Asmara Berdarah Ken Arok Ken Dedes | #bookreview23

Tjahyaningtyas - Asmara Berdarah Ken Arok Ken Dedes

Judul: Asmara Berdarah Ken Arok Ken Dedes
Penulis: Tjahyaningtyas
Penerbit: Gramatical Publishing
Tahun terbit: 2015
Ketebalan: 205 halaman
ISBN: 978-602-1526-64-4
[Kesalahan tik: 31]

Di masa kecil Ia hanyalah anak terbuang, dan kemudian di masa mudanya tenggelam dalam dunia hitam. Tapi Ken Arok kemudian berhasil mengubah nasibnya. Dengan bantuan seorang brahmana, Ia bisa menjadi prajurit penguasa daerah Tumapel.

Tak ada hitam putih dalam kisah perjalanan Ken Arok. Kepercayaan dibalas dengan pembunuhan dan perebutan takhta. Tapi kemudian rakyat lepas dari kesewenang-wenangan dan penderitaan. Dan para brahmana pun mendapatkan penghormatan yang layak. Dan ketika tiba saatnya, Ia berhasil mengalahkan Raja Kadiri, Kertajaya, dan kemudian mendirikan Kerajaan Tumapel yang kelak disebut sebagai Kerajaan Singasari.


Lantas bagaimana dengan Ken Dedes, yang awalnya menjadi istri Tunggul Ametung. Kenapa Ia begitu mudah menerima pembunuh suaminya sebagai suami baru? Bagaimanakah perannya dalam menghantarkan Ken Arok ke tampuk kekuasaan? Dan bagaimana kisah asmara di balik perebutan kekuasaan yang berdarah-darah itu?


Buku ini menambah wawasan sejarah ke-Indonesia-an saya secara pribadi. Dari mana Ken Arok berasal; bagaimana perjalanan masa kecil hingga remajanya yang kelam dan kerap gonta-ganti orang tua angkat; kisahnya jatuh cinta dengan Ken Dedes; hingga seperti apa perjuangannya menjadi Akuwu Tumapel sampai berhasil menduduki takhta kerajaan Kadiri dengan didampingi Ken Dedes, semua dituangkan secara lugas di sini.

Penulis menjabarkan kisah perjalanan Ken Arok secara detail dalam 5 bab besar. Di bab pertama, kita akan bertemu kisah tentang orang tua kandung Ken Arok, yakni Ken Endok dan Gadjah Para; bagaimana Ken Arok dibuang lalu ditemukan oleh Lembong dan menamainya Temu (Ken Arok memang bukan nama aslinya. Nama itu Ia dapatkan baru saat Ia menginjak masa remaja); kisahnya bertemu orang tua angkatnya yang lain, mulai dari Bango Samparan, hingga Mpu Palot; ceritanya menjadi perampok kelas kakap se - wilayah Kerajaan Kadiri; hingga akhirnya Ia bertemu seorang resi, yang menjadi awal mula kehidupannya sebagai ksatria.

Baca review lainnya, yuk: Holly si Peri Natal | #bookreview14

Di bab kedua, kita akan menemukan kisah transisi seorang Temu (Ken Arok) yang amat menegangkan. Kisah tentang kecerdikan Ken Arok dalam menciptakan siasat pemberontakan terhadap Akuwu (jabatan kepala daerah pada zaman Kediri abad XII) Tumapel, Tunggul Ametung; tentang Ken Dedes -yang meski sudah bersuami, jatuh hati dan rela melakukan apa saja untuk bersatu dengan Ken Arok; lalu bagaimana Ken Arok kemudian memproklamirkan dirinya sebagai Akuwu Tumapel, didampingi Ken Dedes; serta kisah pernikahan Ken Arok dan Ken Dedes yang sederhana di tengah suasana ‘berkabung’ usai meninggalnya Tunggul Ametung.

Di bab ketiga, kita akan berdecak kagum dengan pola kepemimpinan Ken Arok. Sejauh Ia memimpin, Ken Arok sudah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan ketenangan dan keamanan, serta memajukan dan memperluas kawasan Tumapel.

Baca review lainnya, yuk: Gitanjali | #BookReview13

Ia bukan pemimpin yang sewenang-wenang seperti Tunggul Ametung. Justru dengan bekal ilmunya di padepokan brahmana, Ia menjadi pemimpin yang amat adil, bijak, dan dikagumi seluruh masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, masyarakat semakin merasa optimis dalam menjalani kehidupan. Pajak pedagang diturunkan, upah prajurit dinaikkan, tempat-tempat latihan militer dibangun, tak boleh ada lagi perbudakan, bahkan Ia senantiasa membuka lebar istananya untuk tempat mengadu para rakyat.

Di bab empat, perebutan kekuasaan kembali terjadi, kali ini ke Raja Kadiri, Kertajaya, yang juga terkenal dengan sebutan Sri Dandang Gendis. Di sini, kita akan mereguk cerita tentang Kertajaya yang lalim dan ingin disembah bagai dewa, tentang pembantaian di padepokan-padepokan, dan bagaimana rakyatnya membelot dan balik melawan, hingga Ken Arok berhasil menduduki takhta.

Baca tulisan lainnya, yuk: Gie-Semeru-Ranu Kumbolo | #Prosa4

Dan di bab terakhir, semuanya juga berakhir. Meski tak sewenang-wenang dan memimpin begitu baik selama 20 tahun, Ken Arok tetap punya dosa masa lalu yang harus Ia bayar dengan nyawa. Hal itu tak bisa Ia elakkan.

Terlepas dari dosa-dosa masa lalunya, saya kagum dengan kepemimpinan Ken Arok yang begitu bijak, dan pribadinya yang berani berkata tidak pada hal-hal yang Ia anggap tidak pantas dilakukan. Ia berani mendobrak nilai-nilai lama, untuk menerapkan nilai-nilai baru, dalam rangka memajukan daerahnya. Ia pun teguh dengan prinsip-prinsipnya sebagai lak-laki, juga sebagai raja.

Baca tulisan lainnya, yuk: Untuk Gie, yang Abadi di Semeru

Meski begitu, sejak awal penulis sudah menegaskan bahwa melalui buku ini, Ia tidak bermaksud memberikan penafsiran sejarah. Sejarah Singasari terekam dalam berbagai catatan masa lalu. Di antaranya Kitab Negara Kertagama, Kitab Pararaton, dan Prasasti Mula Malurung. Namun keterangan dari sumber-sumber masa lalu itu tak selamanya sinkron dan bahkan kadang saling bertentangan. Tak mengherankan bila kemudian lahir berbagai versi sejarah Ken Arok dan Singasari.

Intinya, ini adalah novel fiksi yang mengambil masa kerajaan Singasari sebagai setting, dan tokoh-tokoh dalam kerajaan itu sebagai tokoh utama. Namun di sini, kita benar-benar akan bertemu kisah asmara berdarah antara Ken Arok dan Ken Dedes. Kisah asmara yang penuh ‘tumbal’, yang harus dibayar teramat mahal oleh keduanya.


Book from Berdikari Book offline store, 30 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

FUNGSI RIBBON PADA MICROSOFT WORD

Mencari Kawan ke Pulau Pepaya (Pepaya Island, Part 1)

Percaya - Yang Kutahu Tentang Cinta | #bookreview6