Memulai Pendakian, Lalu Terpaksa Melangkah Tanpa Sahabat | #Sumbing2
Baca cerita sebelumnya: Perjalanan Panjang Jakarta--Wonosobo Untuk ke Kaki Gunung Sumbing | #Sumbing1
Jumat, 1 Oktober 2021
Pukul 9 pagi, kabut masih turun tipis-tipis, udara dingin menerpa wajah. Syahdu sekali suasana kala kami mulai melangkahkan kaki pagi itu, memasuki jalur pendakian Gunung Sumbing yang cukup landai di awal.
Setelah anggota terakhir turun dari ojek yang mengantarnya tadi, kami langsung berkumpul membentuk lingkaran kecil, berdoa sejenak, lalu meneriakkan semangat untuk pendakian kali ini. Saat mulai berjalan, kami sontak langsung terbagi menjadi tiga rombongan. Rombongan depan: Robi, Sekar, Kak Wanda, dan beberapa lainnya, jalan lebih dulu. Rombongan tengah: Kama, Kak Akmal, dan beberapa lainnya lagi. Sementara aku, Bang Iqbal, Majid, Gobes, dan Kak Samsul berada di posisi paling belakang.
Jalur awal pendakian masih berupa jalan agak besar dengan kerikil-keriki yang tertanam di tanah merah. Sementara itu, perkebunan luas membentang di sebelah kanan jalur. Kami berjalan pelan-pelan sekali. Apalagi aku. Otot-otot yang cukup lama hanya rebahan, kaget dengan aktivitas yang tiba-tiba membuat “mereka” tidak nyaman ini. Aku harap otot-ototku bisa bekerja sama dengan baik. Setidaknya walaupun lambat, mereka harus tetap kuat untuk membawaku sampai puncak.
Ritme mendakiku adalah seperti ini: berjalan pelan 5--7 langkah, berhenti 3--6 detik, lalu berjalan lagi. Begitu seterusnya. Memang lambat, tapi itu cukup nyaman bagiku. Nanti semakin ke atas, langkahku akan bertambah banyak, dan waktu berhenti tetap di 3--6 detik. Awal pendakian seperti ini, aku hanya butuh banyak penyesuaian. Mungkin sampai pos 1 nanti.
“Ah, gila. Dua tahun gak muncak, cuk. Capeknya baru diawal.” Keluh Majid tiba-tiba dari belakang. Dia sedang berhenti dan berkacak pinggang.
Baca cerita perjalananku yang lain: Jalan-Jalan ke Bekasi, dan Menemukan Orang-Orang Baik | #Journey2021-11
Ya, terakhir kali Majid muncak adalah dua tahun lalu ke Semeru bersama aku dan Alm. Muqfy. Setelah itu, kehidupannya hanya dipenuhi drama akhir studi yang begitu panjang, hingga akhirnya dia pulang dan “terkurung” di Gorontalo, alias tidak bisa muncak ke mana-mana. Dua tahun kemudian, dia mendaki lagi ke gunung kedua tertinggi di Jawa Tengah, tanpa olahraga lebih dulu sebelumnya. Haha. Sudah jelas akan sesulit ini di awal. Tapi aku yakin dia bisa cepat beradaptasi. Toh, sejak pendakian-pendakian kami yang bisa kuingat, Majid tangguh sekali. Bahkan dia sering jadi porter jika berangkat dengan kawan-kawannya di Gerakan Mahasiswa Muslim Pencinta Alam (Gemmpa) Mojokerto.
“Ayok, semangat. Ini baru awalnya, sebentar lagi pasti terbiasa, Jid.” Aku hanya bisa jadi tim hore, menyemangatinya.
Aku tidak tahu seberapa panjang jalur sebelum Gardu Pandang--pos sebelum pos satu--dari gerbang tadi. Setiap kali mendaki, aku memang tidak terlalu perhatian dengan jarak antarpos. Aku takut terlalu banyak berharap akan cepat sampai jika tahu pos selanjutnya tidak terlalu jauh, dan takut akan cepat menyerah jika tahu pos selanjutnya jauh sekali. Satu-satunya alasanku suka cari tahu jarak antarpos adalah biar bisa kutuliskan lagi untuk menjadi panduan bagi kawan-kawan yang membaca tulisanku. Bukankah aku baik sekali? Hehe.
Kami terus berjalan. Kali ini semakin sering berhenti. Bukan karena aku yang cepat kelelahan. Jalur belum terlalu menanjak, jadi belum terlalu melelahkan dan menguras tenaga. Hanya saja, Majid semakin sering berhenti, lalu mengeluh. Tapi tidak masalah. Aku siap menunggu. Lebih enak juga, semakin lama berhenti, semakin bahagia otot-ototku, haha.
“Bisa, Bang?” Aku mendengar Gobes bertanya ke Majid. Majid hanya menggeleng dengan pertanyaan itu. Apa dia benar-benar lelah dan tidak mampu? Tidak mungkin.
Baca cerita perjalananku yang lain: Memulai Kehidupan di Jakarta | #Journey2021-8
“Khen, kayaknya gak mampu lagi.” Sahutnya saat tiba di depanku yang diam menunggunya sekitar lima langkah lebih jauh.
“Masak? Boleh. Ini masih awal, masih penyesuaian.” Majid hanya diam dan kembali berjalan pelan-pelan. Aku pun berjalan, pelan-pelan juga sambil bersenandung pelan.
Tapi, semakin aku mendaki ke atas, rasanya riuh di belakangku semakin tertinggal jauh. Senyap. Kutoleh ke belakang, wah, Majid jauh sekali. Apa aku yang terlalu cepat? Kurasa tidak. Aku sering sekali berhenti. Persis seperti ritmeku yang sebelum-sebelumnya. Di belakang sana, kulihat Majid dikerumuni oleh beberapa kawan lain. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kelihatannya serius sekali.
Saat itu kami sedang melalui jalur yang lumayan becek. Kerikil-kerikil tadi sudah berganti tanah liat becek di sana-sini. Aku memutuskan berhenti sejenak, menunggu mereka. Tapi lama kumenunggu, mereka tidak jalan juga. Ada apa, sih?
“Oy, aman?” Tiba-tiba kudengar Kama berteriak dari atas, entah sudah sampai di mana mereka.
Baca cerita perjalananku yang lain: Menekuri Keadaan Diri di Tengah Forum LK2 | #Journey2021-6
“Tunggu, Bang. Ini ada yang gak mampu.” Gobes yang menyahut. Mendengar jawaban itu, aku bertanya-tanya, siapakah yang tidak mampu? Majid? Serius?
Di tengah kebingungan itu, kuputuskan berjalan ke atas ke tempat Kama dan kawan-kawan lain. Biarlah aku menunggu di sana saja, sudah nanggung. Jalan yang kulalui setelahnya adalah turunan cukup terjal dengan kerikil-kerikil yang mencuat. Aku lalu melalui jembatan kecil, dan memasuki jalan setapak yang sudah dibeton, di situ jalur mulai menanjak tipis lagi. Aku tiba tidak lama kemudian disusul Gobes. Dia juga jalan lebih dulu ternyata.
“Majid kenapa, Khen?” Tanya Kama saat aku tiba di depannya.
“Gak mampu kayaknya, Kama. Sudah lama juga dia tidak mendaki.” Kama hanya mengangguk dengan jawabanku itu.
“Bang, nanti aku di depan aja, yaaa. Soalnya kan aku bawa barang banyak, nih, berat. Terus yang di belakang, kan jalannya lama. Takut aku keberatan nanti.” Ucap Gobes tiba-tiba di tengah hening kami mengatur napas.
“Oh, oke boleh. Jadi yang di belakang siapa?” Sahut Kama menanggapi.
“Itu katanya Bang Akmal bisa di belakang, Bang.”
Percakapan itu selesai. Berarti setelah ini akan ada pergantian pemain belakang. Ada hampir sepuluh menit kami menunggu, akhirnya Majid tiba, diringi Bang Iqbal dan Kak Akmal. Dia terlihat sudah payah sekali. Aku takut Majid tidak bisa lagi lanjut mendaki setelah ini.
“Jid, gimana? Masih boleh?” Tanyaku sesaat setelah dia tiba. Napasnya menderu, ngos-ngosan. Kehabisan tenaga, dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku tahu betul itu artinya apa. Dia tidak mampu lagi. Saat ditanyai kawan-kawan lain, dia juga tidak menjawab banyak. Hanya mengangguk atau menggeleng. Tidak jelas maksudnya apa.
“Oke, kami duluan, yaaa.” Sahut salah satu laki-laki yang kemudian aku tahu namanya Bang Anggi. Kak Wanda, Kak Tiara, dan beberapa lainnya juga bergegas menaikkan carrier ke punggung. Sejak tadi mereka memang berada di posisi paling depan.
“Oke, hati-hati.” Sahut kami yang masih bingung apakah akan lanjut mendaki dengan Majid, atau justru harus mengantarnya pulang dari sini.
“Santai, Bang. Kami nungguin.” Sahut Gobes tiba-tiba. Loh, dia masih di sini? Katanya tadi mau duluan?
Tapi aku tidak menyuarakan pertanyaan itu. Mungkin Gobes berubah pikiran. Sementara itu, Kama dan kawan-kawan lain juga sudah melanjutkan perjalanan. Tinggal aku, Majid, Gobes, Bang Iqbal, dan Kak Samsul yang di belakang.
Baca cerita perjalananku yang lain: Bersusah-susah Saat Screening, Bersenang-senang di Forum Kemudian (?) | #Journey2021-4
“Ayuk. Bisa ini.” Ucap Majid tiba-tiba. Kami hanya mengangguk dan mulai berjalan, kali ini berusaha lebih pelan untuk menyejajari langkah Majid.
Tapi, tidak sampai sepuluh menit lagi berjalan, Majid kini tidak bisa memaksakan diri lagi. Kami sempat berhenti sebentar di jalur yang ada undakan tanah agar bisa duduk nyaman, tapi Majid tidak bisa lagi dipaksakan. Kak Kiki dan Robi malah sudah menyusul menawarkan bantuan. Alhasil, sampai ke Gardu Pandang, Majid terpaksa harus berjalan dibopoh oleh Kak Kiki dan Kak Akmal, sementara carrier-nya dipikul sama Robi. Kalau sudah begini, rupanya Majid harus pupuskan keinginannya untuk tetap lanjut mendaki.
Lima menit dibopoh, Majid tiba di Gardu Pandang dan langsung duduk berselonjor. Kami berikan dia air, makanan, sekaligus obat kuat pahit yang sempat diberikan Kama kepada kami sebelum mendaki. Sementara aku dan kawan-kawan lain menggunakan kesempatan itu untuk melepas beban carrier di pundak.
“Tidak bisa dipaksakan lagi, Bang.” Sahut Kak Kiki menatap Majid. Dia hanya mengangguk.
“Iya, kalau dipaksa, semua bakal tidak mampu. Apalagi kamu.” Tambah Kak Samsul mengomentari. Aku hanya diam.
“Jadi gimana, Sahabatku. Tidak mampu lagi, ya?” Tanyaku setelah kami terdiam beberapa saat. Kini aku sudah duduk di samping Majid. Menatap dia yang kelelahan, aku merasa kasihan sekali. Seumur-umur mendaki dengan Majid, baru kali ini aku menyaksikan dia yang sepayah ini. Aku sampai tidak tega.
“Iya, Khen. Kayaknya tidak bisa lanjut. Harus turun. Majid tidak istirahat sama sekali memang. Tidak tidur sudah dua hari. Makan juga tidak teratur. Capek.” Sahutnya terlihat sangat kecewa.
“Iya, tidak apa-apa. Lain kali lagi. Kondisi ini tidak bisa dipaksakan.” Aku berusaha menenangkan sahabat baikku itu.
Baca juga cerita perjalananku yang lain: Belasan Jam di Atas Kereta, Hingga Lewat Suramadu | #Journey2021-3
Dengan keputusan itu, Robi dan Kak Kiki pun mulai berusaha menghubungi pos jaga di Bowongso via walkie talkie. Sayangnya, dari Gardu Pandang sini rupanya jaringan radio tidak sampai ke pos sana. Sudah dihubungi berkali-kali, tidak ada juga yang menyahut. Kami sempat meminta tolong petani yang sedang berkebun untuk mengantar Majid ke pos bawah menggunakan motor mereka yang terparkir tidak jauh dari Gardu Pandang, tapi petani itu menolak, tidak mau mengambil risiko. Katanya jalanan licin dan motor mereka tidak biasa mengangkut penumpan ber-carrier.
“Yasudah, nanti aku saja yang antar Majid ke bawah. Aku antar, trus kita berdua nanti di pos bawah saja, Jid.” Ucap Kak Kiki tiba-tiba. Kami semua langsung tidak setuju. Apaan? Kak Kiki mau mengambil kesempatan untuk tidak melanjutkan pendakian juga? Haha, tidak akan kami izinkan. Kami semua menggeleng tegas, dan Kak Kiki hanya tertawa menyaksikan respons itu.
Pada akhirnya karena tidak terpikirkan cara lain lagi, dan Robi memutuskan untuk mengantar Majid kembali ke gerbang tadi diikuti Kak Samsul, mumpung belum terlalu jauh, menurut versi mereka. Aku sih iya iya saja, selama Majid bisa segera “terselamatkan”.
Keputusan itu pun diambil. Kak Kiki dan Robi akan turun membawa Majid sambil terus menghubungi pos di bawah untuk meminta dikirimkan ojek ke atas, sementara kami yang tersisa akan menunggu Kak Kiki dan Robi di Gardu Pandang, sembari beristirahat. Kawan-kawan tim depan sudah lebih dulu sejak tadi.
Jika ditanyakan apa yang kurasakan saat itu, sebenarnya aku cukup kecewa. Majid benar-benar tidak jadi ikut, ternyata. Tapi mau bagaimana lagi? Kondisinya tidak bisa dipaksakan. Aku tidak mau jadi sahabat yang egois dengan memaksanya terus mendaki. Bisa-bisa dia pingsan.
“Khen, turun, yaaa. Maaf gak bisa ikut muncak.” Itu kalimat yang dilontarkan Majid saat dia akan turun tadi.
Tidak masalah. Ini jadi pembelajaran juga, bahwa mendaki itu memang bukan perkara mudah. Orang dengan track record yang sempurna seperti Majid saja bisa caos karena tidak ada persiapan yang memadai. Tidak olahraga, makan tidak teratur, malah tidak tidur juga dua hari.
Ya, semua ini jadi pembelajaran yang sangat berarti. Dari Gardu Pandang ini, aku akan melangkah tanpa seorang sahabat.
Comments
Post a Comment