-nya, menyita aset-aset Belanda, melarang semua hal yang berbau belanda, dan menyuruh pribumi melakukan kerja paksa; pentahbisan Soegijapranata sebagai uskup di Gereja Randusari; perang 5 hari di Semarang; pembentukan Kelompok Penolong Rakyat (KPR) di Semarang; perpindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta; pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa oleh Vatikan; penyerangan Yogyakarta oleh Belanda (lagi) pada Desember 1948; hingga 28 Desember 1948, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia di Amsterdam, disaksikan oleh Ratu Yuliana dan Muhammad Hatta.
Dan ini semua, adalah hasil kerja keras penuh darah oleh banyak orang. Kemenangan perang tidak boleh hanya diklaim sebagai kemenangan militer saja. Kemenangan itu juga kemenangan rakyat. Rakyat ikut bekerja keras untuk kemerdekaan bangsa ini.
Baca tulisan lainnya, yuk: Tulisan Seorang Guru, "Minggu Bersama Gie"
Garin Nugroho, sutradara film Soegija, memang sedang melukis tentang kemanusiaan. Film (dan buku) ini tak hanya indah, tapi juga humanis. Kisah-kisah tentang hancurnya keluarga besar kemanusiaan. Kita akan melihat bahwa korban perang bukan hanya orang-orang yang mati dalam perang saja, tetapi juga para pemenang, yang di dalam perang pun menderita.
Akan sangat komplit rasanya ketika kita menonton filmnya, juga membaca bukunya setelah itu. Karena seperti yang tertulis di Pendahuluan buku ini, lain membaca, lain menonton film. Membaca memberikan pengetahuan yang banyak pada pikiran kita, sementara menonton memberi pengetahuan efektif pada emosi kita.
Baca review lainnya, yuk: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya | #bookreview9
Ketika menonton filmnya, kita perlu serius dan menancap diri. Beda dengan ketika membaca bukunya, kita bisa lebih rileks. Menikmati buku ini tentu saja tidak seserius membaca buku-buku filsafat, tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Cukup memandang, setelah terisi jiwa kita dengan asupan keindahan secukupnya, kita bisa membaliknya ke halaman berikut. Jiwa kitalah yang ingin dipuaskan dengan rasa keindahan.
Comments
Post a Comment