Pagi yang Debar, Summit yang Menyesakkan | #Sumbing5


Baca cerita sebelumnya: Bertemu Badai Luar Biasa di Camp Gajahan | #Sumbing4


Sabtu, 2 Oktober 2021

 

“Nikhen, Nikhen.” Sayup-sayup kudengar seseorang memanggil. Jam berapa ini? Siapa yang memanggil? Kubuka mataku pelan-pelan, memicing kena cahaya lampu tenda yang silau.

“Nikhen. Kalian tidak jadi summit? Ini sudah jam tiga.” Ternyata itu Kak Wanda di ujung sana. Di luar, badai masih terus berlangsung, mungkin tambah kencang, seperti tidak ada tanda-tanda untuk mereda. Aku hanya menggumam ke Kak Wanda.

“Hmmm, masih badai, Kak.” Sahutku pelan sekali entah bisa didengar atau tidak. Kak Wanda tidak merespons. Aku lanjut tidur.

“Kak Nikhen, summit, gak?” Entah sudah berapa lama aku tertidur lagi, sayup-sayu kudengar lagi suara memanggil namaku. Siapa lagi kali ini?

“Hm?” Gumamku dari dalam tenda. Suara tadi dari luar, dan itu suara laki-laki. Berarti bukan antara Kak Wanda, Kak Tiara, atau Sekar yang membangunkanku.

“Mau summit, gak, Kak? Jam lima, nih.” Hah? Aku kaget dan langsung duduk seketika. Sudah jam 5? Padahal kurasa aku baru tidur sebentar.


Baca cerita sebelumnya: Menyusuri Jalur-Jalur Terjal Gunung Sumbing, Hingga Tiba di Camp Gajahan | #Sumbing3


“Iya, iya, mauuu.” Aku bergegas mengambil kacamata, memakai kerudung, keluar dari sleeping bag, memakai jaket, memakai kaus kaki dan kaus tangan, serta menyediakan beberapa camilan untuk summit. Tidak lupa kucantolkan botol minum di tas kecil yang akan kubawa. Di sampingku, Sekar juga sudah duduk.

“Siapa-siapa yang mau summit, ya?” Tanya dia sambil membenarkan kerudung.

“Loh, ini gak summit semua, ya, berarti?” Aku heran.

“Iya, aku enggak.” Tiba-tiba Kak Wanda menyahut, disusul Kak Tiara dengan jawaban yang sama.

“Berarti, perempuan aku sendiri?” Tanyaku bingung. Ngapain ke sini kalau gak summit, coba?

“Iya kayaknya, haha. Aku juga enggak, nih.” Ucap Sekar.

“Kak Nikhen, keluar dulu, yuk.” Robi lagi-lagi bersuara dari luar. Aku bergegas mengambil sepatu yang kuparkir depan tenda, lalu keluar.

Dan, wusss ….

Keluar tenda, seketika angin menerpa luar biasa, dingin sekali, dan angin masih saja sama seperti tadi malam. Tapi ada menyenangkan pagi itu. Di depan kami, membentang awan dan kabut yang menggantung di atas langit Wonosobo. Menengok ke kanan, Gunung Sindoro gagah berdiri. Semuanya begitu magis, meski tak bisa dimungkiri, dingin tak juga bergegas pergi.

 


Robi, Gobes, dan beberapa kawan lain juga berdiri menatap keindahan itu. Kami diam meski menggigil. Tersenyum meski capek. Sebuah keindahan yang tidak akan kami temukan jika hanya mendekam di balik jeruji tembok Ibu Kota.

“Rob, sini dulu.” Tiba-tiba Kama memanggil Robi dari dalam tenda yang letaknya ada di depan tenda perempuan. Tak lama setelah Robi pergi, senyumku hilang. Sayup-sayup kudengar apa yang Kama katakan ke Robi.

“Rob, jadi kita gak summit dulu, ya, hari ini. Teman-teman lain katanya gak mau summit, kondisi juga kurang memungkinkan.” Begitu Kama menerangkan.

Dalam hati, aku langsung tidak terima. Tim ini punya 13 orang, kita bisa bagi dua. Yang tidak mau berangkat summit, tidak perlu mengorbankan orang-orang yang mau berangkat. Sudah sejauh ini. Aku datang sejauh ini dari Gorontalo, capek-capek diterjang trek terjal luar biasa sejak kemarin, aku tidak mau “kalah” saat sudah di camp terakhir seperti ini.


Baca cerita sebelumnya: Memulai Pendakian, Lalu Terpaksa Melangkah Tanpa Sahabat | #Sumbing2


Sebenarnya jika ada yang sakit parah dan itu menjadi alasan kami tidak bisa summit, ya tidak masalah. Itu hal yang harus dipertimbangkan, memang. Tapi jika alasannya hanya karena yang lain tidak mau lagi bersusah-susah ke atas, aku tidak terima. Aku sudah melangkah sejauh ini. Setidaknya, begitulah yang kupikirkan saat itu.

Robi datang mendekat ke arahku, mengatakan apa yang Kama katakan sebelumnya, dan aku langsung menyembur Robi dengan ketidakmauanku mengikuti keputusan yang terkesan sepihak itu. Aku mau summit.

“Bentar, Robi panggil Gobes dulu. Kalau Robi, sih, mau juga. Sekalian nemenin Kak Nikhen. Kalau Gobes mau, kita pergi boleh, lah.” Robi pun pergi mengonsultasikan hal itu dengan Kama dan kawan-kawan lain di tenda. Kedinginan, aku memutuskan masuk ke tenda menghangatkan diri sebentar.

“Khen, kita tidak summit dulu, ya?” Tiba-tiba Kama berseru dari tenda sebelah.

“Kama, Iken sudah jauh-jauh dari Gorontalo, masak tidak summit?” Ujarku memelas. Aku benar-benar ingin pergi.

Kudengar Kama berdiskusi lagi dengan kawan-kawan yang lain, tapi sayup-sayup saja. Karena angin menderu kencang, aku tidak tahu apa keputusan yang mereka ambil.

“Jadi, siapa saja yang mau ikut summit?” Kama tiba-tiba keluar tenda dan bertanya lantang berusaha mengalahkan deru angin.

Aku, Robi, Gobes, angkat tangan lebih dulu. Aku tidak tahu apakah yang di dalam tenda ada yang angkat tangan atau tidak. Tak lama, Kak Akmal menyusul menyatakan kesediaannya ikut.

“Oke. Ayok, kita berangkat sekarang keburu siang!” Tegas Kama setelah menghitung jumlah orang yang akan ikut. Tapi, kulihat Robi tidak langsung bergegas. Dia masih berusaha membujuk agar Sekar ikut serta. Dua sejoli ini memang tidak bisa dipisahkan. Pada akhirnya, Sekar mengangguk setuju. Jadilah kami berenam.


Baca cerita sebelumnya: Perjalanan Panjang Jakarta--Wonosobo Untuk ke Kaki Gunung Sumbing | #Sumbing1

 

Kama dan beberapa kawan lain sudah berkumpul di depan plang Camp Gajahan. Aku buru-buru ke tenda mengambil tas sekaligus semua yang sudah kusiapkan tadi khusus untuk summit, lalu bergegas ke tempat berkumpul. Kami siap berjalan. Namun, di saat-saat terakhir, Kak Samsul menyatakan dirinya juga akan ikut. Oke, berarti kami bertujuh.

Pukul 05.37, kami pamit ke kawan-kawan lain yang tidak ikut, lalu mulai berjalan. Di tengah deru angin yang tiada berhenti dan suhu yang rendah sekali, kami memulai perjalanan menuju puncak.

Jalur awal menuju puncak adalah jalur penuh ilalang. Kami bahkan sampai kebingungan di mana harus menapakkan kaki. Semua jalur terlihat sama, beberapa kali Sekar yang berjalan di depanku sampai tersandung karena masuk lubang.

“Kayaknya ini bukan jalurnya, deh. Masak kayak begini.” Ujar Gobes saat kami tengah sibuk berkutat mencari jalur yang benar. Sementara itu, Kama, Kak Samsul, dan Kak Akmal sudah lebih dulu di depan.

“Iya, kayaknya ini salah, deh. Ntar, aku cari dulu.” Sahut Robi yang tepat di belakangku, lalu mulai melipir ke kanan mencari jalur. Aku, Sekar, dan Gobes diam di tempat.

“Oh, ini ada jalur, nih. Haha. Ayok sini aja.” Seru Robi. Dia menemukan jalur sebenarnya.

“Haha, pantas saja. Jalur tadi kayaknya cuma biasa dipake buat kencing doang, deh. Haha.” Ucap Gobes saat kami sudah menapakkan kaki di jalur setapak yang sebenarnya. Dan memang benar juga kata Gobes, tadi memang sama sekali tidak ada jalan. Sedangkan ini, jelas-jelas ada jalur tanah di tengah yang membelah alang-alang. Kami tertawa melihat Kama, Kak Samsul, dan Kak Akmal yang sejak tadi ribet sendiri lewat jalur “kencing”, haha.

Pendakian awal itu terhitung cukup menyiksa bagiku secara pribadi. Selain jalurnya yang langsung menanjak meski tipis-tipis, kami juga harus mengalahkan rasa dingin yang membuat wajah dan tangan ikut kebas. Untuk menghindari rasa dingin itu sebenarnya bisa menggunakan masker atau apa pun untuk menutup wajah, tapi bisa-bisa sesak napas. Sementara tangan kananku yang memegang tracking pole juga sengaja tidak kupakaikan sarung tangan karena cukup licin dan mengganggu. Benar-benar serba salah.

 

Robi.

Tapi aku tidak boleh mengeluh. Ini baru di awal pendakian, puncak masih sangat jauh. Aku yang sejak awal bertekad untuk tetap berangkat summit. Aku tidak bisa menyerah secepat ini.

Aku terus berjalan pelan-pelan, seperti biasa. Tiga enam langkah mendaki, lima detik berhenti. Begitu seterusnya, hingga akhirnya aku melewati Kak Samsul. Saat kutengok lagi, Kak Samsul pun sudah tertinggal jauh sekali. Kini Gobes sudah di depanku, begitu pun Kama.

“Ah, aku tidak lanjut lagi, deh.” Teriak Kak Samsul dari bawah tiba-tiba.

“Hah? Serius, Bang?” Tanya Robi.

“Iya. Aku balik.” Kak Samsul memutuskan dan langsung berbalik saat itu juga. Berarti, kami tinggal berenam. Semoga tidak ada lagi yang menyerah setelah ini.

Kami--aku tepatnya--masih berjalan pelan-pelan sekali. Target kami sekarang adalah mencapai plang Jalur Purba Tanjakan PHP. Ada sekitar 0,3 km dari Camp Gajahan tadi. Kami terus berjalan, memaksa diri di tengah riuh angin pendakian pagi itu. Kami lupa, bahwa ada satu hal paling penting yang kami lupakan sejak memulai summit attack. Hal yang akan begitu kami sesali nantinya.

Posisi kami kerap berubah sejak tadi, hanya Kama yang terus berada paling depan. Kadang aku menyalip Gobes lalu sebaliknya, begitu juga dengan Sekar dan Robi. Tapi lama kelamaan, aku semakin lambat. Bukan karena kian capek, kakiku justru semakin kuat karena semakin terbiasa. Tapi yang tidak bisa kubohongi adalah: perutku yang kian sakit dan aku mulai merasa mual, mag aku kambuh.

Mag aku kambuh, aku mulai merasa mual dan perjalanan jadi semakin terganggu. Aku jadi lebih banyak berhenti sekarang, dan aku jadi berada di posisi paling belakang. Untuk menyelamatkan diri, aku harus minum obat dan makan dulu sebelum lanjut lagi. Akhirnya kuputuskan berhenti, tidak peduli kawan-kawan lain sudah agak jauh di atas. Kucari gundukan yang cukup enak untuk diduduki, dan duduk membelakangi puncak.

“Kenapa, Kak?” Tanya Robi dari belakang.

“Mag aku kambuh. Aku harus minum obat dan makan dulu.” Lantangku tanpa membalik badan.

Rasa sesal mulai hinggap di dada, dan inilah yang kukatakan tadi: hal yang akan sangat kami sesali. Berani-beraninya kami tidak makan dulu sebelum berangkat summit. Padahal semalam juga kami makannya tidak terlampau enak karena riuh dingin dan angin. Untung saja aku sempat membawa dua sosis dan satu bungkus kokokrunch. Tapi aku tidak tahu, apakah kawan lain ada yang terpikir membawa camilan seperti aku? Jika tidak, mampus kami!

Aku minum obat mag, lalu semenit kemudian mulai makan sosis yang kubawa. Semua itu kulakukan sambil menyaksikan suguhan pemandangan yang mulai lebih jelas dari atas sini. Kabupaten Wonosobo terlihat kecil sekali dari sini. Awan-awan yang menggantung di atasnya pun bisa kusaksikan.

 


“Bisa, Kak?” Tiba-tiba Robi sudah muncul di sampingku. Aku hanya mengangguk, menghabiskan gigitan terakhir sosis, minum, lalu berdiri lagi. Semoga saja tadi itu cukup membantu.

Sisa pendakian menuju plang Jalur Purba Tanjakan PHP itu harus kulalui dengan rasa perih di perut dan mual yang tidak hilang. Aku benar-benar memaksakan diri. Kupikir, tadi aku sudah minum obat dan makan sebentar, tidak lama lagi rasa sakit ini akan berakhir. Aku bisa lah sampai puncak.

“Bentar lagi kita sampai pohon merah, itu tandanya. Ayok, Kak.” Seru Robi. Kutengok ke atas, Kama dan Gobes sudah di atas, tepat di bawah sebuah pohon yang satu-satunya berdiri di situ. Pucuk pohon itu berwarna merah, ternyata mereka menamainya pohon merah benar-benar dari apa yang diperlihatkan pohon itu.

Dan benar, 36 menit berjalan dari Camp Gajahan, akhirnya kami tiba di plang Jalur Purba Tanjakan PHP. Langsung ku empaskan pantat di situ, dan duduk mengatur napas. Magku berangsur-angsur pulih.

 


“Kok laper, ya.” Celetuk Gobes tiba-tiba.

“Iya, sama. Haha.” Sambut Kama. Kita semua benar-benar kelaparan, dan rupanya hanya aku yang membawa makanan meski sedikit.

“Nih, ada sosis tapi bagi-bagi, yaaa. Ada kokokrunch juga. Semoga cukup sampai kita di puncak.” Aku bagilah makanan-makanan itu ke mereka. Sedikit, tapi berharga sekali di kondisi saat itu. Yang bawa air juga cuma aku, Robi, dan Kak Akmal. Kami harus benar-benar berhemat.

Lima menit kami di situ, kami putuskan segera berjalan lagi, kali ini dengan target cepat tiba di Pos 3 Zoro di ketinggian 2900 mdpl. Hanya sekitar 0,3 km dari plang Jalur Purba Tanjakan PHP, cukup dekat, dan kini tenaga kami sudah selesai diisi lagi. Kami bisa cepat.

Benar saja, hanya 17 menit, kami sudah tiba di Pos 3. Tidak seperti pos-pos pada umumnya, Pos 3 ini tidak punya tanah lapang yang bisa untuk sekadar membangun tenda, bahkan untuk satu tenda saja. Pos ini murni hanya plang saja dengan satu pohon besar yang memang cukup nyaman untuk berteduh. Lepas dari itu, Pos 3 hanya berdiri tepat di pinggir jalur pendakian, hanya tempat untuk sekadar transit.

 


“Sebat dulu, ya.” Ujar Gobes saat kami tiba di Pos 3 itu. Aku, sih oke-oke saja, jadi punya waktu lebih lama untuk istirahat, haha.

Kama dan Kak Akmal juga sudah duduk di atas. Aku dan Gobes duduk di dekat pohon yang ditancap plang bertuliskan Pos 3. Sementara Robi dan Sekar masih jauh di bawah, mereka ketinggalan jauh.

“Kak Nikhen, kita foto dulu, ayok!” Seru Gobes tiba-tiba. Aku mengangguk. Akhirnya setelah itu lahirlah sesi foto-foto. Aku dan Gobes, aku dan Kama, aku Kama dan Kak Akmal. Mumpung view-nya lagi bagus juga. Kini dari Pos 3, tidak ada lagi halangan untuk melihat gagahnya Gunung Sindoro. Benar-benar menakjubkan. Wonosobo juga terlihat jelas sekali.

 

Aku dan Gobes.

“Coba lihat. Wonosobo teratur sekali, kan? Tiap kecamatan atau desanya itu kayak dipisahkan sama jalan-jalan ini.” Ucap Kama tiba-tiba sambil menatap Wonosobo di kejauhan. Jika dilihat, memang kayak ada distrik-distrik, pembatasnya, ya jalan yang ada itu. Dari sini terlihat bagus sekali karena tiap jalurnya itu seperti menyatu dengan jalur ke Gunung Sindoro yang menjulang. Cantik.

Kama, aku, Gobes, dan Kak Akmal.

“Jadi kayak lihat distrik-distrik di luar negeri, haha.”

“Eh, setelah ini masih berapa lama lagi, ya?” Tanya Kama tiba-tiba.

“Gak tahu, Bang. Ada di peta, tuh, tapi petanya sama Robi.” Celetuk Gobes.

“Nih, aku punya petanya, aku sempat foto kemarin.” Aku teringat kemarin sebelum pos 1 aku menyempatkan diri untuk mengambil gambar peta, jaga-jaga kalau lagi butuh dan Robi sedang tidak ada. Alhasil, kini itu terpakai. Robi jauh di bawah dan kami membutuhkan peta untuk melihat tujuan berikutnya.

Gobes pun melihat-lihat peta di hapeku itu dan mulai mengira-ngira waktu tempuh pendakian kami setelah ini.

“Ayok, kita semakin dekat. Kalau di peta ini tertulis jaraknya sekitar 0,6 km untuk sampai puncak. Gak lama lagi berarti.” Seru Gobes. Ada semangat dalam kalimatnya. Kami juga ikut semangat. Tidak lama lagi kami akan tiba di puncak.

Hampir 10 menit kami di situ, akhirnya kami mulai jalan lagi. Apalagi setelah menerima kabar dari Robi di bawah dalam bentuk teriakan kalau Sekar tidak sanggup lagi, jadi akan segera turun. Kami berempat yang tersisa berusaha menjadi lebih kuat.

Kini Gobes yang memimpin di depan. Disusul Kak Akmal, lalu aku, dan terakhir Kama. Jika kuperhatikan, sedari tadi Kama juga mulai kelihatan payah. Jalannya semakin lambat, bahkan lebih banyak berhenti dari biasanya.

Tujuan kami selanjutnya adalah plang Tanjakan Seginjel yang entah ada di ketinggian berapa, tidak tertulis di peta. Kini jalur yang sejak tadi penuh pasir berganti dengan bebatuan besar-besar. Pohon-pohon pucuk merah semakin banyak, udara semakin tipis.

Kami tidak banyak bicara lagi, juga tidak banyak berhenti. Terus berjalan sambil mengatur napas yang menderu. Semakin lama semakin cepat kami berjalan, ngebet sekali ingin cepa tiba di puncak.

Hanya 12 menit berjalan, kami pun menemukan plang Tanjakan Seginjel. Kami tidak berhenti lagi. Jalur semakin curam, bebatuan semakin banyak dan besar-besar. Beberapa kali kami menemukan jalur sempit sekali, beberapa kali juga ada jalur yang lebar hingga kami bisa berdiri tiga berjejer.

 


“Oy, oy!” Tiba-tiba kami mendengar teriakkan. Rupanya Robi. Apa dia menyusul kami setelah mengantar Sekar? Wah, cepat sekali dia kalau begitu. Saat itu, aku, Gobes, dan Kak Akmal sedang berhenti sebentar untuk minum air dan mengisi perut lagi. Kami semua kelaparan.

“Oy, oy! Ayok, sebentar lagi.” Teriak Gobes.

Di sela-sela itu, Kama tiba dan bertanya, “Masih ada sosis, gak? Setengah aja, gak usah satu.” Gobes dan Kak Akmal juga asik makan sosis, aku ngemil kokokrunch. Urusan perut ini jadi urusan paling serius di summit kami ini.

“Bang, ada makanan, gak buat Sekar?” Teriak Robi lagi. Oh, ternyata Sekar tetap ikut. Wah, hebat sekali masih bisa tahan.

“Ada, nih. Tapi cuma sosis!” Jawab Gobes lagi, masih dengan teriakan. Soalnya kami sama sekali tidak tahu Robi ada di sebelah mana. Bentuknya saja belum kelihatan sama sekali, berarti dia masih jauh.

“Iya, gapapa. Buat Sekar.”

“Oke!” Usai menjawab itu ke Robi, Gobes menatapku. Dia tahu, aku tinggal punya satu sosis. Gak ada lagi setelah itu. Tapi aku mengangguk. Kami harus berbagi untuk bisa sama-sama sampai puncak.

“Jadi, apa kita tinggalin sini aja, ya?” Tanyanya.

“Boleh, sih, tapi takut dia gak lihat, yak.” Gobes mengangguk setuju dengan perkataanku, tapi habis itu dia berteriak lagi ke Robi.

“Bang, kami taru di pinggir jalur aja, ya, sosisnya?”

“Oke, boleh.”

“Ini taru sini aja dulu habis itu diberatin pake batu.” Kak Akmal memberi usul. Dia menyodorkan tas kecil warna biru ke aku dan Gobes. Kuambil sosis, kuletakkan di dalamnya, lalu kami gantungkan tas itu di pohon kecil tepat di kiri jalur.

“Bang, ada di tas biru, kami gantung di sisi kiri jalur.” Gobes berteriak ke Robi memberi instruksi.

“Oke, siap.”

Pekerjaan selesai, kami melanjutkan perjalanan.

Jujur saja, semakin lama, kaki semakin berat untuk melangkah. Yang tersisa di dalam diri kini hanyalah tekad untuk bisa sampai puncak. Sudah sejauh ini, tidak boleh ada kata menyerah.

“Ayok, sebentar lagi puncak!” Tiba-tiba kami mendengar suara dari atas, dia dari tebing di sebelah kanan kami, sedang melambai-lambai. Wah, di situ puncaknya? Kami naik lewat mana, dong?


“Itu kayaknya Puncak Rajawali, Kak Nikhen. Kita ke sana aja.” Ucap Gobes seakan mengerti kebingunganku saat itu. Aku pun terus berjalan mengikuti Gobes.

Kami terus berjalan tanpa berhenti-berhenti lagi, juga tidak menoleh lagi ke belakang. Napas semakin menderu, kaki berdenyut, kepala sakit, tangan kebas, semuanya mulai muncul satu per satu. Ditambah lagi, perut sudah keroncongan sedari tadi. Di tasku, tinggal sedikit sekali kokokrunch yang tersisa. Ini menyebalkan.

Saat aku mulai menggerutu dalam hati, saat kaki semakin nyeri dan kepala semakin nyut-nyutan, kami menemukan jalur landai yang panjang sekali. Hei, kita sudah tiba di puncak?

Aku masih belum percaya, sebelum Gobes yang berteriak. Iya, nih, puncak. Kita sudah sampai puncak!

Itu pukul 08.14. Kegirangan, aku pun berlari-lari kecil ke arah puncak yang Gobes maksud. Di sana ada plang besar bertuliskan: Puncak Kekawah Gunung Sumbing Via Garung. Loh, terus yang namanya Puncak Sejati itu mana?

 


Aku bingung, tapi tetap senang. Setidaknya sudah sampai puncak. Aku pun langsung melepas jaket dan tas yang membebani punggung sejak tadi, siap untuk berfoto-foto ria sekaligus melepas penat pendakian. Tak lama, Kama dan Kak Akmal juga tiba. Selain kami, ada juga satu rombongan pendaki lain di situ.

“Bang, Puncak Rajawali mana, ya?” Tanya Gobes ke rombongan pendaki itu. Aku memperhatikan.

“Wah, Puncak Rajawali masih jauh banget, Mas. Sana, tuh, yang ada bendera merah putih kecil. Keliatan, gak?” Jawab pria itu sambil menunjuk ke arah kiri. Ya, kami melihat bendera merah putih itu, dan itu benar-benar jauh sekali dari sini. Gilak! Kupikir kami sudah sampai. Ternyata … wahhh. Apa-apaan ini. Kami kelaparan setengah mati, tidak mungkin bisa sampai sana.

“Kak, jauh banget Puncak Rajawali.” Ucap Gobes kepadaku.

“Iya, Bes. Kita gak ke sana, kan, ya?” Jawabku, mulai ngeri melihat jalur ke Puncak Rajawali yang sama sekali tidak bersahabat.

“Kalau Puncak Sejati, Mas?” Tanyaku lagi ke pria yang tadi. Aku berharap setidaknya Puncak Sejati bisa lebih dekat dan mudah kami gapai dari sini.

“Katanya, sih Puncak Sejati yang ini, Mbak.” Ujarnya sambil menunjuk tebing tinggi di depan kami. Oh, itu tempat si pendaki yang menegur kami tadi sebelum sampai Puncak Kekawah ini. Tetap jauh juga, dan treknya sulit sekali rupanya.

“Apa kita di sini aja, yaaa?” Ujarku mulai pesimis dengan kondisi saat ini.

“Kita tunggu Robi sama Sekar dulu terus kita ke atas, ya.” Ujar Kama tiba-tiba. Hhh. Kupikir penderitaan kami sudah selesai, ternyata masih ada lagi.

Berusaha menerima keadaan, aku memilih menikmati pemandangan saja. Indah sekali di sana. Pemandangan yang kami lihat di atas sini, bukan pemandangan yang bisa setiap hari kami saksikan. Aku tahu, summit yang melelahkan, pendakian yang menguras tenaga, selalu akan terbayar dengan pemandangan indah saat menapakkan kaki di puncak. Sayang sekali semua keindahan itu harus berkurang karena kami melihat banyak sekali vandalisme di mana-mana.

 


Batu-batu besar, tebing yang menjulang, banyak sekali yang kotor oleh tangan-tangan pendaki sok dan tidak bertanggung jawab yang suka mencoret-coret. Apa gunanya coba? Kami menyebutnya: nisan-nisan para pendaki sok.

 


Setelah foto-foto sebentar, kami berjalan agak mendekat ke jalur menuju Puncak Sejati, duduk di sebelah tebing yang bisa melihat langsung Kawah Gunung Sumbing. Angin menderu kencang, kawah di bawah sana terlihat tenang dan mengagumkan. Menyenangkan. Cukup membayar lelah sejak tadi.

Kawah Gunung Sumbing, di bawah sana.

Kami benar-benar sudah capek dan tidak mau terlalu banyak berdiam diri. Yang kami pikirkan saat ini adalah bagaimana agar segera tiba di Puncak Sejati, lalu turun dan makan sepuasnya di Camp Gajahan. Jadi saat Robi dan Sekar tiba, kami tidak mau berlama-lama lagi. Kami hanya menyuruh mereka foto sebentar di Puncak Kekawah, lalu langsung berangkat.

Perjalanan dari Puncak Kekawah sampai Puncak Sejati sebenarnya tidak terlampau jauh. Hanya saja, karena treknya luar biasa sulit--kami harus melewati tebing dengan bergelantungan di webing--akhirnya perjalanan itu terasa lebih panjang.

Kama berjalan paling depan berusaha mencari trek “paling mudah”--meski tidak ada yang benar-benar mudah di sini--alu Kama melempar webing ke arah kami. Begitu seterusnya.

Kami harus ekstrahati-hati melangkah di jalur yang penuh batu ini. Selain karena licin, di kanan kami juga jurang. Salah melangkah, jatuh risikonya.

“Khen, kayaknya enak, nih. Lumayan untuk menunda lapar.” Tiba-tiba Kak Akmal memberiku buah-buah kecil yang Ia petik dari pohon di pinggir jalur curam. Aku mencobanya, lumayan enak walaupun agak kecut. Kami berhenti di situ sekitar dua menit, menikmati buah-buah kecil itu, lalu berjalan lagi.

Hampir 23 menit kami berkutat dengan jalur esktrem itu, tiba-tiba saja kami sudah berada di sebuah tanah agak lapang dengan batu besar tepat di tengahnya.

“Selamat datang di puncak.” Sambut Kama yang sudah lebih dulu tiba dan duduk di sana.

“Loh, ini puncaknya, Kama? Serius?” Tanyaku tidak percaya.

“Iya ini puncak.” Kama menjawab sekenanya. Dia kelihatan sudah capek sekali. Seketika aku senang sekali. Secepat ini, ya? Haha. Ternyata gak terlalu jauh dari Puncak Kekawah tadi.

Aku kelaparan, jadi saat tiba langsung membuka kokokrunch yang tersisa sedikit sekali. Kusodorkan ke Kama, juga ke Kak Akmal, tapi Kak Akmal masih sibuk mencari-cari buah di pohon-pohon dekat kami. Tak lama, Gobes, Robi, dan Sekar juga tiba.

“Ini udah puncak?” Tanya Robi saat tiba. Kami mengangguk sekenanya. Iyalah, lalu di mana lagi?

“Kak, ini roti.” Gobes menyuguhkan roti ke arahku. Rupanya dia tadi sempat meminta camilan ke pendaki yang lain, haha.

“Tadi kelaparan, kan, terus diajak Sekar buat minta camilan ke pendaki lain di bawah tadi. Tapi pas aku udah di depan mereka, eh, ternyata Sekar gak ikut. Malu banget minta-minta makanan, sendiri pula, haha. Dasar Sekar, nih.” Gobes menggerutu, tapi pada akhirnya dia tertawa juga. Yang penting sudah makan, kan? Haha. Lumayanlah, rotinya enak.

Sementara kami mengobrol, menghabiskan kokokrunch dan roti, juga meminum air yang tersisa, Robi entah pergi ke mana. Tiba-tiba dia balik dan berseru, “Puncak di sebelah, guys, bukan di sini. Ayook!”

Kami semua kaget. Loh, di mana lagi puncaknya? Ini sudah kedua kalinya kami bahagia tapi pupus karena ternyata ini bukan puncak.

“Mana lagi, sih, Rob?” Aku menggerutu.

“Di sebelah, Kak. Beneran ini dekat banget, gak jauh sama sekali.” Dengan loyo, kami berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan Robi. Semua sudah lemas, tapi Robi berhasil meyakinkan kami.

Benar saja. Tidak sampai lima menit, kami tiba di sebuah tempat terbuka penuh bebatuan, dan di sana ada plakat bertuliskan Puncak Sejati 3371 mdpl. Ah, kali ini kami benar-benar berhasil sampai puncak.

Kama.

Kak Akmal.

Segala gundah dan capek luruh seketika saat kaki menapak di ketinggian 3371 mdpl itu. Kakiku gemetar, hatiku bergemuruh dengan rasa bahagia. Di depan sana, awan-awan bergelantungan manis sekali, sementara Gunung Sindoro berdiri begitu gagah menaungi Kabupaten Wonosobo di bawahnya. Kering sudah keringat pendakian sebelumnya, rasa lapar pun tak bisa menandingi gemuruh bahagia di dalam dada. Kami sudah tiba di puncak Gunung Sumbing. Kami berhasil!

Gunung Sumbing 3371 mdpl, terima kasih!



Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6