Menghilang ke Timor | #bookreview41

 

Judul: Frustasi Puncak Gunung

Penulis: Ashadi Siregar

Penerbit: Gramedia

Tahun terbit: 2018

Ketebalan: 224 halaman

ISBN: 9786020383996


Herman adalah mahasiswa kedokteran hewan yang lebih suka naik gunung ketimbang terlibat dalam urusan organisasi mahasiswa atau berada di suatu pesta. Saat dirubung gadis-gadis karena kemahirannya menyanyi, dia merasa mereka terlalu merepotkan. Lalu, dia bertemu Cecilia Ambarwati, aktivis kampus yang dianggap sering memperlakukan lelaki sebagai bawahannya untuk mencapai tujuan politiknya. Ambar dijodohkan oleh ibunya dengan Susanto, dosen kimia yang dikenal galak dan kaku. Ambar dan Herman sebenarnya saling tertarik, bahkan bapak Ambar senang bergaul dengan Herman. Hanya saja keraguan melanda keduanya.

Baca juga: Animal Rationale | #bookreview40

Setelah lulus, Herman bekerja di Timor. Dia memilih hidup menyepi: merenung di padang, mabuk, dan mengurusi hewan-hewan, terlepas dari kenyataan bahwa warga setempat menghormatinya. Namun, dia juga bergaul dengan beberapa pemuda setempat yang telah mendapat pengaruh gaya hidup kota besar dan perantau yang juga bekerja di sana. Perantauan memang membuka mata terhadap banyak hal. Sekelompok mahasiswa peneliti ekonomi mempertanyakan kesenjangan sosial padanya, padahal dia sama sekali tak tahu.

...

Jujur saja, jika harus memberi nilai 1--10 untuk buku ini, aku hanya akan memberi nilai 4/10. Bukan tanpa alasan. Aku secara pribadi merasa buku ini terlalu datar ‘flat’ secara keseluruhan. Selain itu, latar tempat dan penokohan juga tidak ada yang benar-benar kuat. Bahkan untuk beberapa bagian aku sampai berpikir: untuk apa bagian ini dimasukkan dalam cerita?

Kehidupan kampus yang hanya diceritakan sekenanya saja, pendakian utuh yang hanya sekali, kisah cinta yang sebenarnya jadi masalah utama di hati masing-masing tapi disampaikan dengan terlalu “biasa”, lalu tiba-tiba latar tempat berubah menjadi sebuah daerah pelosok di Timor sana.

Baca juga: Projo&Brojo | #bookreview39

Ketokohan juga lemah sekali. Padahal cerita Ambarwati sebagai tokoh utama perempuan juga penting dan harusnya lebih kuat seiring cerita. Cerita si tokoh utama pun, Herman, terasa datar saja.

Dan judulnya: Frustasi Puncak Gunung. Aku pikir akan menemukan sebuah cerita tentang pendakian demi pendakian yang dilakukan, lalu ada sebuah pendakian pamungkas yang akan menjadi klimaksnya. Tapi, dari seluruh cerita, hanya ada satu kali pendakian utuh yang diceritakan, itu pun rasanya tidak terlalu “niat”.

“Aku memang cuma cocok di gunung. Bakatku cuma di hutan-hutan.” Begitu salah satu kalimat dari Herman di awal cerita. Tapi? Nihil. Sekali lagi, tidak ada pendakian yang benar-benar diceritakan secara utuh dan kuat.

Baca juga: Sebab Kita Semua Gila Seks | #bookreview38

Padahal penuturan ceritanya cukup baik, dan ada banyak kritik yang berusaha disempilkan, seperti gerak organisasi kemahasiswaan yang kerap dicurigai setelah peristiwa 15 Januari misalnya; atau tentang masyarakat feodal yang kerap memaksa anak-anaknya menikah sesuai kemauannya; juga tentang pembangunan kota yang menggusur area-area hijau; atau tentang sogok-menyogok di wilayah pemerintahan.

Entahlah bagaimana harus kudeskripsikan. Kehidupan kampus berakhir begitu saja, kehidupan pekerjaan pun tak arah, kehidupan cinta juga digantung begitu rupa.

Tapi di atas itu semua, aku cukup suka penuturan kisah dari tangan Ashadi Siregar ini. Menarik. Bahasa yang dikemukakan juga sekelumit bahasa yang sederhana, indah, juga unik. Aku kerap menemui frasa-frasa yang jarang kutemui sebelumnya, seperti meruap, tinimbang, berterempasan, trah, menempelak, dan banyak lagi.

Baca juga: Le Petit Prince | #bookreview37

Meski hanya kuberi nilai 4/10, aku merekomendasikan buku ini sebagai bahan bacaan untuk menambah keluasan frasa yang kita miliki. Salam!

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6