Jejak Langkah | #bookreview29
Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah |
Judul: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: 1985
Ketebalan: 732 halaman
ISBN: 978-979-97312-5-8
Baca resensi roman sebelumnya: Anak Semua Bangsa | #bookreview1
“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memasyhurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.” -Pram
Roman Tetralogi Buru mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya, waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula.
Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.
Baca resensi lainnya, yuk: Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi | #bookreview24
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah fase pengorganisasian perlawanan.
Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”
. . .
Jejak Langkah membangkitkan semangat nasionalisme dalam dada saya. Gejolak-gejolak perlawanan, kukuhnya pergerakan, dan masifnya pengorganisasian yang dilakukan Minke, si tokoh utama, mampu menampar-nampar jiwa, meskipun awalnya meragukan.
Jika roman bagian pertama, Bumi Manusia merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, di mana Minke, si tokoh utama masih menjadi manusia yang terlalu bangga dengan ke-eropa-an dalam dirinya dan tidak mau disebut pribumi; lalu roman bagian kedua, Anak Semua Bangsa, mulai muncul jiwa nasionalismenya melihat pribumi yang selalu tidak berdaya di bawah cengkeraman Eropa; maka roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah pengorganisasian perlawanan atas dasar nasionalisme. Di sini, Minke menjadi pribumi yang sebenar-benarnya. Berusaha menghapuskan ketidakadilan, penjajahan, dan kebudayaan feodal di selingkungannya, melalui tulisan, dengan jalan jurnalistik. Saya menduga -dugaan yang takkan salah, bahwa tokoh Minke adalah Tirto Adhi Soerjo.
Baca resensi lainnya, yuk: Tentang Soegija dan Agresi Militer Belanda II | Soegija In Frames #bookreview25
Di dalam buku ini, kita akan menyaksikan banyak sekali peristiwa sejarah. Soal keras dan sewenang-wenangnya gubermen semasa Hindia Belanda, khususnya Gubernur Jenderal Van Heutsz lalu digantikan Gubernur Jenderal Idenburg; pergolakan di Bali; pembangkangan Golongan Samin; gadis Jepara, Kartini, yang dibungkam dengan “dinaikkan” ke ranjang pengantin; pergerakan orang-orang Tionghoa melalui Tiong Hoa Hwee Koan yang berdiri pada 1900 dan dianggap sebagai organisasi moderen pertama-tama di Hindia dengan pengesahan gubermen; gerakan Dewi Sartika; berdirinya Syarikat Priyayi dan matinya; munculnya Boedi Oetomo; lalu berdiri lagi organisasi baru, Syarikat Dagang Islamiyah yang kemudian pecah menjadi dua; dan munculnya “Medan” ke permukaan, yang menjadi koran pribumi pertama (orang-orang mengenalnya dengan sebutan Medan Prijaji, tapi sepanjang buku ini, tidak pernah disebutkan sekali pun Medan Prijaji, hanya Medan saja).
Saya akan menjelaskannya dalam beberapa bagian secara singkat, dan masing-masing bagian akan merepresentasikan tiap peristiwa sejarah yang muncul di dalam buku ini. Bagian-bagian ini akan menjelaskan, mengapa buku ini begitu berharga untuk diabaikan begitu saja.
Baca resensi lainnya, yuk: Arah Langkah | #bookreview26
Pertama, Van Heutsz. Cerita buku ini secara lantang mengatakan bahwa naiknya Jenderal Van Heutsz, menggelisahkan orang-orang, karena pelaksanaan politik ethiek emigrasi. Selain itu, Gubernur Jenderal Van Heutsz yang kemudian diagung-agungkan oleh sebagian orang sebagai pembebas Aceh, pada kenyataannya adalah pembunuh ribuan orang di sana.
Kedua, kisah tentang Si Perempuan Jepara, Kartini. Dalam buku ini, kita akan tahu kisah Kartini dari sisi yang beda, bukan semata-mata Kartini yang seorang pejuang hak perempuan. Ia diceritakan sebagai seorang perempuan yang terpenjara dengan kasih sayang keluarganya. Ia ingin bebas, tapi tak kuasa melakukannya. Kehidupannya hanya habis mengirim surat pada perempuan-perempuan lain tentang pemikirannya, lalu Ia sendiri iri dengan Dewi Sartika yang sudah berhasil membangun sekolah seperti yang Ia idamkan selama ini. Hingga pada akhirnya, Kartini meninggal, tenggelam dengan pikiran-pikiran yang tak sampai.
Baca resensi lainnya, yuk: Perempuan dan Kehidupan yang Menyesakkan | Kim Ji-yeong #bookreview28
Ketiga, meletusnya gelombang pembalasan angkatan mudah Tionghoa. Sempat terjadi peristiwa besar yang melibatkan orang-orang Tionghoa di Surabaya. pedagang Tionghoa dihina dan diusir hingga semuanya menolak mengambil barang dagangan dari perusahaan dagang besar Eropa. Di sini menjadi tegas: bukan hanya golongan kuat saja yang punya kekuatan, tetapi juga golongan lemah asalkan berorganisasi. Lalu pada 10 Oktober 1911, peristiwa besar terjadi: di Tiongkok pecah pemberontakan angkatan muda.
Keempat, proses penguasa-penguasa pribumi mencuci uang, hingga mengobral tanah pada kaum pemodal demi tembakau, kerakusan, penindasan, dan hal-hal “menjijikkan” lainnya.
Baca resensi lainnya, yuk: Ke Mana Kita Akan Pergi Setelah Menemukan Arti Pulang? | Pergi #bookreview27
Kelima, keganasan gubermen. Terjadinya pemberontakan dan perjuangan di Bali. Denpasar jatuh, tapi dengan peperangan yang begitu gagah. Sementara itu, gubermen semakin ganas menggunakan senjata dalam melawan tiap pemberontakan. Pemberontakan Kelompok Samin di Jawa Tengah, di Klungkung, Bali, pemberontakan di Minangkabau, perlawanan di Tapanuli. Banyak negeri-negeri merdeka yang jatuh ke tangan gubermen tanpa melawan, hingga akhirnya Klungkung jatuh, dan Lombok bangkit melawan.
Keenam, pembentukan organisasi, Syarikat Priyayi. Mula-mula, Minke mendatangi Bupati Serang untuk diajak mendirikan organisasi bersama-sama, tapi ternyata bupati itu amat tinggi hati, dan tetap memperlakukan orang lain seperti budak. Lalu pada akhirnya Ia menemui Patih Meester Cornelis dan Thamrin Mohammad Thabrie, yang keduanya merespons sangat positif. Ratusan priyayi dikumpulkan di Pendopo Patuh, dan terbentuklah Syarikat Priyayi yang diketuai oleh Thamrin Mohammad Thabrie. Sayang, organisasi ini tidak bertahan lama karena korupsi di dalam tubuhnya sendiri.
Baca resensi lainnya, yuk: Pemburu Rembulan | #bookreview20
Ketujuh, terbitnya koran mingguan Medan, yang kemudian ditantang untuk dijadikan koran harian. Awalnya, Medan dicap sebagai koran penyuluh milik gubermen, tetapi kian ke sini, Minke semakin sadar, hingga akhirnya Medan menjadi pembela keadilan, membela hak-hak orang kecil, para pribumi bangsanya. Medan menjadi koran pertama milik pribumi, yang selalu mengadvokasi kasus-kasus tidak adil yang ditemui pribumi.
Kedelapan, terbentuknya Boedi Oetomo di Betawi, dan organisasi ini begitu gemilang. Boedi Oetomo mengajak orang-orang bergabung dengan kata-katanya yang propagandis. Mereka juga menggelar kongres kedua di Yogyakarta saat umurnya baru 7 bulan, tepatnya pada Desember 1908. Sayang, Boedi Oetomo yang lahir di Betawi, belum lagi setahun, yang muda-muda telah tersingkir, terboyong ke Yogyakarta, jatuh ke tangan orang tua.
Baca resensi lainnya, yuk: Gie, Sosok yang Paradoksal | Zaman Peralihan #bookreview21
Kesembilan, berdirinya Syarikat Dagang Islamiyah (SDI), yang mengumpulkan para pedagang, orang-orang bebas. Cabang terbesar kemudian tumbuh di Sala, tapi bukan berarti SDI tanpa masalah. Namun, sebelum masalah terbesar yang membuat SDI pecah dua, anggota SDI membludag, beritanya hingga Eropa. Bahkan mereka mulai membantu pembiayaan berbagai sekolah swasta, juga membantu pembiayaan bantuan hukum. Setelah pecah, SDI tetap terus berkembang, kali ini dengan nama Syarikat Dagang Islam. Ia menjelma jadi organisasi raksasa, organisasi terbesar milik pribumi kala itu.
Kesepuluh, munculnya Gerakan Gadis Jepara di kalangan orang-orang Eropa dan Indo dari golongan ethiek. Hal ini bermula saat terbitnya buku tentang Kartini dengan judul De Zonnige Toekomst, yang ditulis oleh Van Aberon. Namun, kemudian didapati bahwa Van Aberon hanya menggunakan gaungan penerbitan buku ini untuk naik menjadi Gubernur Jenderal di tahun 1914 mendatang, paling tidak untuk menyokong Partai Liberal.
Baca resensi lainnya, yuk: Kisah Epik Ratu Negeri Saba’ & Nabi Sulaiman | Bilqis #bookreview22
Terlepas dari sepuluh peristiwa sejarah tadi, perjalanan Minke juga perlu dilihat dengan dua bola mata. Di paruh pertama buku, dapat dilihat mula-mula Ia tiba di Betawi dan masuk STOVIA; awal mula perasaannya yang tidak mau diremehkan karena seorang Jawa, dan kerap membanggakan dirinya yang “terasa” Eropa; dilema hatinya atas pendidikan dokter yang tengah Ia tempuh, sementara dirinya semakin sulit mendapatkan waktu untuk sekadar menulis; Ia yang jatuh cinta lagi; kecemburuannya; lika-liku asmara yang tidak mulus; menyewa rumah; mulai membentuk organisasi; hingga menerbitkan Medan.
Di paruh kedua, kita akan menyaksikan lika-liku kehidupan Minke, untuk menjaga Medan dan organisasinya. Mulai awal Medan masuk percetakan sebagai sebuah harian, hingga Ia diterima sebagai kenyataan, sebagai pelindung pribumi; Ia yang kerap mempertanyakan ke-jawa-an yang dimaksudkan di dalam Boedi Oetomo; Ia yang sangat getol meyakinkan orang-orang bahwa Hindia berwatak bangsa ganda; Ia yang sangat ingin menghapuskan cara-cara feodal di lingkungannya; jatuh cinta lagi; sangat giat membesarkan SDI, organisasi yang Ia rintis; bertemu masalah dengan sahabatnya sendiri, lalu menerima kenyataan paling pahit dalam hidupnya; hingga anaknya, Medan, dan dirinya sendiri, menemui hari paling mengerikan seumur hidup.
Baca resensi lainnya, yuk: Asmara Berdarah Ken Arok Ken Dedes | #bookreview23
Dan tentu, untuk menopang cerita yang begitu panjang seperti ini, selalu ada tokoh-tokoh luar biasa di baliknya. Ada Partokleooooo yang berkawan dengan Minke mula-mula saat masuk ke STOVIA; Ter Haar, jurnalis D’Locomotief, seorang pengabdi kemanusiaan yang Minke kagumi; Wilam dan Cupido's Boog, kawan lainnya di STOVIA; Van Kollewijn, Anggota Tweede Kamer; Gubernur Jenderal Van Heutsz; Marrie van Zeggelen, seorang wartawan wanita Eropa; Ibu Badrun, ibu angkatnya di Kwitang, dan anak tiri Ibu Badrun, Taram; Ahn Sang Mei dan Khouw Ah Soe, dua petarung Tionghoa; dan Sandiman, Si Pembantu yang amat setia.
Selain itu, ada juga Patih Meester Cornelis dan Thamrin Mohammad Thabrie yang positif menerima ajakan berorganisasi; Sanikem, mama yang memberi pengaruh besar terhadap kebesaran Medan; Jean Marais, May Marais, dan Rono Mellema; Miriam dan Mr. Frischboten, suami istri yang menjadi salah satu alasan Medan tetap bertahan di tengah banyaknya kasus; Raden Tomo; Robert Suurhof, biang keladi banyaknya pengancaman; Hadji Moeloek, Si Penulis; Prinsess van Kasiruta, perempuan selanjutnya yang memberi Minke banyak pembelajaran; Marko dan Wardi; Douwager; hingga Pangemanann yang mencurigakan.
Baca resensi lainnya, yuk: Dengarlah Nyanyian Angin | #bookreview18
Ada satu tokoh yang kemunculannya hanya sebentar, tetapi yang paling saya syukuri -dan barangkali juga Minke syukuri kehadirannya, adalah seorang dokter pensiunan Jawa yang sempat mengisi kuliah umum di STOVIA. Saat itu, dokter tersebut menekankan pentingnya organisasi untuk membangun bangsa. Apa yang Ia tekankan itu, menjadi cikal bakal pembentukan organisasi-organisasi besar seperti Syarikat Priyayi, Syarikat Dagang Islamiyah, hingga Boedi Oetomo, yang juga menjadi likuk paling penting dalam buku ini.
Pada intinya, dalam buku ini kita akan melihat kebiasaan jahiliyah bangsa-bangsa Hindia sendiri yang menganggap ikatan darah sebagai ikatan tanggung jawab individu; praktik politik ethiek, di mana yang menjadi sasaran politik adalah pribumi, sementara pribumi tetap hidup dalam kemiskinan; bagaimana kuatnya konsep javanisme kala itu; pentingnya bahasa Melayu; bagaimana gubermen sering merampas hak berorganisasi orang-orang, salah satunya yang dialami langsung oleh Thamrin Mohammad Thabrie; bagaimana orang-orang saat itu melawan kekuasaan “gula”; dan di atas itu semua, tentang pentingnya berorganisasi kala itu.
Baca resensi lainnya, yuk: Animal Farm | #bookreview19
Setelah membaca buku ini, saya yakin semua akan menyetujui kalimat ini dengan anggukan keras, “Didiklah rakyat dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan!”
Comments
Post a Comment