Menyusuri Jalur-Jalur Terjal Gunung Sumbing, Hingga Tiba di Camp Gajahan | #Sumbing3


Baca cerita sebelumnya: Perjalanan Panjang Jakarta--Wonosobo Untuk ke Kaki Gunung Sumbing | #Sumbing1



Jumat, 1 Oktober 2021, 10.12 WIB

Sambil menunggu Robi dan Kak Samsul mengantar Majid, kami yang tinggal pun mulai bersiap, mengatur beberapa barang yang harusnya dibawa oleh Majid di carrier-nya ke carrier lain yang masih muat. Untung saja barang-barang itu tidak terlalu banyak. Hanya ikan fufu, dua botol air minum, dan seplastik piring. Kursi dan mejaku tidak kukeluarkan dari carrier-nya Majid, kupikir itu tidak terlalu penting untuk dibawa.

Lumayan lama menunggu dan Robi belum juga kembali, kami memutuskan untuk pergi ke pos 1 dulu dan menunggu mereka di sana sambil menyeduh kopi. Kata Kak Kiki, pos 1 tinggal sepelemparan batu saja. Tidak jauh. Kami hanya perlu melalui tanjakan kecil yang dilengkapi dengan tali ini, lalu di atasnya sudah ada pos 1. Kami pun bergegas.

Tak lama, tak sampai lima menit, kami sudah tiba. Benarkan itu pos 1? Jika iya, sungguh dekat sekali dari Gardu Pandang. Masak benar dia tidak sampai lima menit dari Gardu Pandang?

“Aku pikir masih jauh, kami ditipu, hahahaha.” Sahut Bang Iqbal saat tiba di sana.

“Iya, serius ini pos 1? Kirain masih lumayan jauh, eh, ternyata cuma naik aja? Wkwkwkw.” Kak Akmal menimpali. Aku hanya tertawa mendengarnya. Aku juga tidak membayangkan pos 1 akan sedekat itu dari kami sejak tadi.

 

Baca cerita lainnya: Mulai Menikmati Forum, Hingga Jadi Kepala Suku | #Journey2021-5


Akhirnya kami melepas carrier lagi, duduk santai, lalu Kak Kiki, Gobes, dan Kak Akmal mulai menyeduh kopi. Di situ kami menemukan semacam warung kecil tapi tidak ada penjualnya. Cukup untuk sekadar duduk dan ngopi enak.

“Bes, ayok, Bes. Seduh kopinya.” Perintah Bang Iqbal ke Gobes yang memang paling muda di antara kami semua.

“Siap, Bang. Aman.” Jawab Gobes dengan nada khasnya.

“Nah, ini kok apinya gak keluar, ya, Bang?” Sahut Gobes tiba-tiba saat kami semua sedang diam menikmati kabut dan pucuk pohon yang membentang di bawah sana.

“Aduh, Gobes, nih. Saya ini sarjana perapian. Sini, saya bikin.” Ucap Kak Akmal sok sekali. Kami semua tertawa dibuatnya, Gobes juga.

“Tuh, kan jadi. Saya ini sarjana perapian, jadi kasih saja ke saya ini yang begini.” Ujar Kak Akmal lagi saat api sudah menyala. Kami semua tertawa lagi. Ada-ada saja Kak Amal. Mana ada sarjana perapian? Memangnya avatar? Belajar pengendalian api, haha.

“Bukan begitu, Gobes. Kopinya itu harus sesuai takaran. Saya ini sarjana perkopian. Mari sini.” Kami tertawa lagi, hahahaha. Tadi sarjana perapian, sekarang perkopian. Habis ini apa lagi?

 

Baca ceritaku yang lainnya: Kisah Sesak di Awal Perjalanan | #Journey2021-1


Sepanjang istirahat itu, kami kerap tertawa dengan celetukan Kak Akmal, dan gumaman Gobes yang rasanya sejak tadi salah terus. Di sela-sela itu, Bang Iqbal juga asyik bercerita soal dirinya dan betapa dia sangat menikmati saat-saat seperti ini setelah sepekan penuh dijejali pekerjaan kantor yang membosankan. Hingga Robi dan Kak Samsul datang, Kak Akmal sudah menjadi sarjana perapian, sarjana perkopian, sarjana perkomporan, dan banyak lagi, haha.

“Ayok, kita ngejar pos 1, yuk.” Tiba-tiba Robi bersuara memecah keheningan.

“Loh, ini bukan pos 1, Rob?” Sahut Bang Iqbal bingung. Aku juga bingung. Dari tadi, kami percaya ini pos 1, ternyata bukan?

“Bukan. Ini mah masih masuk Gardu Pandang. Tapi ini gak jauh lagi, kok, tinggal 0,4 km. Kita bisa cepat sampai sana.” Ucap Robi tanpa rasa bersalah. Kami semua langsung lemas. Sejak tadi, kami berharap ini pos 1 dan setelah ini kami tinggal menuju Plalangan dan makan semangka di sana. Eh, ternyata belum pos 1, toh.

Mengetahui hal itu, kami pun bergegas. Saat itu sudah pukul 11 kurang 15 menit menit. Robi langsung mengambil posisi sebagai leader, aku menyusul, dan Gobes di urutan terakhir.

 

Baca juga: Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)


Di jalur awal ini kami langsung bertemu tanjakan becek yang penuh undakan. Nah, penyiksaan sudah dimulai? Pendakian itu pun diringi dengan waktu berhenti yang lebih banyak daripada mendakinya, haha. Tapi tidak mengapa. Kami sudah melabeli diri kami sebagai pendaki santuy.

Tapi ternyata Pos 1 memang dekat. Hanya 11 menit kami berjalan melewati beberapa gundukan, tanjakan, dan satu jalur landai, akhirnya kami tiba di Pos 1 Taman Asmara, di ketinggian 2.064 mdpl. Kami hanya duduk sekitar lima menit di situ, lalu langsung jalan lagi menuju Plalangan. Jarak dari Pos 1 ke Plalangan sekitar 0,6 km. Dekat sekali, bukan? Tapi jangan salah. Itu jarak jalurnya, tapi kita tidak tahu trek seperti apa yang akan menunggu nanti, haha.


Berjalan dari Pos 1 ke Plalangan, kami langsung dihantam lagi dengan tanjakan. Mana ada yang bilang pendakian via Bowongso “ramah di dengkul”? Rasanya bisa jadi sama menyakitkan dengan jalur lain. Ini tetap gunung yang treknya menanjak dan membuat dengkul lemas.

Kami pun semakin banyak berhenti, dan saling melemparkan lelucon sesekali. Lepas dari itu, kami sibuk mengatur napas dan ritme langkah masin-masing. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selain “bertahan hidup”.

Pukul 11.31, kami  harus melalui tanjakan curam, yang untungnya sudah dilengkapi tali sebagai penahan bagi kami. Katanya, sih, kalau sedang hujan, jalur ini bisa jadi becek sekali dan susah untuk dilewati. Untung saja waktu kami mendaki itu sedang musim kemarau.

11.48, kami akhirnya tiba di Plalangan. Kawan-kawan lain sudah menunggu di situ, dan rupanya mereka sudah tiba dari tadi, melihat beberapa matras sudah teralas sempurna, bahkan ada yang sedang berbaring. Enak sekali.

 


Di Plalangan itu kami beristirahat cukup lama. Sesuai jadwal, kami akan makan semangka di sini. Dan, ya. Saat Robi tiba--kebetulan Robi yang membawa carrrier berisi logistik termasuk semangka--semua langsung menagih janji semangka itu. Rupanya sejak tadi semua sudah menunggu kedatangan semangka segar yang pasti akan nikmat sekali dimakan di tengah peluh saat pendakian seperti ini.

Aku melepas carrier dan duduk berselonjor di depan kayu besar berhadapan dengan tim Kak Wanda. Bersandar di carrier sambil menikmati air dari botol minum, rasanya nikmat sekali. Tiada dua.

Di depan sana, Robi tengah sibuk memotong-motong semangka untuk dibagi kepada kami semua. Kuperhatikan, semangka itu merah merekah isinya, begitu menggiurkan di tengah terik kala itu.

“Ini, nih, semangka. Ayo, dibag-bagi.” Ucap Robi kemudian setelah semangka sudah dipotong kecil-kecil.

Kami berebut bagai anak kecil yang dapat mainan mobil-mobilan. Dan ketiga gigitan pertama semangka masuk ke tenggorokan, ahhh, segar sekali. Surga dunia. Haha. Semangka memang paling nikmat di saat pendakian seperti ini. Aku jadi ingat pendakian ke Semeru 2019 lalu. Di pos jalur pendakian Semeru itu pasti selalu ada warung yang menjual semangka. Walau agak mahal--Rp3 ribu--satu potong, kami tetap saja selalu membeli tiap kali tiba di pos, haha.

 


Hampir 20 menit kami istirahat lalu kembali berjalan. Tujuan kami selanjutnya adalah Pos 2 Bogel yang jaraknya 0,5 km dari Plalangan. Bagaimana treknya? Sungguh menyiksa. Haha.

Saat mulai berjalan, secara otomatis kami terbagi jadi tiga tim lagi. Dan seperti biasa, aku ada di tim belakang bersama Bang Iqbal, Gobes, Kak Akmal, dan kami ketambahan Kak Heri dan Bang Anggi. Dari Plalangan, kami dapat bonus sekitar 1 meter jalur landai, lalu mulai menanjak lagi.

Tapi sayang sekali. Belum sampai 10 menit berjalan, kaki Kak Akmal tiba-tiba menegang, urat-uratnya menegang dan sakit sekali untuk dipakai berjalan. Aduh, bagaimana ini? Kami pun berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memberi koyo dan hot cream.

Memang, ya, di pendakian seperti ini apa saja bisa terjadi. Yang kuat mendaki sejak lama, bisa tumbang seperti Majid. Yang sedang baik-baik saja sedari tadi, terus melawak, bisa tiba-tiba kehilangan keseimbangan karena urat menegang seperti Kak Akamal. Lalu, apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Entahlah. Di gunung, apa saja bisa terjadi. Itu mengapa setiap pendaki harus selalu siap dengan segala konsekuensi, juga siap dengan berbagai perlengkapan untuk menyiasati kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan datang di depan.

Karena uratnya menegang, Kak Akmal semakin pelan berjalan, dan kami pun begitu, terus mengiringi langkahnya. Sebenarnya bagi kami ini bukan masalah besar. Kami bisa saja menunggu terus, berlama-lama di jalur pendakian, tapi yang jadi beban pikiran bagi kami adalah: tim depan mungkin sudah tiba di Pos 2, dan kita harus segera masak memasak, sementara beberapa perlengkapan ada di salah satu carrier milik anggota tim belakang ini.

Tapi mau bagaimana lagi? Kami harus tetap saling menunggu.

Akhirnya, perjalanan menuju Pos 2 yang hanya 0,5 km itu terasa lama sekali. Kami sering kali berhenti karena Kak Akmal merasa perlu mengoleskan hot cream lagi dan lagi. Melihat kesulitan Kak Akmal itu, pada akhirnya Bang Anggi dan Kak Heru berinisiatif untuk membantu membopoh carrier milik Kak Akmal.

 


Di perhentian pertama, Bang Anggi berusaha menaikkan carrier Kak Akmal di atas carrier-nya. Tapi baru berjalan beberapa langkah, carrier yang di atas itu miring dan hampir jatuh. Akhirnya berhenti lagi untuk memperbaiki. Ada kira-kira sekitar tiga kali kami berhenti hanya untuk memperbaiki posisi carrier yang lagi-lagi hampir jatuh itu, padahal kami sudah berusaha mengikatnya sesempurna mungkin, bahkan sudah dibantu oleh Kak Heri dengan menahannya dari belakang saat Bang Anggi mulai berjalan. Tapi tetap tidak bisa.

Di tengah keriuhan itu, kulihat Kak Akmal begitu merasa bersalah. Aku juga jika di posisi itu, pasti akan sangat merasa bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Kondisi tidak memungkinkan untuk Kak Akmal memaksakan diri membopoh carrier-nya sendiri.

Tidak berhasil dengan carrier yang disusun dua seperti itu, Bang Anggi dan Kak Heri berinisiatif untuk membopoh carrier itu mengunakan trecking pole. Dicoba sekali, ternyata lebih sulit.

 


Hampir menyerah dengan semua cara yang sudah dicoba, akhirnya kami memutuskan untuk meminta pertolongan dari tim depan. Aku, Bang Iqbal, dan Kak Samsul berinisiatif untuk pergi lebih dulu dan meminta bantuan di Pos 2.

Dan ternyata … Pos 2 masih lumayan jauh. Gilak sih, tapi kami tidak bisa mundur lagi. Hampir 30 menit kami berjalan usai meninggalkan Kak Akmal dan kawan-kawan lain, akhirnya kami sampai di Pos 2 dan langsung melaporkan kondisi Kak Akmal di bawah. Beberapa orang pun langsung turun membantu.

Di Pos 2 dengan ketinggian 2438 mdpl itu kami istirahat, masak lalu makan, salat, dan meregangkan badan sebelum melanjutkan pendakian ke Camp Gajahan. Ya, kami akan langsung ke pos terakhir, untuk summit sebentar malam.

Sebenarnya jika mau menuruti mauku, aku tidak mau terburu-buru begini saat pendakian. Dua hari satu malam? Cepat sekali menurutku. Kami hanya akan camp satu kali, dan besok langsung turun. Sangat terburu-buru, entah apa yang bisa dinikmati lagi nanti. Tapi, aku tidak bisa memaksakan kehendak saat timku yang berjumlah 13 orang ini sudah sepakat sejak awal bahwa mereka harus turun dari Gunung Sumbing pada hari Sabtu biar Minggu sudah tiba di Jakarta. Maklum, orang-orang kantoran yang hanya punya waktu libur di akhir pekan saja. Karena aku minoritas, aku ikut jadwal yang ada. Apalagi, aku “orang baru” di sini.

Siang itu terik sekali, tapi hawa dingin terasa sampai tulang-tulang. Aku bahkan harus mengeluarkan jaket dan membungkus diriku hingga kepala. Saat mengambil wudu, kurasakan air itu bagai air dipenuhi batu es yang merasuk hingga persendian. Tangan, kaki, dan wajah kebas seketika.

Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, dan tim memasak masih sibuk menggoreng ini itu. Sejujurnya aku sempat kaget tadi karena mereka langsung main goreng sosis, nugget, dan aneka gorengan lainnya tapi sama sekali tidak menanak nasi. Sejak awal pendakian, aku mengartikan “istirahat panjang di Pos 2” itu adalah benar-benar makan makanan berat. Tapi ternyata kami hanya makan gorengan-gorengan itu yang dibagi ber-13. Lumayan mengganjal perut, tapi aku masih lapar hahaha.

“Oke. Aku, Robi, dan teman-teman lain duluan ke atas, yaaa, biar kami langsung pasang tendanya.” Seru Kama usai kami makan sekitar 3 sosis dan 4 nugget--kurang lebih.

Aku mengangguk. Usai Kama, Robi, dan beberapa orang lainnya jalan, kami langsung bergegas membersihkan perkakas yang dipakai buat memasak tadi, dan membersihkan lokasi itu dari sampah.

Tak lama, kami pun bergegas. Kini di tim belakang ada aku, Kak Akmal, Gobes, Bang Iqbal, Kak Heri, Bang Anggi, dan Kak Samsul. Dari Pos 2 ke Camp Gajahan kami harus melewati trek sepanjang 0,7 km, lebih jauh dari yang sudah-sudah.

Jalur dari Pos 2 Bogel menuju Camp Gajahan adalah jalan setapak menanjak yang dipenuhi alang-alang di sisi kiri kanan jalan. Tak jauh dari turunan awal keluar dari Pos 2 lalu naik sedikit sekitar 5 meenit kami menemukan sepetak tanah yang sangat luas dan terbuka, mungkin di sini sering jadi tempat camp juga, meskipun di lokasi kami istirahat sebelumnya kayaknya bakal lebih nyaman karena banyak vegetasi yang bisa menahan terpaan angin. Meskipun begitu saat kami lewat, tidak ada satu pun tenda di situ.

Usai melewati tanah lapang yang luas itu, kami sempat bingung akan melangkah ke mana. Ada dua jalur, kanan dan kiri yang dua-duanya tampak seperti bukan jalur pendakian. Lalu ke mana? Saat itu baru aku dan Kak Akmal yang tiba di “pertigaan” itu. Karena kaki Kak Akmal masih sakit, kuminta Kak Akmal berdiam saja di pertigaan tadi, selagi aku mencari jalur. Kubelok ke kanan dan berjalan lumayan jauh, tidak kutemukan jalur di sana. Hanya ilalang-ilalang yang kebanyakan bengkok karena sering diinjak. Tempat itu mungkin sering dijadikan tempat buang air oleh para pendaki. Berarti itu bukan jalur.

Tapi saat kutengok ke jalur kiri, aku juga tidak menemukan jalan setapak di situ. Lalu kami harus ke mana, ya? Akhirnya kami putuskan menunggu Bang Anggi dan kawan-kawan lain saja. Mungkin mereka lebih tahu.

“Kenapa, Khen?” Tanya Kak Heri saat tiba dan melihat kami diam melongo di pertigaan itu.

“Gak tau jalurnya yang mana, Kak. Bingung. Tadi Nikhen sudah cek, tapi, yaaa, gak nemu.”

Kak Heri tidak menggubris perkataanku, tapi langsung pergi melihat jalur yang kusebutkan tadi. Kuperhatikan dia dari jauh, dan rupanya dia juga kebingungan seperti aku tadi. Jalurnya memang tidak terlihat jelas.

“Oy, oy.” Kak Anggi dan Bang Iqbal mulai teriak-teriak, siapa tahu tim depan bisa mendengar kami dan memberitahukan jalannya. Tapi sudah beberapa kali teriak, tidak ada respons yang berarti.

“Kayaknya yang ini. Ayuk lewat sini.” Akhirnya Kak Heri berseru. Dia sudah mengambil keputusan setelah ke sana kemari melihat jalur yang membingungkan itu.


Ada review buku juga: Perempuan dan Kehidupan yang Menyesakkan | Kim Ji-yeong #bookreview28


Kami pun berjalan mengikuti jalur yang ditunjukkan Kak Heri tadi, aku paling depan. Tapi semakin kami berjalan, jalur semakin sempit hingga hilang sama sekali

“Tidak ada jalur di sini, Kak.” Teriakku sambil membalikkan badan. Kawan-kawan di belakang melongokan kepala berusaha melihat ketiadaan jalur yang kumaksudkan.

Berarti, hanya ada satu jalur tersisa. Jalur kiri yang tadi kami abaikan. Kami pun berbalik, menuju sana, dan ternyata benar. Di balik semak yang tinggi, ada jalur setapak kecil mencuat di sana. Pantas saja kami tidak melihatnya dari tadi. Karena hanya mengira-ngira dari jauh--karena memang rasanya tidak mungkin ada jalan di sana--kami tidak bisa melihat jalan yang tersembunyi itu.

“Maaf, yaaa. Saya salah, hehe.” Ucap Kak Heri merasa agak bersalah. Kami hanya senyum-senyum, canggung harus membalas ucapan maaf itu.

Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan panjang membosankan yang seperti tak ada habisnya. Kami melewati tanjakan demi tanjakan yang seperti tak berujung. Di sisi kiri kanan jalan masih penuh ilalang, tapi tidak tinggi. Cukup bagi kami untuk bisa melihat keindahan di bawah sana, di jalur yang sudah kami lalui sejak tadi. Kini, kami sudah di ketinggian 2500-an mdpl. Perjalanan sudah sangat jauh, tapi entah mengapa tenaga kini rasanya sangat terkuras.

Kak Samsul kini sudah berada di depan, agak jauh. Aku dan Kak Akmal berdua di tengah, sementara Bang Iqbal, Kak Heri, Bang Anggi, dan Gobes berada paling belakang. Teriknya matahari membuat peluh bercucuran, ini sungguh tidak mudah.

 

Review buku lainnya: Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi | #bookreview24


“Kamu tahu, Khen, terakhir kali 2015, baru kali ini lagi aku mendaki. Rasanya capek sekali.” Sahut Kak Akmal tiba-tiba saat kami sedang berhenti sejenak.

“Serius, Kak? Wah, sudah lama sekali.”

“Iya, ini bahkan harus melewati proses perizinan yang sangat panjang dulu baru bisa ke sini. Dan kamu tahu? Baru kali ini aku pakai beginian saat mendaki.” Ujar Kak Akmal sambil memperlihatkan trecking pole padaku. Aku tertawa.

“Dulu, mah, tidak ada yang kayak gini. Pakai kayu saja kami sudah merasa lebih dari cukup.”

“Iya, ya dulu belum ada yang beginian. Kalau Nikhen, mah, mendaki tidak pakai trecking pole rasanya susah, hehe. Sudah ketergantungan sama barang satu ini.” Kak Akmal hanya nyengir mendengar itu.

“Kamu sudah lama suka naik gunung, Khen?” Tanyanya tiba-tiba setelah kami terdiam cukup lama, mengatur napas kembali.

“Belum lama, Kak. Baru 2015, hehe.”

“Wah, itu mah sudah lama, Khen. Sudah enam tahun itu.”

“Hehe, yaaa gitu deh, Kak. Hobi aja. Suka. Padahal awalnya cuma dipaksa sama temen. Sama Majid, tuh, yang tadi.”

“Padahal capek, ya, Khen, naik gunung?”

“Iya, capek banget, Kak. Tapi entahlah, ya, banyak banget pelajaran berharga yang Nikhen dapat setiap kali pergi mendaki. Kayak gak ada yang rugi gitu kalo mendaki. Padahal, ya, kalau orang-orang yang gak suka mendaki pasti mikirnya ngapain sih kita pergi mendaki, gak guna. Hahahaha.”

“Iya juga, ya.” Kak Akmal menjawab itu sambil tersenyum-senyum menerawang, seperti ada yang dia pikirkan. Mungkin sedang merenungi juga, mengapa dia naik gunung?

“Yuk lanjut lagi, Khen.” Aku mengangguk lalu mulai berjalan pelan-pelan lagi. Tiga belas menit berjalan, kami ketemu Kak Samsul. Dia sedang duduk berselonjor kaki di gundukan tanah agak luas. Kami juga memutuskan berhenti--lagi.

“Bentar, yaaa, aku mau boker dulu, hehehe.” Ujar Kak Samsul tak lama setelah kami tiba.

“Eh, Kak, bentar.” Aku mencegatnya, Kak Samsul terhenti dengan wajah bingung.

“Mau minta air dulu, Kak, hehehe.” Ujarku dengan wajah polos.

“Hu kirain apa. Haha. Padahal kan boleh pas aku balik aja, Khen.”

“Ya, kan itu Kak Samsul mau boker pake air itu juga. Gak mau.” Aku tertawa-tawa mengucapkan itu, Kak Samsul dan Kak Akmal juga.

Tak lama setelah Kak Samsul pergi boker, Bang Iqbal dan kawan-kawan tiba di tempat kami. Tanpa basa-basi, Bang Iqbal langsung duduk dan melepas carrier, begitu juga dengan Gobes, Kak Heri, dan Bang Anggi. Kami semua duduk asyik menikmati sepoi angin meski cahaya matahari terik sekai.

Sekitar sepuluh menit istirahat, kami jalan lagi. Aku dan Bang Iqbal di depan, Kak Akmal dan kawan-kawan lain menyusul di belakang. Kami berjalan dengan ritme lambat seperti biasa, tapi aku tidak menoleh ke belakang sedikit pun selama hampir lima belas menit. Aku bertekad ingin cepat tiba, meski sering kali berhenti di jalur pendakian. Lalu tiba-tiba kusadar, napas menderu milik Bang Iqbal sudah tidak terdengar lagi di belakangku. Apa Bang Iqbal ketinggalan? Apa aku terlalu cepat berjalan?

Kutengok ke belakang, yap! Benar saja. Sudah tidak ada orang di belakangku. Bagaimana ini? Ku melongok ke jalur di belakang, ternyata Bang Iqbal sedang duduk. Kawan-kawan yang lain juga berhenti. Aku ikut berhenti menghadap ke mereka meski jarak antara kami sudah jauh sekali.

 

Kurasa tubuhku mulai gemetaran, dengkul dan punggung pegal sekali. Kapan, ya, akan tiba? Kutengok jalur di depan, jalur alang-alang ini masih cukup panjang sekitar empat meter lagi, dan setelah itu ada bukit terjal yang harus dilalui.

Kuputuskan berjalan pelan-pelan ke sana. Toh, di belakang mereka banyak sekali, Bang Iqbal atau siapapun di belakang sana tidak berjalan sendirian.

Sekitar sepuluh menit menghabiskan jalur ilalang, aku mulai naik ke bukit terjal. Benar-benar terjal dan berpasir, takut sekali aku jika terlepeset. Lututku yang kemarin luka karena kecelakaan belum sembuh betul, kalau kejedot, masih sakit sekali rasanya. Itu saja yang kujaga sejak tadi.

 


Aku juga sudah melihat Kak Tiara, Kak Wanda, dan satu kawan laki-laki mereka di depan sana. Hal itu mampu mengisi semangatku. Aku pun berjalan lebih cepat.

Sejujurnya jalur terjal itu tidak terlampau jauh. Hanya satu bukit kecil. Yang membuat kami lama mendakinya adalah karena pasirnya yang licin, dan tingkat kemiringannya yang aduhai. Aku jadi lebih banyak berhenti dari sebelumnya. Tapi tidak masalah. Ini bisa terlewati.

Sungguh pendakian itu rasanya sulit sekali. Semakin lama carrier di pundakku semakin terasa berat, dan punggungku mulai perih. Kak Akmal sampai bisa cepat menyusulku, dia tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku memang menjadi sangat lambat dibanding sebelum-sebelumnya.

Dengan sisa-sisa tenaga akhir yang hampir habis, kupaksakan diri. Aku menghibur diri dengan bersenandung pelan, dan berusaha melempar lelucon kek Kak Akmal di bawah yang juga terlihat begitu kepayahan.

“Cobaan apa lagi ini, Ya Tuhan!” Teriakku kencang sampai Kak Wanda dan Kak Tiara di atas berhenti dan tertawa sejenak. Kak Akmal juga.

“Cobaan hidup yang amat menyiksa!” Ucapku lagi, dan merak tertawa lagi. Cukuplah itu menjadi penghiburan paling sempurna.

Pada akhirnya, jalur itu benar-benar berhasil kulewati. Pukul 16.27, aku tiba di Camp Gajahan 2600 mdpl. Benar-benar tiba. Hamparan tanah lapang dihiasi ilalang di beberapa sudut, menyabutku, diiringi cahaya matahari yang cantik. Aku sudah tiba. 


Senja di Camp Gajahan.

Bersambung ....

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6