Antara Dosa dan Kemuliaan Perempuan yang Sebenarnya | #bookreview42
Judul: Muslimah yang Diperdebatkan
Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: Mojok
Tahun terbit: 2019
Ketebalan: 202 halaman
ISBN: 978-602-1318-93-5
Kalis Mardiasih adalah esais muda yang konsisten menuliskan isu-isu perempuan di berbagai media daring. Spirit yang Ia sebar lewat tulisan-tulisannya telah banyak membuka diskusi di banyak kalangan perihal otoritas setiap perempuan dalam berpendapat. Bahwa perempuan dengan pengalaman kebutuhan dan ingatan emosionalnya selalu otentik untuk menyampaikan pandangannya sendiri.
Resensi lainnya: Projo&Brojo | #bookreview39
Buku ini berisi tentang pemikiran, perenungan, sekaligus curahan hati seorang perempuan. Buku ini hanya berupaya memberikan dukungan kepada suara perempuan yang seringkali gagal didengar dan dipahami karena hukum halal-haram selalu dijatuhkan terlebih dahulu dibanding aspirasi dan pengalaman perempuan.
Narasi yang ditulisa Kalis dalam buku ini berfokus pada tubuh, kemanusiaan, religiusitas, dan berbagai pengalaman perempuan lainnya.
…
Jujur, setelah membuka halaman pertama buku ini, aku tidak bisa berhenti membaca. Ini terlampau menarik dan nagih sekali. Sejak lama sudah ingin membaca bukunya Kalis Mardiasih, tapi baru kali ini bisa baca lewat perantara seorang sahabat yang menghadiahkan buku ini. Dan, yeah, aku menyesal baru membaca buku ini sekarang.
Kita akan disuguhkan esai-esai singkat, pedas, dan jelas dari tangan Kalis Mardiasih. Semuanya selalu berdasarkan situasi-situasi “terkini” saat Kalis menulis. Ia mengkritik, tapi juga menebar bumbu pemahaman yang baik. Jadinya tidak asal kritik, tapi juga memberi solusi secara tidak langsung.
Sebut saja esai berjudul Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan yang ada di halaman 11. Ia “mengkritik” orang-orang yang sering kali menyangkutpautkan selembar jilbab dengan keimanan seseorang, dan menjadi alasan banyak orang yang kerap menghujat perempuan-perempuan yang awalnya berhijab lalu memutuskan untuk melepas jilbabnya.
Baca cerita juga: Bertemu Badai Luar Biasa di Camp Gajahan | #Sumbing4
Menurut Kalis, terlalu remeh menyetarakan kesalehan dengan selembar kain tipis di kepala. Masalah yang datang silih berganti dalam hidup, dalam konteks pemecahannya yang terkait spiritualitas, tidak ada kaitannya dengan jilbab. Pelajaran kebaikan seperti keikhlasan, tawakal, qanaah, serta mengasihi, lebih cenderung melibatkan pergulatan batin yang berlipat kali lebih rumit dari sekadar kain.
Atau misalnya esai berjudul Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran dan Konten Seminar Pranikah yang Basi. Di esai ini, Kalis mengkritik pedas Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang terlalu menyerderhanakan persoalan anak muda. Kampanye anti-pacaran tidak dilakukan dengan menyebarkan konten progresif, seperti bagaimana kecerdasan dan keterampilan anak muda sebaiknya dikembangkan untuk masa depan dirinya dan dunia yang semakin kosmopolit, melainkan konten yang mengampanyekan pernikahan sebagai komoditas.
Saat Indonesia kita ini sedang berjuang meminimalisasi pernikahan anak yang angkanya terus meningkat sejak tahun 2015, gerakan ini justru seolah menjadikan pernikahan sebagai solusi segala persoalan. Dan sebagaimana bisnis dakwah lainnya, gerakan ini pun tidak mau menerima kritik. Orang-orang yang mau memberi masukan kepada gerakan, akan semena-mena dituduh sebagai anti hukum Allah.
Cerita lainnya: Motoran 7 Jam, Jakarta--Bandung | #Journey2021-12
Di esai ini Kalis juga mengkritik habis-habisan La Ode Munafar yang merupakan penggagas gerakan ini, yang juga banyak menggelar seminar-seminar pranikah. Dari berbagai konten seputar pranikah yang diunggah La Ode Munafar di berbagai jejaring, Kalis menilai La Ode Munafar gagal pada pelajaran paling dasar soal gender, bahwa sifat manusia adalah sesuatu yang netral. Merendahkan akal perempuan sama saja tak punya malu kepada Tri Rismaharini yang membawa Surabaya kepada Guangzhou International Award, dan Susi Pudjiastuti yang meraih Peter Benchley Ocean Awards.
Kalis bahkan berpesan di akhir esai ini: “Sebelum merasa lebih berhak mengatur apa yang dosa dan mulia untuk perempuan, La Ode Munafar dan penceramah laki-laki lain yang masih merasa superior semata karena kelelakiannya, ada baiknya menuntaskan persoalan pribadinya lebih dulu: maskulinitas yang rapuh dan inferior.”
Banyak. Banyak sekali esai-esai menarik dalam buku ini. Selembar Kain Kerudung di Kepala Politikus Perempuan, Tubuh Perempuan dan Penghormatan Kepada Hidup, Laki-Laki Baru Mendukung Pengesahan RUU PKS Sebab Ia Tidak Takut Dilaporin Polisi, dan Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendirian, adalah beberapa esai lainnya yang patut untuk dibaca dan ditelisik lebih jauh.
Resensi lagi: Lelaki Harimau | #bookreview30
Melalui buku ini, Kalis benar-benar membuka mata lebar-lebar soal berbagai diskriminasi gender yang kerap terjadi pada perempuan, yang kebanyakan disebabkan oleh sikap superior laki-laki yang selalu merasa lebih tinggi dari perempuan mana pun.
Patut dibaca!
Comments
Post a Comment