Perjalanan Panjang Jakarta--Wonosobo Untuk ke Kaki Gunung Sumbing | #Sumbing1
Kamis, 30 September 2021
Sudah hampir pukul 3 sore, aku dan beberapa kawan untuk pendakian kali ini segera bergegas menuju Terminal Lebak Bulus. Kami akan menuju Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonosobo untuk mendaki ke Gunung Sumbing.
Memang sejak dua hari lalu aku sudah bertolak dari Jakarta Barat -tempatku menginap selama ini, ke Kalibata di Jakarta Selatan. Aku memang berniat untuk menginap di tempat seniorku, Kama, beberapa hari sebelum berangkat ke Jawa Tengah. Hitung-hitung untuk adaptasi dulu dengan kawan-kawan lainnya yang memang sama sekali belum pernah kukenal sebelumnya.
Sejak tiba di tempat milik Kama, tidak banyak yang kulakukan selain istirahat dan mulai menyiapkan beberapa keperluan tambahan untuk mendaki nanti. Soal peralatan pendakian pribadi, semuanya sudah lengkap, kubawa dari kota asalku. Jadi memang tidak banyak lagi PR yang harus kuselesaikan.
Siang itu terik matahari di atas kepala. Kami berkumpul di salah satu rumah milik kawannya Kama yang memang sering pergi mendaki bersama Kama sebelum-sebelumnya. Ya, meskipun saat ini dia tidak akan ikut serta rombongan kami, dia tetap legowo meminjamkan rumahnya sebagai meeting point sekaligus tempat packing.
Sudah ada aku, Kama, Gobes, Robi, dan Kak Kiki di situ. Selain aku, Gobes dan Robi juga anggota tim pendakian yang memutuskan untuk menginap di tempatnya Kama sehari sebelum berangkat. Biar lebih mudah, katanya. Sementara Kak Kiki, rumahnya juga hanya berseberangan dengan rumah milik Kama. Kami berlima jadi tim awal yang berkumpul di meeting point pertama itu.
Baca cerita perjalananku yang lain, Motoran 7 Jam, Jakarta--Bandung | #Journey2021-12
Sambil menunggu kawan-kawan yang lain, aku menyibukkan diri dengan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, sambil sesekali ngobrol dengan Gobes dan Robi. Kami memang masih dalam masa perkenalan, haha.
Sejujurnya, aku agak sedikit khawatir dengan pendakian kali ini. Dan memang tidak heran, karena aku selalu khawatir tiap kali akan mendaki dengan orang-orang “baru” yang belum pernah pergi mendaki denganku sebelumnnya. Bukan karena takut, sama sekali bukan. Tapi lebih karena aku mengenal diriku dan apa yang aku butuhkan setiap kali pergi mendaki.
Aku adalah tipikal pendaki lambat. Sangat lambat malah. Karena itu, aku membutuhkan kawan yang bisa sabar dengan kelambatanku itu di setiap pendakian. Sejauh ini, hanya sedikit sekali kawanku yang bisa sesabar itu mengikuti langkahku yang lambat. Bisa kuhitung, mungkin hanya ada Majid, sahabatku sejak SMK; Alm. Muqfy; dan beberapa kawan lain seperti Tulus, Bedu, dan Afi. Maka, jika tidak pergi mendaki dengan salah satu dari mereka, aku selalu khawatir.
Apa nanti aku bisa menyamai langkah cepat kawan-kawan lain? Apa aku bisa sampai puncak jika diburu-buru? Atau apakah aku akan menemukan kawan yang bisa sabar mengikuti langkah lambatku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang terus berseliweran di kepala.
Sebelumnya memang Majid berjanji untuk ikut pendakian ini, tapi di menit-menit terakhir tiba-tiba saja Ia membatalkan semuanya karena ada urusan kampus yang harus segera Ia selesaikan. Tentu itu lebih penting daripada sekadar pergi mendaki gunung kedua tertinggi di Jawa Tengah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, meski sebenarnya ingin marah juga.
Baca cerita perjalananku yang lain, Menemukan Hal-Hal Baru di Ibu Kota | #Journey2021-10
Hari kian sore. Kawan-kawan lain mulai berdatangan. Ada Bang Iqbal dan Sekar. Dengan begitu, untuk meeting point ini, kami sudah lengkap dan siap berangkat. Sebenarnya masih kurang satu, Kak Samsul, tapi katanya dia akan nyusul langsung ke Lebak Bulus setelah menemani bos-nya. Maklum, orang kantoran.
Kami pun sigap mengatur barang-barang kecil lain yang masih berserakan, lalu membawa carrier-carrier kami ke depan rumah biar lebih mudah diangkat saat grab tiba. Barangkali, aku yang paling banyak bawaannya saat itu, karena aku berniat langsung meneruskan perjalanan ke Yogyakarta usai mendaki Gunung Sumbing. Jadilah kubawa serta semua barang bawaanku sejak dari Gorontalo, satu carrier, satu daypack, dan satu ring bag. Untuk packing buat pendakian, biarlah nanti saat di basecamp kaki Gunung Sumbing.
Pukul 3 lebih sedikit, kami berangkat dengan dua mobil. Mobil pertama ada aku, Bang Iqbal, Kak Kiki, dan Sekar, sementara Kama, Gobes, dan Robi ada di mobil kedua. Kami melaju di tengah padatnya jalanan Ibu Kota sore hari.
Hampir satu jam berdempet di mobil, kami akhirnya tiba di Terminal Lebak Bulus. Itu baru jam 4 sore, dan matahari masih terik. Kami harus bersabar menunggu bus datang, karena berdasarkan jadwal keberangkatan, kami baru akan bertolak ke Wonosobo pada pukul 5 sore. Masih ada satu jam.
Beberapa dari kami menghabiskan satu jam itu dengan nongkrong di tempat duduk salah satu warung kecil pinggir terminal, sambil ngemil apapun yang bisa sekadar untuk mengisi perut. Karena aku sudah makan saat di rumah tadi, aku memutuskan untuk duduk-duduk saja sambil menjaga barang di tempat kami menumpuk semua barang kami yang bejibun. Jika dilihat-lihat, barang-barang kami itu hampir memenuhi 1/4 space di ruang tunggu terminal yang tidak seberapa besar.
Baca cerita perjalananku yang lain, Mencari Penghiburan di Bogor, Hingga Kehilangan Arah | #Journey2021-9
“Kak, gak panas di situ?” Tiba-tiba Gobes berteriak ke arahku. Dia tengah duduk mengemper di pinggir ruang tunggu sambil merokok. Aku hanya tersenyum, tapi lalu memutuskan untuk duduk di sebelahnya.
Akhirnya waktu menunggu itu kuhabiskan dengan ngobrol bersama Gobes tentang banyak hal. Tentang kuliah, pekerjaan, hingga pendakian. Di tengah obrolan, Robi bergabung dan sesekali menimpali. Kawan-kawan yang lain masih sibuk ngemil di warung kecil tadi.
Pukul 5 sore, bus kami siap. Kawan-kawan dari meeting point Ragunan juga sudah tiba dengan bawaannya masing-masing. Kami sigap menaikkan barang ke bus, yang rupanya sebagian besar memang akan diisi oleh tim pendakian kami semua. Bagaimana tidak? Tim pendakian ke Gunung Sumbing ini ada 13 orang, haha, banyak sekali.
“Eh, Bes, nanti duduk bareng, yok.” Ucapku ke Gobes saat barang sudah selesai kami naikkan semua. Gobes mengangguk mengiakan.
Sejak ngumpul di meeting point tadi, aku memang sudah berpikir kalau Gobes adalah kawan yang menyenangkan untuk diajak ngobrol. Perjalanan Jakarta--Wonosobo ini akan sangat panjang, kurang lebih 10 jam. Aku tidak mau mengambil risiko untuk duduk dengan orang yang hanya akan diam saja sepanjang perjalanan. Kawan ngobrol di perjalanan seperti ini bagiku sangat penting. Makanya, aku berrani-berani saja menawari Gobes untuk duduk bareng di bus nanti. Tentu akan menyenangkan bisa bicara dan berbagi banyak hal.
“Kak, naik duluan aja, ya.” Seru Gobes tiba-tiba saat aku akan naik ke bus. Aku mengangguk saja. Toh, aku bisa menyimpan satu kursi untuknya.
Baca cerita perjalananku yang lain, Sekeping Perpisahan, dan Keberangkatan (lagi) | #Journey2021-7
Tapi, ternyata tidak semudah itu, haha. Saat aku tiba di bagian tengah bus, sebagian besar kursi sudah terisi. Sekar dan Robi malah sudah dapat tempat. Kawan-kawan lain juga. Tidak ada lagi kursi tersisa untuk dua orang. Jika tetap mau duduk, aku harus permisi duduk di samping kawan-kawan lain yang kursi sebelahnya masih kosong, dan saat itu kursi yang tersisa hanya di sebelah Kak Kiki, dan di sebelah Kama.
“Nikhen, duduk aja di sebelah Kiki, tuh.” Ujar Kama tiba-tiba saat melihat aku masih celingak-celinguk mencari tempat. Tidak bisa menolak, aku langsung mengempaskan pantat di kursi tepat di sebelah Kak Kiki. Yasudah. Tidak masalah. Meskipun Kak Kiki rada cool, setidaknya aku sudah kenal dia sejak hari sebelumnya.
Tapi ternyata posisi tempat duduk berubah lagi. Saat Kak Kiki sedang keluar sebentar, Gobes masuk. Dan entah apa yang Kama pikirkan, dia langsung menyuruh Gobes duduk di sebelahku.
“Terus Kak Kiki gimana?” Tanyaku bingung.
“Nanti Kiki duduk sama aku aja.” Kata Kama. Yasudah. Aku langsung geser biar mepet di jendela untuk memberi ruang ke Gobes. Kak Kiki yang baru masuk beberapa saat kemudian pun tidak bertanya banyak dan langsung mengambil barang-barangnya di tempat dudukku untuk dipindah ke tempat duduknya di sebelah Kama.
Tanggal 30 September pukul 5 lebih sedikit, bus kami mulai membelah kota. Mungkin pendakian kali ini akan menjadi hadiah ulang tahun paling indah bagiku. Ya, 30 September adalah hari ulang tahunku, dan kuputuskan untuk banyak merenung nanti di Gunung Sumbing, tentang apa yang akan kulakukan setelah ini. Di umur yang hampir 1/4 abad ini, apa yang akan kucari dan berusaha wujudkan lagi, bagaimana aku memosisikan diri sebagai anak tertua di keluarga, dan bagaimana aku harus menangkis segala harapan orang tua soal yang namanya pernikahan, sementara aku masih belum mau memikirkan soal itu.
Awal perjalanan, aku dan Gobes banyak ngobrol ngalor ngidul. Aku jadi tahu dia adalah mahasiswa muda (angkatan 2019) di salah satu universitas yang ada di Ciputat. Dulu dia bekerja sambil kuliah di salah satu perusahaan, lalu berpindah ke perusahaan lain, tapi di-PHK karena krisis ekonomi saat awal pandemi. Kini masih pengangguran, dan katanya akan segera mencari kerja lagi setelah pendakian Sumbing. Anak baik.
Dia juga jadi tahu tentang aku yang suka sekali berkelana ke sana kemari, pergi ke banyak kota sendirian, backpackeran terus, kerja sambil kuliah, dan suka sekali menulis. Atas obrolan-obrolan itu, Gobes sempat-sempatnya nyeletuk, “Pengen jadi kayak Kak Nikhen yang bisa jalan-jalan, sambil kuliah, sambil kerja, uang masuk terus, haha.” Aku hanya tertawa dengan celetukannya itu.
Hari hampir gelap, bus terus melaju. Aku melihat keluar jendela, dan gedung-gedung tinggi itu seakan sedang berlari meninggalkan kami (atau kami yang melaju meninggalkan mereka?). Langit perlahan gelap, lampu-lampu kota sepanjang yang bisa kulihat mulai dinyalakan. Kami baru masuk Bekasi Barat, belum keluar Jabodetabek.
Sejak beberapa menit lalu, aku dan Gobes kehabisan bahan obrolan dan memilih diam menikmati diri masing-masing. Aku tiba-tiba teringat Soe Hok Gie. Aktivis yang mati muda idolaku itu juga pernah di posisi ini dulu sekali waktu dia naik kereta untuk pergi pendaki Gunung Semeru di tahun 1969. Lepas obrolan menyenangkan dengan kawan-kawannya, dia pernah sempat terdiam dan hanya menatap kosong keluar jendela. Bedanya, dia justru menyaksikan Ibu Kota yang kumuh dari balik jendela kereta.
Masih di Bekasi Barat, bus tiba-tiba berhenti. Mungkin untuk isi bensin. Aku melanjutkan tidurku yang sekilas-sekilas. Gobes juga rupanya sudah tidur di sebelahku.
Tapi, saat aku terbangun, kira-kira sudah hampir 30 menit, bus belum jalan juga. Ada apa? Kawan-kawan lain juga mulai bertanya-tanya. Ada yang mulai geram, tapi ada juga yang memanfaatkan hal ini untuk turun merokok di luar. Maklum, bus ini full ac jadi tidak bisa merokok saat bus sedang melaju.
Sepuluh menit lagi, bus belum juga jalan.
Dua puluh menit, masih belum berjalan.
Hingga satu jam sudah kami menunggu, bus masih diam, teronggok di pinggir jalan. Tidak mungkin mengisi bensin selama ini, toh tidak ada antrean yang berarti.
Aku mulai penat. Penumpang lain juga rupanya mulai gelisah.
“Berapa orang yang ditunggu? Saya bayar tiket dua orang itu tapi langsung jalan.” Tiba-tiba aku mendengar sahutan kencang dari arah depan bus. Aku melongok, berusaha mencari tahu. Ternyata itu Bang Iqbal, salah satu anggota rombongan kami. Ada apa, ya?
“Bukan masalah itu, Mas.” Sahut seorang pria paruh baya dengan setelan abu-abu lusuh dan mengenakan topi. Kalau tidak salah dia sopir kami.
“Terus apa? Ini sudah satu jam, Mas. Sampai kapan kita di sini? Kalau dua orang itu saja, nanti saya bayar aja.” Suara Bang Iqbal meninggi.
“Ini bukan masalah uang, Mas. Kalau itu juga saya bisa bayar. Tapi ini soal aturan. Kalau Mas mau komplain, sana komplain langsung ke kantor di bawah. Kami ini cuma ngikutin perintah atasan, Mas.” Sahut Si Sopir dengan suara tak kalah tinggi.
Bang Iqbal tanpa basa-basi langsung turun. Kama dan Kak Kiki juga ikut menemani. Lah, kayaknya bakal jadi runyam, nih.
Hampir sepuluh menit aku menunggu dengan awas. Takut masalah bertambah besar. Tapi rupanya tidak. Saat kembali, Bang Iqbal memang masih marah-marah, tapi rupanya dia sudah lebih terkendali. Kami akhirnya jadi tahu kenapa bus bisa berhenti begitu lama. Pihak layanan bus sedang menunggu dua penumpang lagi. Mereka kena macet jadi bisa sampai selama itu. Yah, jalanan Ibu Kota di jam segini memang gak bisa diharapkan saat buru-buru.
“Kalo dari tadi udah dijelasin alasannya kayak gitu, kita mungkin bisa ngerti. Ini kita tiba-tiba aja berhenti lama banget, udah mau satu jam, tapi tanpa penjelasan.” Bang Iqbal masih bersungut di belakang, aku hanya menengok dan tersenyum tipis. Benar juga sebenarnya. Semua hanya soal komunikasi. Itu mengapa komunikasi itu penting biar gak ada kesalahpahaman. Ciye yang anak komunikasi, haha.
Kurang lebih 10 menit lagi kami menunggu, akhirnya dua penumpang yang ditunggu sejak tadi datang juga. Ternyata pihak pelayanan bus mengambil inisiatif untuk menjemput langsung dua penumpang yang terjebak macet itu, katanya biar lebih cepat. Tapi bukankah tidak ada yang bisa lari dari macet sekali masuk ke sana? Kecuali … ambulans?
Begitulah kemudian kami berangkat lagi. Bus melaju lagi di tengah jalan tol yang cukup lengang. Aku melanjutkan tidur.
…
Sepanjang perjalanan itu, aku memang tertidur, tapi tidak pulas. Tahu, kan, bagaimana bentuknya tidur di bus itu? Lagipula, sopir bus antarprovinsi di Jawa juga lumayan bar-bar bawa busnya, haha, kencang sekali, menyalip ke sana sini. Beberapa kali aku merasa bus ini hampir menabrak mobil di depannya, atau terkikis bus lain di sampingnya. Ngeri-ngeri sedap.
Jadilah sepanjang jalan aku kerap terbangun, lalu berusaha tidur lagi, begitu seterusnya. Saat terbangun di beberapa ruas jalan yang cukup cantik, aku memerlukan untuk melihat ke balik jendela lebih lama, sebelum kemudian tertidur lagi.
Hampir pukul 10 malam, akhirnya kami berhenti di Indramayu, tepatnya di rumah makan khusus bus antarprovinsi ini. Saat kami tiba, di sana ramai sekali. Bus-bus besar berjejer rapi, penumpang naik turun. Di dalam rumah makan yang bermodel terbuka itu, terlihat puluhan orang sedang melahap makanannya masing-masing, agak terburu-buru. Sebagian menumpuk di sisi kanan rumah makan yang bertuliskan toilet dan Musala.
Aku buru-buru turun mengikuti kawan-kawanku yang lain, karena makan harus memperlihatkan tiket dan sedari tadi tiket kami dipegang oleh Kama, aku celingak-celinguk mencari orang di antara deretan panjang manusia. Ketemu!
“Khen, ayok makan dulu.” Sahutnya kencang sambil menyuruhku mendekat.
“Kama, Iken salat dulu boleh? Sekalian ke kamar mandi, kebelet boker. Hehe.” Ucapku saat sudah berdiri di dekat Kama.
“Sebaiknya makan dulu, Khen.”
“Ya, gimana kebelet, nih, Kamaaa.” Aku memelas.
“Yaudah. Nanti Kama tunggu di sini.” Aku riang.
Aku buru-buru ke toilet, diikuti Sekar dan Robi yang menemaninya. Habis buang air, aku langsung wudu dan segera salat. Jamak Magrib dan Isya. Lepas salat, aku buru-buru balik ke tempat tadi, bertemu Gobes di tengah jalan, lalu dia antara aku ke Kama. Memang tempat ini cukup membingungkan juga, ditambah manusia banyak sekali berseliweran, tambah bingung.
Karena “tiket” makanku sudah include dengan tiket bus, jadi aku tidak boleh memilih menu suka-suka. Aku hanya bisa mengambil menu yang sudah tersedia dalam bentuk prasmanan, itu pun nasi sudah disendokin duluan, lauk maksimal satu potong, dan sayur hanya satu jenis. Satu-satunya yang bisa diambil sesukanya hanya sambal ijo yang ada di urutan pertama prasmanan.
Kuputuskan mengambil sambal ijo, satu potong ayam goreng, dan sayur sekenanya. Tidak ada sayur yang menggiurkan di situ, dan aku yakin sambalnya pun pasti tidak sesuai dengan seleraku secara pribadi. Sambal di Jawa memang tidak pernah bisa masuk dengan tenang di leherku.
Lepas mengambil makanan, aku mengambil tempat di depan Sekar. Tak lama, dia pamit salat, aku ditinggalnya sendiri dengan sepatunya yang kegedean. Sebelum pergi tadi dia meminjam sandalku, biar mudah wudunya, katanya.
Tidak sampai satu jam kami di rumah makan di Indramayu itu. Selesai makan, aku bergabung sebentar dengan kawan-kawan lain yang sedang merokok di luar tempat makan kami tadi. Canda tawa teriring sepanjang obrolan yang ke sana kemari. Tak lama, kami sudah dipanggil untuk naik bus, kami harus segera berangkat lagi.
Sisa perjalanan itu aku habiskan dengan beristirahat total. Telepon genggam kumatikan, jaket kuambil dan kuselimuti di badan, sandal kulepas, dan kursi kurebahkan. Nyaman sekali kali ini. Gobes juga langsung pulas hanya beberapa saat setelah bus jalan lagi, begitu juga kawan-kawan yang lain. Hanya beberapa yang memutuskan untuk menonton serial netflix atau sekadar scrolling tiktok. Selain itu, semua pulas.
Sudah malam, jalanan lengang, lampu-lampu jalan remang, tak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Kami lelap di kursi masing-masing.
…
“Bangun, yok. Bangun. Kita mau sampai.” Sayup-sayup aku mendengar suara Kama. Kumicingkan mata, langit di luar masih remang, gulita. Hanya lampu-lampu petromaks yang menerangi jalan dan membuat silau mata.
“Yok, bangun. Gak sampai lima menit lagi kita sampai.” Ucap Kama lagi, kali ini dengan lebih kencang. Aku menegakkan badan. Gobes di sampingku juga mulai mengucek-ngucek mata, berusaha membangunkan diri dari mimpi yang entah apa.
Pukul lima subuh lebih sedikit, kami akhirnya tiba di Terminal Mendolo. Langit masih gelap saat kami melangkah keluar bus dan mulai menurunkan barang satu per satu. Kulihat kawan-kawanku beberapa masih jalan sempoyongan, belum sepenuhnya sadar dari tidur yang lelap sepanjang perjalanan tadi. Mataku juga masih sayup, tapi kupaksa bergegas. Kama dan kawan-kawan lain sudah mulai berjalan menjauh dari bus.
Kami menuju ke gerbang depan Terminal Mendolo, agak jauh dari lokasi kami diturunkan tadi, dan itu membuatku agak kewalahan mengangkat tiga tasku sekaligus. Satu carrier, satu day pack, satu ring bag. Memang kelihatannya aku yang paling ribet. Jika terima gaji nanti, kutekadkan segera beli carrier baru yang lebih besar, biar tidak ribet bawa dua gandengan seperti ini.
Di dekat gerbang terminal, sudah ada dua mobil yang menunggu rombongan kami. Satu pick up, satu lagi mobil yang mirip angkot, aku tidak tahu namanya. Kami menaikkan barang ke pick up, lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar di situ sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp kaki gunung.
Oh, iya. Aku lupa. Di awal perjalanan kami tadi, sahabatku, Majid yang sebelumnya sempat membatalkan keikutsertaannya dalam pendakian kali ini tiba-tiba menghubungiku dan mengatakan kalau dia jadi ikut. Aku sempat kaget.
“Urusan di Mojokerto sudah selesai, Majid bisa menyusul segera sore ini juga naik bus langsung ke Mendolo.” Begitu katanya meyakinkanku waktu itu. Aku, sih, senang-senang saja, meski kali ini tidak mau lagi terlalu banyak berharap. Takut tiba-tiba Majid ada agenda mendadak lagi, dan membatalkan lagi.
Tapi pagi ini, tak lama setelah aku meletakkan barang di pick up, Majid menelepon bertanya posisiku. Celingak-celinguk sebentar ke depan gerbang masuk terminal, kami akhirnya bertemu. Ah, dia benar-benar jadi ikut kali ini. Syukurlah.
Pagi di Terminal Mendolo kala itu kami habiskan dengan sarapan, ngobrol ngalor ngidul, saling berkenalan dengan anggota tim lainnya yang belum sempat kenalan sebelumnya, dan bernyanyi-nyanyi ria diiringi gitar. Pagi yang menyenangkan ditemani dinginnya Wonosobo.
…
Pukul 6 lebih sedikit, kami berangkat menuju basecamp. Aku, Sekar, Robi, Majid, Kak Akmal, Bang Iqbal, Kak Samsul, dan tiga kawan lain yang belum kukenal, naik ke atas pick up. Sementara Gobes, Kak Kiki, Kak Wanda, dan beberapa lainnya berada di mobil satunya.
Tidak banyak yang kami lakukan sepanjang perjalanan menuju basecamp itu selain berusaha menikmati pemandangan khas ala Wonosobo pagi hari, diiringi kabut yang masih tebal. Kami hanya mampir ke pasar sebentar untuk membeli beberapa logistik lagi, lalu kembali melaju di jalanan lengang pagi itu.
Sekitar 40 menit berada di atas pick up, pelan-pelan saat jalur kian menanjak, kami mulai menyaksikan pemandangan syahdu khas pedesaan yang asri. Rumah-rumah penduduk yang satu dua, hutan tropis dengan pohon-pohon tinggi menjulang, kabut yang menggelayut manja di atasnya, dan sinar matahari yang perlahan menerpa pucuk-pucuk pohon. Magis sekali kelihatannya.
Tak sampai 30 menit setelah itu, kami tiba di basecamp Bowongso. Kami akan naik lewat jalur ini. Itu berarti ada sekitar satu jam lebih perjalanan dari Terminal Mendolo ke sini. Lumayan jauh, tapi tidak terasa.
Tiba di basecamp, beberapa dari kami langsung memanfaatkan waktu dengan bersih-bersih dan mandi, Kama langsung mengurus surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi) dan administrasi lainnya, beberapa terlihat mengatur kembali barang di carrier alias re-packing, dan aku, sibuk mengeluarkan semua barang-barang dari dua tas yang kugendong sejak tadi, lalu memilah mana yang akan dibawa pergi mendaki, mana yang akan ditinggal di basecamp. Semua kulakukan secepat mungkin, secekatan mungkin. Waktu kami tidak banyak.
Usai packing, aku mandi sekenanya, lalu mengajak Majid pergi sarapan. Sarapan sebelum berangkat mendaki adalah hal wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Boleh saja tidak sarapan, asalkan kau harus siap dengan konsekuensi “patah” di awal mendaki.
“Ada yang pada mau ikut sarapan?” Aku bertanya ke arah Robi, Gobes, dan kawan-kawan lain sebelum turun ke warung bawah.
“Aku ikut.” Sahut Gobes.
“Oke, ditunggu. Aku tidak akan menawarkan Kak Kiki, si orang yang tidak biasa sarapan.” Godaku ke Kak Kiki yang sejak kemarin memang mengaku justru akan sakit perut jika makan di pagi hari. Kak Kiki hanya tertawa, lalu mengangguk-angguk.
Sambil menunggu Gobes, aku memerlukan duduk di sebelah Kama dan Robi yang sedang tampak serius. Mereka sedang mempelajari peta untuk pendakian nanti. Maklum, di pendakian kali ini, Robi yang diamanahkan untuk menjadi leader.
Meskipun begitu, menurut hematku, harusnya semua anggota pendakian juga di-briefing soal peta ini. Meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan sepanjang pendakian. Karena kami ber-empat belas, pisahnya rombongan dalam kelompok-kelompok kecil sangat mungkin terjadi. Kami tidak bisa hanya berharap pada satu leader saja yang ada paling depan. Karena itu, sudah tentu kami semua juga tahu peta pendakiannya. Tapi sudahlah, karena aku hanya anggota, aku turut saja dengan pemimpin rombongan. Mungkin manajemen di sini beda dengan manajemen yang selalu aku terapkan di pendakianku yang biasa.
Aku, Gobes, dan Majid lalu pergi sarapan. Di sana sudah ada Bang Iqbal dan Kak Samsul. Kami bergabung. Aku memesan segelas energen, sementara Majid dan Gobes memutuskan makan nasi dengan lauk seadanya di warung kecil itu. Tak lama, kami selesai lalu langsung kembali ke basecamp. Kami akan segera berangkat.
Sebelum berangkat, selain peta yang sudah ada sejak tadi, tim kami juga dibekali walkie talkie, serta kopi dan santan yang diikat dalam plastik kecil-kecil. Masing-masing kami memegang itu satu, dengan pesan, kopi dan santan itu harus dibawa turun lagi. Jangan sampai hilang.
Menurut kepercayaan masyarakat sini, hal itu bisa menjadi jimat sepanjang pendakian. Jimat untuk menolak hal-hal buruk, terutama gangguan dari penunggu/penghuni Gunung Sumbing. Menurutku, hal-hal seperti ini memang tidak harus diimani. Hanya saja, jika mau datang bertamu ke daerah orang, kita tetap harus menghargai kepercayaan masyarakat setempat. Tidak boleh tidak.
Siap dengan carrrier dan bawaan masing-masing, kami lalu naik ke ojek satu per satu. Kami akan naik ojek sampai Gerbang Pendakian Gunung Sumbing via Bowongso. Hanya bayar 20k, kami sudah bisa menghemat tenaga yang jika harus berjalan sampai sana, mungkin membutuhkan waktu kurang lebih satu jam.
Pagi itu, suasana syahdu dan tenang sekali. Aku naik ke salah satu ojek, lalu mulai melaju melintasi rumah-rumah penduduk yang kemudian berganti dengan perkebunan yang asri hijau membentang. Udara segar sekali, aku pun kerap menyapa penduduk yang berpapasan di jalan. Ah, sebentar lagi pendakian akan dimulai. Apa aku akan sampai puncak?
Bersambung ....
Comments
Post a Comment