Bertemu Badai Luar Biasa di Camp Gajahan | #Sumbing4


Baca cerita sebelumnya: Perjalanan Panjang Jakarta--Wonosobo Untuk ke Kaki Gunung Sumbing | #Sumbing1


Jumat, 1 Oktober, 16.37 WIB


Camp Gajahan sore itu awalnya nyaman dan tenang sekali. Matahari cukup terik menyapu kehidupan di bentangan tanah luas itu. Di depan sana, Gunung Sindoro mulai tampak, dibalut gumpalan awan.

Kulepas carrier yang sudah menyiksa punggungku sejak pagi tadi, lalu kuregangkan badan. Niatku setelah itu adalah ingin duduk-duduk santai di depan hamparan awan, menikmati senja dengan segelas cokelat atau sekadar air putih dan camilan. Tapi itu sekadar niat saja. Karena demi melihat tenda yang belum terpasang semua padahal itu sudah mau jam 5 sore, akhirnya kutawarkan diri untuk memasang tenda.


Baca cerita sebelumnya: Memulai Pendakian, Lalu Terpaksa Melangkah Tanpa Sahabat | #Sumbing2


“Kama, tenda mana lagi yang harus dipasang? Dan dipasang sebelah mana?” Tanyaku ke Kama yang kulihat sedang linglung di satu sudut.

“Hm?” Hanya begitu respons Kama atas pertayaanku. Kama kenapa, ya? Kelihatannya capek sekali, tapi masak iya sampai linglung begitu?

Aku pun berinisiatif mencari tenda sendiri. Tapi saat aku sedang bingung mencari, Kama berteriak, “Khen, tenda merah! Pasang di sebelah sana.” Teriak Kama sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari tenda-tenda yang sudah terpasang sebelumnya. Loh, ini tidak akan di lokasi yang sama? Tapi aku nurut saja dan langsung sigap mengambil tenda merah lalu menuju ke lokasi yang Kama tunjukkan tadi.

 

Baca cerita sebelumnya: Menyusuri Jalur-Jalur Terjal Gunung Sumbing, Hingga Tiba di Camp Gajahan | #Sumbing3


Sayang sekali, saat aku mulai akan mendirikan tenda, angin bertiup kian kencang. Tenda mulai berkelepak-kelepak di tiup riuh angin. Untuk ada Kak Akmal dan Robi yang ikut membantu. Setidaknya aku tidak menahan tenda itu seorang diri.

Cukup lama kami berkutat dengan dua tenda di sisi ini, karena angin yang kian kencang. Tenda merah bahkan hampir terbang, aku dan Robi terkantuk-kantuk mengejarnya. Secara keseluruhan, kami punya lima tenda yang berdiri sekarang. Satu tepat di depan jalur masuk Camp Gajahan, dua ada di gundukan tengah sekitar lima meter di belakang tenda pertama, dan dua lagi agak jauh ke sisi kiri.

Di tengah riuh memasang tenda, rombongan terakhir pun tiba: Bang Iqbal dan kawan-kawan. Mereka langsung duduk mengempaskan pantat, pasti capek sekali.

Usai membangun tenda, aku merapikan barang-barang pribadiku di dalam tenda yang katanya tenda khusus perempuan. Di dalam situ sudah ada Sekar, Kak Tiara, dan Kak Wanda yang rupanya sedang bersih-bersih dan pakai skincare, aku juga pengen, tapi kayaknya nanti aja, deh. Kusambar jaket dan kaus tangan, melapis kaus kaki menjadi dua, lalu keluar lagi. Angin sudah bertambah kencang, dan masih banyak hal yang harus diselesaikan.


Baca review buku dari blog aku: Crazy Rich Asians | #bookreview35


“Kama, apa lagi yang bisa Iken bantu?” Tanyaku ke Kama yang sedang duduk di depan matras berhampar logistik.

“Iken cari saja cara bagaimana biar semua piring itu punya lapisan buat makan. Kama lupa bawa kertas nasi.”

“Okai, Kama.” Piring yang dimaksudkan Kama memang bukan piring selayak pada umumnya. Ini hanya seperti rotan yang disulam berbentuk piring, sehingga masih butuh pengalas di atasnya. Kuputuskan untuk melapisi piring itu dengan tas plastik masing-masing satu. Berhubung aku bawa banyak. Cekatan, kuambil plastik dari carrier-ku di tenda, dan mulai melapisi piring satu per satu.

Saat aku sedang mengurusi piring-piring itu, kawan-kawan lain juga sibuk memasang flysheet untuk dijadikan dapur, walaupun menurutku secara pribadi, sangat tidak memungkinkan lagi untuk memasang flysheet di tengah angin yang membabi-buta seperti ini.

Alhasil, benar juga. Hampir 30 menit, flysheet belum juga terpasang. Terlalu berangin, flysheet terbang ke sana kemari tidak mau diam. Pasak juga sering kali lepas, apalagi tiang, beberapa kali roboh. Tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan sore itu, kami benar-benar dihantam badai. Tidak ada lagi cerita menikmati senja sambil minum cokelat dan ngemil. Tidak ada lagi cerita duduk berdiam diri sambil meyaksikan matahari terbenam di balik hamparan awan yang menggumpal. Semua caos. Kawan-kawan lain bahkan memilih berdiam diri di dalam tenda, menghangatkan diri.

 

Baca review buku di blog aku: Kudasai | #bookreview34


Ini sebenarnya hal yang selalu aku hindari: terburu-buru dalam pendakian. Sebenarnya kalau pendakian ini dilakukan selama tiga hari dua malam, akan lebih enak dan tenang, juga bisa lebih santai dan tidak riuh. Tapi lagi-lagi kembali ke jadwal awal. Aku tidak punya hak mengubah apa pun.

Matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam di ufuk barat, dan kami masih riuh menegakkan flysheet. Aku sudah selesai dengan pekerjaanku sejak tadi, dan menunggu pekerjaan selanjutnya yang ditugaskan padaku. Udara semakin dingin, angin semakin kencang. Badai ini tidak main-main.

Hampir satu jam berkutat, flysheet akhirnya berdiri juga meski tidak sempurna. Dia berdiri miring, saat kami duduk di dalamnya, kepala kami akan terantuk-antuk. Tapi bolehlah, daripada tidak sama sekali. Kami harus segera memasak agar bisa cepat istirahat. Malam ini kami akan berangkat summit.

“Kama, malam ini kita masak apa?” Seruku pada Kama yang tengah duduk di tenda kecil yang kami sebut “tenda dapur”. Tenda itu hanya muat satu orang dan kami letakkan berseberangan dengan pasak flysheet biar dia bisa sekalian menjadi penahan flysheet agar tidak mudah roboh. Hanya Kama yang duduk di situ. Kulihat, Kama juga sudah kepayahan dan kedinginan. Bahkan saat tengah riuh orang-orang memasang flysheet tadi, Kama sempat memanggilku dari tenda depan, meminta bantuanku untuk mengambil baju bersihnya di carrier milik Gobes. Kama juga tidak terlalu berdaya saat ini.

“Masak apa saja yang bisa dimakan.” Ujar Kama sayu. Lah, bagaimana? Bukankah harusnya sudah ada jadwal malam ini kita akan masak apa, lalu besok akan masak apa? Biasanya aku begitu di tiap pendakianku. Tapi ini tidak?

 

Baca review buku di blog aku: 5 cm. Aku, Kamu; Samudera, dan Bintang-Bintang | #bookreview33


Aku diam. Entah apa yang harus kulakukan. Bingung harus mulai dari mana, karena banyak sekali makanan berhamburan di sekeliling kami, kupindahkan cepat-cepat bersama Bang Anggi tadi saat flysheet sudah terpasang.

“Kita makan bebek sinjai aja, ya.” Seru Kama tiba-tiba. Aku mengangguk. Aku akan ambil itu sebagai bagianku.

“Iken masak nasi saja.” Ujar Kama saat aku tengah mencari-cari bebek sinjai.

“Iken goreng bebek saja, ya, Kama. Biar Sekar yang masak nasi. Lebih bagus kalau dibagi-bagi begitu.” Kama mengangguk.

Kami pun bekerja cekatan. Sekar mulai mencuci beras sekenanya, aku juga berniat memasang api untuk menggoreng bebek. Tapi entah mengapa dan bagaimana, di tengah kericuhan itu, tiba-tiba saja Sekar sudah mengambil alih goreng-menggoreng bebek, sementara nasi dibiarkan ke Kak Samsul. Padahal Kak Samsul mengaku tidak tahu menanak nasi pakai nesting seperti itu.

Karena itu, mau tidak mau aku juga berpindah tugas, menanak nasi. Kami ber-13, tidak cukup jika hanya menanak nasi di satu nesting, mungkin harus tiga atau empat. Kuajak Gobes, lalu kami mulai menanak di nesting satunya lagi.

 


“Ini makanan banyak banget, masak untuk besok semua? Goreng french fries aja juga, kali, yaaa?” Sahutku ke arah Robi dan Sekar yang tengah cekcok di depan kompor. Maklum, dua sejoli ini cekcok terus memang sejak dari bawah, kami sudah biasa mendengarnya.

“Boleh. Bentar abis goreng bebek ini kita goreng french fries. Aku mau sosis juga.” Respons Sekar. Aku mengangguk.

 


Malam terasa panjang sekali. Angin terus menabrak flysheet, tidak mau berhenti. Udara semakin dingin, padahal pakaian kami sudah berlapis-lapis. Dapur dadakan kami itu dipenuhi orang, kacau balau, tapi sudahlah, yang penting masakan cepat kelar.

“Khen, Sekar, Robi, Gobes, aku masuk duluan, ya. Gak enak badan. Nanti kalau udah masak, dibagi-bagi saja masakannya.” Ucap Kama tiba-tiba sambil berdiri. Kami hanya mengangguk. Sejak tadi Kama memang sudah kelihatan payah sekali.

Kami pun berusaha memasak dengan cepat, meski yang paling menghambat adalah karena kompor banyak tapi gas entah raib ke mana. Alhasil kami hanya bisa pakai tiga kompor.

Ada hampir dua jam kami berkutat dengan masa memasak, akhirnya selesai dan kami mulai membagikan makanan ke kawan-kawan lain. Mereka mengambil nasi, bebek sinjai, dan sedikit rendang, lalu membawa makanan itu ke tenda masing-masing. Yang tersisa di dapur dadakan itu pada akhirnya hanya kami yang memasak sejak tadi: Aku, Robi, Gobes, dan Sekar. Kami juga yang makan paling terakhir, dengan campuran kentang yang kami goreng usai menggoreng semua bebek sinjai tadi.

Masak hampir dua jam, kami makan tidak sampai 10 menit, haha. Kelaparan sekaligus kedinginan membuat kami benar-benar lapar sekaligus ingin cepat menyelesaikan pekerjaan di dapur. Kami ingin segera tidur.

 

Baca review buku di blog pribadi aku: Protes | #bookreview31


Usai makan, kami beres-beres sekenanya. Hanya makanan yang kami simpan di tenda selebihnya seperti perkakas dan lain-lain, kami biarkan berhamburan di dapur. Kami tidak peduli lagi seperti apa bentuk dapur itu, kami hanya ingin segera menyelamatkan diri dari dingin dan angin yang menyerang tiada ampun.

Pukul delapan malam, kami saling melempar salam pisah, lalu masuk menyelamatkan diri ke tenda masing-masing.

Tidak banyak yang kulakukan setelah di tenda. Hanya membersihkan badan sekenanya menggunakan tisu basah, salat, pakai koyo, lalu membungkus diri dengan dua kaus kaki dan kaus tangan, lalu menyusup ke dalam sleeping bag yang hangat. Sedap sekali setelah seharian penuh berjuang di jalur pendakian.

Sepanjang malam, kami terus dihantam badai. Tenda berkelepak-kelepak, badai di luar rupanya semakin serius. Tapi aku memaksakan diri untuk memejam mata. Pukul 3 dini hari, kami harus bangun untuk summit attack. Kami butuh energi yang cukup untuk itu. 

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6